Tirto Suwondo | Hari Puisi Indonesia dan Potret Produksi Buku Sastra (di) Yogyakarta

Orasi Budaya Kepala Balai Bahasa Tirto Suwondo ini disampaikan pada Perayaan Hari Puisi Indonesia dan Peluncuran Buku Puisi OBITUARI RINDU (S. Arimba) dan TANGAN YANG LAIN (Tia Setiadi) pada Jumat, 26 Juli 2013 pukul 15.00, di Perpustakaan gelaranibuku, Indonesia Buku, Jalan Patehan Wetan No 3, Alun-Alun Kidul, Keraton, Yogyakarta.

orasi budaya

Hari Puisi Indonesia dan Potret Produksi Buku Sastra (di) Yogyakarta

Selamat sore, salam sejahtera, dan salam sastra,

Karena ini masih dalam bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, secara pribadi saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi hadirin yang benar-benar sedang menjalankannya. Mudah-mudahan ibadahnya diterima oleh Allah Swt dan kelak senantiasa mendapatkan limpahan berkah yang berlipat ganda dari-Nya. Amiiinn.

Beberapa waktu lalu, ketika sahabat saya, penyair Suharmono Arimba, bersama sastrawan Mahwi Air Tawar, datang ke kantor dan mengungkapkan keinginannya mengundang saya untuk memberikan ORASI BUDAYA pada acara ini, terus terang saya terkejut. Sebab, saya bukanlah sastrawan, seniman, apalagi budayawan. Saya hanyalah seseorang yang kebetulan bekerja di sebuah instansi yang bergerak di bidang bahasa dan sastra, Balai Bahasa Provinsi DIY.

Karena itu, sangat tidak pada tempatnya kalau saya diminta untuk memberikan ORASI BUDAYA. Tetapi, ketika hal itu saya ungkapkan kepada mereka, keduanya mengatakan, saya boleh bicara apa saja. Saya boleh sekedar memberikan tausyiah ringan, sekadar untuk menggenapi acara Perayaan HARI PUISI INDONESIA. Untuk itu, permintaan itu saya sanggupi, walaupun dengan berat hati.

Baiklah. Karena pada kesempatan ini saya boleh bicara apa saja, saya hanya ingin memberikan obrolan ringan mengenai beberapa hal. Di antara obrolan itu berkaitan dengan pengalaman saya mengikuti dan melihat, walau hanya dengan kacamata yang sempit dan terbatas, mengenai kondisi dan atau kecenderungan kesastraan, khususnya mengenai produksi buku-buku sastra Indonesia di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir.

Kalau di dalam konteks ini saya menyinggung mengenai sastra Indonesia di Yogyakarta, hal ini hendaknya jangan diartikan secara lain. Karena, kalau dipersoalkan, istilah ini dapat mengundang perdebatan yang tak berkesudahan. Lagi pula, bagi kami, hal itu telah dimuati dengan niatan dan tujuan tertentu. Tentu saja, tujuan itu tujuan yang baik.

Sebelum saya memaparkan beberapa catatan mengenai kondisi kesastraan di Yogyakarta, pertama-tama saya hendak mengungkapkan satu hal, yakni tentang sebutan  HARI PUISI INDONESIA yang dirayakan pada hari ini (26 Juli). Saya tidak tahu persis, kira-kira kapan dan di mana HARI PUISI INDONESIA itu ditetapkan atau dimaklumatkan. Saya juga tidak tahu siapa atau kelompok (penyair) mana yang telah menetapkannya.

Hal ini, misalnya, berbeda dengan HARI SASTRA INDONESIA yang telah dicetuskan oleh Taufiq Ismail dkk di Bukittinggi (24 Maret 2013). Dan, penetapan HARI SASTRA INDONESIA itu dikaitkan dengan tanggal kelahiran sastrawan besar Abdoel Moeis (3 Juli 1883). Sementara, penetapan HARI PUISI INDONESIA konon dikaitkan dengan kelahiran penyair besar Chairil Anwar (26 Juli 1922). Padahal, kita juga tahu, tanggal 28 April, yakni hari wafatnya penyair Chairil Anwar (1949), sudah sering kita rayakan sebagai HARI CHAIRIL ANWAR.

Setiap orang, siapa pun, termasuk seniman dan sastrawan, memang memiliki kemerdekaan penuh untuk berbuat apa saja, asalkan tidak menimbulkan kerugian pihak lain. Di sini tentu termasuk hak dan kemerdekaan untuk menentukan HARI TERTENTU, termasuk HARI SASTRA, HARI PUISI, HARI CHAIRIL ANWAR, dll.

