Taman Baca | Taman OI, Ciputat Tangerang Selatan

Setiap hari, di tengah hiruk-pikuk kolong jalan layang di depan Pasar Ciputat yang senantiasa macet itu, beberapa petugas kebersihan terlihat beristirahat di pos bertuliskan “Taman Baca”. Ada yang tidur di bangku panjang, di bawah rak-rak buku yang digantung di atasnya. Ada juga yang duduk di taman, membersihkan pos, atau membersihkan area itu dari sampah.

Salah seorang petugas kebersihan itu, Sarwani (57), siang itu terlihat duduk santai di depan Taman Baca itu. “Biasa setiap habis nyapu, ngaso di sini,” ujarnya sambil sesekali memungut plastik yang terbang tertiup angin ke tempat itu.

Ia mengaku lebih nyaman beristirahat di tempat tersebut. Selain membersihkan jalan raya dari sampah, ia juga sesekali merawat tanaman di kolong jembatan layang itu, memberinya pupuk dan menyiraminya.

“Kalau lagi istirahat, bisa tidur di pos atau baca buku. Kadang-kadang buku-buku dongeng. Ada banyak bukunya,” katanya.

Areal seluas sekitar 500 meter persegi di bawah kolong jembatan layang itu kini ditumbuhi aneka tanaman hias. Sebuah pondok yang tadinya pos Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangsel diubah menjadi Taman Baca dengan buku-buku yang tertata di rak-rak gantung dari tripleks.

Syabana (32) dan beberapa anak muda lain mengawali gerakan itu pada 2014. Ia adalah ketua komunitas Orang Indonesia (OI), para fans penyanyi Iwan Fals, di Tangerang Selatan. Syabana mulai mengubah kolong jalan layang itu dengan membersihkannya melalui gerakan sapu lidi. Ada sekitar 30 pemuda ikut serta menyapu dan membersihkan area kolong tersebut.

Gerakan itu kemudian berlanjut dengan mengupayakan kolong jembatan layang menjadi taman. Selama ini, kawasan sekitar jembatan layang itu sangat gersang. Nyaris seluruh tanah tertutup beton, bangunan pasar, tempat parkir, dan deretan toko. Kemacetan kerap terjadi karena angkutan umum sering mengetem menunggu penumpang.

Mulai Januari 2016, Syabana dan kawan-kawannya mulai membersihkan kolong jalan layang. Sisa-sisa paving block yang menumpuk disusun dan dibuat jalan setapak. Kemudian, setiap anggota membawa tanaman untuk ditanam di situ. Mereka menamai taman itu dengan “Taman OI”.

Ariantoroi (29), salah satu anggota OI Tangerang Selatan, bercerita, saat itu anak-anak muda tak punya uang untuk menghias kolong jalan layang menjadi cantik. Namun, sedikit demi sedikit, setiap anggota OI membawa tanaman untuk ditanam hingga kolong itu menjadi agak berwarna.

Lama-kelamaan Pemerintah Kota Tangerang Selatan pun melirik upaya mereka. Petugas Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Permukiman (DKPP) Tangerang Selatan awalnya mencabuti tanaman-tanaman yang telah ditanam di lokasi itu. Namun, setelah diprotes, DKPP akhirnya ikut menanami area itu dengan lebih banyak tanaman hias.

“Waktu itu kami sempat down. Kok, pemerintah begitu, sih? Kami sudah bersusah payah menanam. Kalau kami punya uang, pasti bisa bikin taman yang bagus banget. Namun karena enggak punya uang, ya, seadanya. Pokoknya kami ingin tempat ini bisa jadi nyaman,” kata pemuda yang akrab disapa Toroi itu.

Dihubungi terpisah, Kepala DKPP M Taher Rochmadi mengatakan, jumlah taman yang menjadi ruang publik di Tangerang Selatan belum cukup. Setidaknya ada empat taman di Tangerang Selatan, yaitu Taman Kota 1, Taman Kota 2 dan Taman Perdamaian di BSD City Serpong, serta Taman Kuda Laut yang dibangun Pertamina di Pondok Ranji. Sisanya adalah taman-taman di dalam kompleks perumahan serta taman penghias jalan.

