Tiga Buku Satu Cerita: Rekomendasi Buku Gilang Andretti

Minggu ini kawan-kawan yang tergabung dalam Volunteer Radio Buku Batch #8 mendapatkan tugas untuk mengidentifikasi buku-buku yang jumlahnya mungkin lebih dari 300 buah yang dibagi dalam delapan kardus ukuran besar dan sedang. Hampir seluruh buku-buku yang didapatkan berbahasa inggris hingga mandarin atau jepang. Salah satu buku menarik perhatian saya, dalam salah satu tumpukan buku terdapat Sejarah Nasional Indonesia: Jilid VI edisi pertama yang belum memiliki ISBN. Buku ini tampaknya terbit pada pertengahan 1970-an ketika Orde Baru sedang dan tengah membangun kekuasaannya. Kata pengantar dan daftar isi dari buku itu saya gunakan untuk penugasan yang lain. Sementara itu, pikiran saya terbayang pada sebuah sub-bab – yang tak asing lagi – dengan judul Gerakan 30 September (G.30.S/PKI) versi lite, tetapi “resmi.”

Berangkat dari penemuan buku itu, saya teringat sekitar empat bulan sebelumnya saya membeli sebuah novel bekas berjudul Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta yang baru selesai saya baca tiga atau dua bulan sebelumnya. Novel setebal hampir 600 halaman ini bercerita mengenai kehidupan Mawa seorang mantan guru yang tergabung dalam sebuah organisasi yang telah dilarang. Setelah pecah geger 65, Mawa memutuskan untuk banting setir menjadi seorang pedagang toko kelontong. Mawa berusaha untuk tidak menonjolkan diri selama bulan-bulan penuh pembunuhan dan penahanan massal tak berlandaskan hukum dan peri kemanusiaan tersebut. Namun, usahanya ini gagal ketika identitasnya bocor dari salah seorang teman Mawa yang telah mendekam di penjara terlebih dahulu. Selama ditahan tanpa proses hukum inilah yang menjadi inti utama dari novel ini. Diceritakan bahwa Mawa berpindah dari satu penjara ke penjara lain, dari satu siksaan ke siksaan yang lain. Selama masa penahanan Mawa bertemu dengan berbagai tahanan dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda-beda, ia juga teringat dan rindu dengan kekasihnya, Nio. 

Setelah novel ini hampir selesai saya baca, datang sebuah buku berjudul Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal Di Indonesia 1965-1966 karya Geoffrey B. Robinson dari seorang saudara. Buku ini menjelaskan secara “apik” terkait dengan pembangunan tensi, proses penangkapan hingga pembunuhan massal, hingga “pembebasan” para tapol – dengan kategori tertentu – setelah hampir atau lebih dari satu dekade mendekam di penjara hingga dibuang di Pulau Buru hingga peran-peran yang dijalankan oleh negeri-negeri Barat selama proses tersebut terjadi. Saya kira tak ada salahnya untuk mencoba membandingkan tiga buku ini untuk memahami penahan dan pembunuhan yang terorganisir ini secara utuh

Di sisi lain, salah satu bagian dari novel tersebut menceritakan waktu dan proses penangkapan Mawa. Diceritakan bahwa Mawa telah bersembunyi sekitar setahun setelah meletusnya G30S. Saat proses penangkapan, penyitaan aset-aset milik Mawa terjadi bahkan salah seorang tentara menyita bongkahan-bongkahan sabun asal RRT. Salah seorang tentara itu menyebut sabun itu sebagai kiriman dari Mao Tse Tung. Hal ini dapat dikonfirmasi ketepatannya lewat buku karya Geoffrey. Ia menjelaskan bahwa gelombang penangkapan terjadi dari 1965 hingga 1970-an. Penyitaan barang-barang tersebut dilakukan untuk menyiapkan narasi resmi terkait dengan kesalahan mereka. Tampaknya cerita dari Mawa ini adalah kasus yang ekstrim, dari seonggok sabun, narasinya dapat diubah menjadi kiriman dari RRT, bahkan Mao Tse Tung.