Hanya saja, kadang-kadang kita ini suka berbuat latah. Kalau misalnya pada hari ini kita bermaklumat mengenai HARI PUISI INDONESIA, mungkin besok kita bisa juga bermaklumat mengenai HARI CERPEN INDONESIA, HARI NOVEL INDONESIA, HARI DRAMA INDONESIA, HARI UMAR KAYAM, dan lain-lain.

Bahkan, suatu saat, kita juga bisa bermaklumat mengenai HARI LEO, HARI HARMONO, atau HARI MAHWI AIR TAWAR, dan seterusnya. Kalau demikian halnya, betapa kita begitu mudah menyatakan suatu hal yang –tak jarang– kemudian berubah hanya menjadi sensasi. Tetapi, baiklah, kita tidak perlu risau, tidak perlu galau. Penetapan hari bersejarah, termasuk hari yang telah dimaklumatkan itu, pada hakikatnya sah-sah saja dan tidak ada yang melarang atau memberikan sanksi.

Kira-kira dua bulan lalu, ketika hendak memberikan ceramah proses kreatif di depan 120 mahasiswa STIKIP Saraswati  Denpasar di Balai Bahasa Provinsi DIY, novelis Ahmad Tohari, orang tua imajiner si Ronggeng Srintil  itu, mampir ke ruang kerja saya. Setelah ngobrol ngalor ngidul tidak karuan, bukan suatu kebetulan, saya bertanya tentang HARI SASTRA INDONESIA yang telah dicetuskan Taufiq Ismail dkk beberapa waktu lalu.

Mungkin, dengan sedikit risau, karena beliau ikut di Bukittinggi waktu itu, beliau buru-buru memotong pertanyaan saya. “Sudahlah, Mas, yang penting sekarang, bagaimana kita harus berbuat. Semua hari, termasuk hari-hari yang telah dimaklumatkan sebagai HARI BERSEJARAH itu, semua dilakukan dengan niat baik. Wajiblah bagi kita untuk menghormati niat baik mereka. Sebagai sesama warga sastra Indonesia, kita perlu berpikir, bertindak, dan mengisi hari-hari itu agar kehidupan sastra dan kehidupan kita bisa lebih eksis lagi. Itulah yang lebih penting.”

Itulah tadi pernyataan singkat Ahmad Tohari. Memang benar, yang lebih penting ialah bagaimana kita harus berbuat. Tentu saja, termasuk apa yang kita perbuat pada hari ini. Kalau pada hari ini dua orang penyair muda kita, Suharmono Arimba dan Tia Setiadi, telah menulis dan meluncurkan buku puisinya, OBITUARI RINDU dan TANGAN YANG LAIN, ini merupakan wujud nyata dari perbuatannya, yakni perbuatan dalam berpikir dan sekaligus mempertanyakan segi-segi kemanusiaan dan kehidupan.

Dengan berpikir dan mempertanyakan segi-segi kemanusiaan dan kehidupan, berarti bahwa kedua penyair ini telah terlibat dan mencoba menceburkan diri ke dalam obsesi besarnya, yang tentu saja berkait dengan kemanusiaan dan kehidupan kita. Dengan terlibat ke dalam suatu obsesi, berarti kedua penyair ini juga senantiasa melakukan dialog dengan diri sendiri, melakukan dialog dengan segala sesuatu yang terpancar dari dirinya, untuk mencari jawaban atas sekian banyak pertanyaan yang menderanya.

Kita sepakat dengan Budi Darma bahwa bentuk komunikasi atau dialog dengan diri sendiri itu pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu proses dari sebuah perjalanan panjang dalam usahanya untuk mengejar cakrawala. Jawaban demi jawaban yang telah diperoleh, yang antara lain terwujud dalam bentuk puisi, termasuk puisi dalam buku OBITUARI RINDU dan TANGAN YANG LAIN, dengan demikian juga hanya merupakan sebuah terminal, hanya merupakan salah satu wujud pemberhentian sementara, dan belum sampai ke puncak apalagi final.

Itu sebabnya, tidak berlebihan jika kita berharap, kedua penyair ini kelak akan terus mengejar cakrawala, akan mencapai sekian banyak terminal, dan akan melahirkan sekian banyak karya yang lebih matang. Meskipun, kita semua menyadari bahwa cakrawala yang dikejar itu diyakini tidak akan pernah berhenti berlari. Tetapi, baiklah, meskipun usahanya ini baru sampai pada terminal tertentu, bagaimana pun mereka telah menorehkan sejarah bagi dirinya sendiri sebagai sastrawan, dan karya-karya puisinya tetap menjadi semacam pernik yang menghiasi ruang-ruang kreatif kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta, yang secara diam-diam sebenarnya terus bergerak.