Padahal Tangerang Selatan memiliki tujuh kecamatan yang kini dipadati permukiman dan kawasan komersial. Tangerang Selatan yang sudah berusia 8 tahun ini juga tidak memiliki alun-alun kota.

Tak punya tempat

Menurut Toroi, sebelum ada taman itu, anak-anak muda setempat tak punya tempat untuk berkumpul, berdiskusi, atau menuangkan ide kreatif lainnya. Tempat-tempat yang ada dulu telah berganti menjadi area komersial, seperti mal, restoran, atau kafe. Jika masuk ke sana, mereka harus merogoh uang yang tidak sedikit. “Masak mau diskusi saja, kita harus keluar uang?” katanya.

Setelah taman itu jadi, siapa pun bisa datang untuk sekadar mengobrol, beristirahat, atau membaca buku. Syabana mengatakan, komunitas di sekitar pasar yang sebelumnya saling curiga dan rawan kejahatan, kini menjadi saling menjaga. Rasa memiliki kawasan itu pun mulai tumbuh.

“Taman Baca itu merupakan inisiatif mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Mereka menyumbang buku-buku setelah tahu di sini ada kegiatan. Sekarang pengelolaannya diserahkan kepada kami. Sampai sekarang masih saja ada orang datang menaruh kardus penuh buku ke sini,” kata Syabana.

Saat ini, ada banyak komunitas datang dan melakukan aneka kegiatan di tempat itu. Saking banyaknya komunitas, mereka menyatukan diri dalam komunitas “Satu Atap”. Dari komunitas-komunitas ini pun kemudian lahir lagi komunitas bernama Pemuda Pengabdi Nusantara (P2N) yang setiap Sabtu mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak secara gratis.

Mereka mengajar di Jalan Bakti RT 003 RW 007 Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat, sekitar 2 kilometer dari kolong jalan layang tersebut. Setiap Sabtu sore, mahasiswa dari sejumlah kampus di seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi datang untuk mengajar di tempat itu hingga malam.

Warga setempat menyediakan tempat bagi anak-anak untuk belajar. Anak-anak belajar di teras atau di ruang tamu beberapa rumah warga. Seorang warga, Ade Basuki (44), menyediakan teras rumahnya yang juga menjadi toko air isi ulang dan elpiji untuk tempat belajar anak-anak kelas I-III SD.

“Anak-anak senang sekali dengan kegiatan ini. Mereka sangat semangat. Kalau telat mulai sedikit saja, anak-anak enggak sabar menunggu. Kami juga terbantu karena biaya untuk kursus bahasa Inggris, kan, tidak murah. Sekarang mereka bisa belajar bahasa Inggris dengan gratis,” kata Ade.

Salah satu mahasiswa dari Universitas Pamulang, Oyi Asroriah (20), mengatakan, kegiatan P2N dimulai sejak Juli 2016 dan hingga kini berjalan setiap pekan. Jumlah pengajar pun terus bertambah. “Bagi saya, ini latihan juga untuk mengajar karena saya berkuliah di fakultas keguruan,” ujarnya.

Para mahasiswa itu membagi empat kelas berbeda di setiap pertemuan. Ada kelas untuk usia prasekolah dan TK, kelas I-III SD, kelas IV-VI SD, dan kelas untuk siswa SMP.

Terbukti, ruang publik ternyata dapat melahirkan kebersamaan dan kepedulian. Inilah yang menjadi cita-cita anak-anak muda itu. Mereka bermimpi kota yang mereka tinggali bisa menjadi kota yang ramah, yang warganya ikut merasa memiliki dan menjaga satu sama lain.

Disalin dari: Harian Kompas, 16 Desember 2016.


Posted

in

by