Di sisi lain, selama ditahan Mawa teringat akan cerita Liem – seorang temannya dari Bali yang – berhasil melarikan diri ke Jawa. Liem menceritakan bahwa terjadi pembunuhan besar-besaran yang sadis dan tak masuk akal di Bali. Cerita ini dapat dikonfirmasi dengan tulisan karya Geoffrey dan Soe Hok Gie. Menurut Geoffrey, pembunuhan besar-besaran memiliki sebuah pola yang dapat dicermati lebih jauh. Pembunuhan dengan skala yang masif terjadi di tempat yang mana militer memiliki kekuatan dan sumber daya yang lemah. Sedangkan, di tempat yang mana banyak terjadi penahanan dapat dipastikan bahwa militer memiliki kekuatan dan sumber daya yang kuat untuk menghidupi para tahanan.

Di samping itu, novel ini dapat dijadikan sebuah kritik atas narasi resmi dari Orde Baru untuk mendiskreditkan PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya. Buku Sejarah Nasional Indonesia: Jilid VI edisi pertama langsung mendakwa dan menyamakan “karakter” partai-partai komunis di hampir seluruh dunia dengan …merebut kekuasaan negara dan menyingkirkan kekuatan-kekuatan politik lainnya… Sedangkan penahanan hingga pembunuhan massal tidak disinggung sama sekali. Hal ini tidak mengejutkan bila telah membaca kata pengantar terlebih dahulu. Disebutkan bahwa ada “keterbatasan” tempat, sehingga tidak seluruh fakta sejarah dapat dimasukkan ke dalam buku ini. Tentu saja hal ini dapat dipahami – dengan cara lain saat ini – bahwa Orde Baru yang sedang berkuasa, berusaha untuk menyusun dan melanggengkan kekuasaannya. Orde Baru tentu tidak ingin masa kepemimpinannya dimulai dengan konflik dan darah.  Oleh karena itu, di

Di samping berbagai kelebihan tersebut, buku ini tidaklah luput dari beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan, misalnya terdapat tokoh-tokoh lain yang sebetulnya memiliki cerita yang menarik, tetapi kisahnya terhenti begitu saja. Hal ini membuat pembaca akan bertanya-tanya mengenai latar belakang dan kisah dari orang-orang yang ditemui Mawa selama berada di penjara. Namun, tampaknya hal ini dapat dipahami, pembaca dibuat untuk merasakan apa yang dialami oleh Mawa yang hanya menerima cerita-cerita dari orang lain yang sepotong-potong. Tentu saja hal ini dilakukan agar tokoh-tokoh tersebut terhindar dari proses interogasi, sebab hanya berdasarkan dari cerita mulut ke mulut, hati ke hati, itu sudah menjadi bukti cukup untuk membawa seseorang untuk diinterogasi ulang, bahkan dijebloskan ke dalam sel yang lebih tidak manusiawi jika mereka salah bercerita ke orang lain yang diduga merupakan pengadu atau cecunguk.

Novel ini saya nilai sangat cocok bagi Anda yang menggemari cerita berlatar belakang sejarah Indonesia. Selama ini tidaklah banyak novel-novel yang membicarakan penahanan dan pembunuhan massal pasca G30S. Perlu diketahui bahwa tidak banyak orang-orang yang mengalami langsung peristiwa tersebut menuliskan kisahnya. Putu Oka Sukanta adalah salah seorang di antara beberapa yang sanggup untuk menuliskan kembali peristiwa kelam tersebut. Ia sempat mendekam di penjara – tampaknya di daerah DKI Jakarta atau Jawa Barat – selama satu dekade. Sehingga, tidak mengherankan novel yang ia tuliskan mampu begitu mendetail berbicara soal kehidupan sehari-hari di penjara Orde Baru. Mulai dari makanan, penyakit, hingga para pengkhianat kawan sendiri.


Posted

in

by