Baiklah. Sekarang saya hendak membuka catatan saya berikutnya, yakni tentang kondisi produksi buku-buku sastra di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Dengan lahirnya dua buku kumpulan puisi ini, tentu saja khasanah sastra Indonesia di Yogyakarta menjadi lebih hidup. Lebih-lebih, karena memang buku kumpulan puisi termasuk barang langka di tengah produksi buku-buku sastra di Yogyakarta.

Saya mencatat, bahwa dalam 5 tahun terakhir, setidaknya sejak 2006 hingga 2011, ada sekitar 93 buku karya sastra (karya mandiri) yang diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta. Saya yakin, jumlah ini sebenarnya bisa lebih dari itu, karena tidak semua buku itu bisa tercatat dalam arsip kami. Jumlah itu pun belum termasuk buku yang diproduksi atau diterbitkan pada tahun 2012 dan 2013.

Hanya saja, dari jumlah 93 buku karya sastra itu, buku kumpulan puisi dan cerpen termasuk langka, karena dalam waktu 5 tahun ini hanya ada 16 buku kumpulan puisi dan 10 kumpulan cerpen. Sementara, yang dominan adalah novel, yakni ada 67 buah.

Yang lebih memprihatinkan lagi, di tengah maraknya buku-buku karya sastra itu, dan di tengah daerah istimewa yang memiliki lebih dari 90 penerbit anggota IKAPI dan lebih dari 400 penerbit/percetakan non-IKAPI, ternyata tidak ada satu pun buku kumpulan naskah drama. Saya tidak tahu persis, apakah kelangkaan buku drama itu disebabkan karena genre drama memang tergolong elite, ataukah memang karena ruang-ruang kreatif di bidang drama telah jauh dari para seniman dan sastrawan kita.

Mudah-mudahan saja dugaan ini keliru, sebab, boleh jadi, para sastrawan kita sebenarnya terus berkarya. Hanya mungkin, karena penerbit lebih berpikir tentang nilai ekonomi, sementara buku sastra tidak menjanjikan secara finansial, sehingga buku-buku kumpulan naskah drama pun tidak kunjung lahir.

Catatan saya yang berikutnya lagi ialah, meskipun dalam 5 tahun Yogyakarta hanya mampu melahirkan 93 buku sastra, tetapi hal ini sudah merupakan prestasi tersendiri yang cukup baik bagi kota Yogyakarta. Sebab, saya yakin, prestasi ini tidak dicapai oleh kota-kota lain di Indonesia. Selain itu, juga masih ada sekian penerbit yang tidak hanya berpikir tentang profit, tetapi sekaligus berpikir tentang idealisme. Hanya saja, memang, semua itu baru dilihat dari sisi kuantitas. Kalau dilihat dari sisi kualitas, agaknya masih perlu ada semacam peninjauan kembali bagaimana sebenarnya aspek literer diolah dan memperoleh perhatian yang lebih.

Kalau dilihat dari orientasi tematiknya, memang sebenarnya dalam konteks sastra Indonesia di Yogyakarta, ada perkembangan yang cukup signifikan. Bahkan juga menunjukkan ada variasi yang menarik. Variasi itu, misalnya, mulai dari masalah-masalah sederhana dalam kehidupan kita (cinta dan keluarga), sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan yang lebih serius (sosial, budaya, politik, pendidikan, gender, kemiskinan, bencana alam, dsb).

Bahkan mereka juga telah mencoba mengolah beragam aspek tersebut dengan unsur sejarah, mitos, wayang, dan lain-lain. Di samping itu, yang tampak sedikit menggembirakan adalah, belakangan semakin banyak muncul penulis-penulis muda dengan gaya dan cara yang lebih kreatif dalam menyalurkan bakat keseniannya di tengah pola budaya dan media yang kian kapitalistik.

Hanya saja, tampaknya, akibat dari semua itu, sebagian besar dari karya-karya yang lahir, umumnya masih terkungkung oleh budaya massa, masih terpengaruh oleh dunia mode, dan diproduksi dengan cara-cara kejar-tayang seperti sinetron televisi, sehingga terkesan lahir sebagai barang instan. Gagasan yang diangkat cenderung tidak mengalami pendalaman, bahkan ada yang hanya ingin bertausiah lewat sastra atau memberi nasihat. Fakta cerita dan sarana-sarana sastra yang ada juga tidak diberdayakan secara maksimal sehingga tingkat kemasukakalan rendah, aspek lifelike-nya pun terabaikan.

Tentu saja, hal ini tidak seluruhnya demikian karena di tengah semaraknya produksi buku karya sastra itu masih ada beberapa karya yang mengarah pada kanon literer. Hanya saja, fakta menunjukkan bahwa jumlah karya semacam itu sangat sedikit.

Kalau tadi saya katakan sebagian besar karya yang lahir terseret oleh budaya massa atau dunia mode, dapat saya contohkan demikian. Kita tahu bahwa novelis religius HABIBURRACHMAN telah sukses dengan novelnya AYAT-AYAT CINTA dan kemudian diikuti sejumlah novel cinta lainnya. Demikian juga dengan ANDREA HIRATA yang sukses dengan novel tetraloginya LASKAR PELANGI.

Kesuksesan HABIBURRACHMAN dan ANDREA HIRATA itulah yang kemudian menjadi mode bagi para novelis muda kita. Dari situ kemudian mengalir sejumlah novel dengan label tertentu, yang kemudian label itu pada akhirnya menjadi trade mark. Karya-karya yang terbit itu kemudian dengan gagah menggunakan label NOVEL SPIRITUAL, NOVEL RELIGIUS, NOVEL PENYEJUK HATI YANG SEDANG GUNDAH, NOVEL MOTIVASI, NOVEL INSPIRASI, dan sebagainya.

Dan label demikian secara eksplisit dicantumkan sebagai subjudul novel, dan dilengkapi pula dengan ilustrasi yang modis dan fashionable.

Kalau dicermati, di satu sisi, label judul yang sangat tendensius itu barangkali bisa menjadi kode komunikasi yang baik antara karya dengan calon-calon pembacanya. Tetapi, di sisi lain, label yang tak jarang diungkapkan dengan bahasa persuasif (seperti iklan) itu justru bisa menjadi hal yang sebaliknya jika horizon harapan pembaca tidak terpenuhi. Dan faktanya, hal yang terakhir itulah yang mendominasi novel-novel yang terbit belakangan ini. Atau, barangkali, saya tidak tahu persis, siapa tahu memang telah terjadi pergeseran estetika di kalangan pembaca sastra dewasa ini.

Kalau memang benar demikian, berarti kecenderungan seperti yang disebutkan tadi tidak bisa dianggap salah atau menyimpang.

Di samping beberapa hal tadi, belakangan juga ada booming lain dengan munculnya banyak karya yang melabeli dirinya dengan NOVEL SEJARAH. Hanya saja, hampir tidak berbeda dengan apa yang telah saya sebutkan, umumnya karya-karya itu belum bisa melepaskan diri dari berbagai telikung sehingga sebagai sebuah novel ia belum mampu membangun tuturan kreatif yang orisinal dan belum bisa melahirkan bangunan dunia alternatif yang menyegarkan. Materi sejarah seringkali hanya direkonstruksi sedemikian rupa sehingga membaca novel tak ubahnya seperti membaca buku sejarah yang sudah ada, tidak memperkaya nilai-nilai sejarah dan belum muncul usaha menyingkap kemungkinan aspek sejarah yang hilang.

Hal demikian berarti, kalau diyakini karya sastra merupakan cahaya yang diperlukan untuk menembus gelap gulita kehidupan, boleh dikatakan bahwa karya jenis itu belum menampakkan cahayanya. Namun, sekali lagi, tidak semua karya yang lahir belakangan tergolong demikian. Sebab, masih ada beberapa karya yang tetap menunjukkan kepiawaiannya dalam bertutur dan mengolah beragam dimensi kehidupan sehingga cahayanya pun mampu memercik keluar.

Demikianlah, antara lain, yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Harapan kita, mudah-mudahan, dua kumpulan puisi yang diluncurkan pada acara ini hanya menjadi semacam terminal, hanya menjadi persinggahan dan jawaban sementara, dalam usaha untuk terus mengejar cakrawala. Dan mengejar cakrawala bukanlah hal mudah, dan semua itu memerlukan nafas yang sangat panjang. Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada penyair S. Arimba dan Tia Setiadi, juga selamat kepada semuanya.

Yogyakarta, 26 Juli 2013

Tirto Suwondo adalah Kepala Balai Bahasa Yogyakarta.


Posted

in

by

Tags: