Sofie Dewayani | Literasi dan Kelisanan

Banyak mahasiswa pascasarjana mengeluhkan kemampuan mereka untuk membaca. Mereka membaca dengan kecepatan yang sangat rendah dan tidak efektif karena mereka tidak mampu membuat prioritas dalam memilah informasi ketika membaca. Mereka tidak membaca dengan aktif dan merasa kesulitan ketika harus menganalisis dan menyintesis bacaan.

Dalam kegiatan mem baca terbimbing (guided-reading), guru bekerja dengan siswa dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga hingga empat anak yang setara kemampuan membacanya. Guru lalu membantu anak untuk mengidentifikasi gagasan utama, pendukung, hubungan sebab-akibat atau pola argumen yang terdapat dalam bacaan, kemudian membimbing anak untuk melakukan asumsi, inferensi, dan menarik kesimpulan. Guru juga membantu anak untuk memaknai bacaan tersebut dalam konteks pengalaman mereka. Guru membantu menggugah minat anak terhadap teks yang dibacanya.

Memang, membaca bukanlah kegiatan yang pasif. Selama membaca, otak anak aktif mengolah informasi dan membangun konsepsi terkait dengan topik yang dibacanya. Bimbingan membaca merupakan upaya untuk lebih meng aktifkan proses mencerna ini.

Anak perlu dibimbing untuk membaca secara aktif, yakni menyerap informasi dan mengolahnya menjadi wacana yang bermanfaat bagi dirinya. Absen membaca Meningkatkan pemahaman terhadap bacaan sering dianggap sebagai tugas guru bahasa. Ini ironis karena teks padat informasi yang mendiskusikan topik abstrak yang kompleks sering ditemukan dalam buku teks pelajaran IPA, IPS, PPKN, atau agama. Dalam mencerna teks yang padat in ni, anak dibiarkan untuk melakukannya sendiri tanpa dibimbing dan diperkenalkan kep pada strategi membaca untuk memahaminya. Agar dapat menjawab soal ujian, anak mengambil jalan pintas. Mereka menghafal informasi dalam bacaan itu meskipun tak paham maknanya. Informasi yang dihafal pun akan cepat terlupakan. Namun, toh yang membuat anak `berprestasi’ ialah nilai ujian, bukan berkembangnya wawasan dan pemahaman.

Di era kurikulumm baru yang menekankan pada metode pembelajaran berpusat kepada anak dan penilaian berbasis portofolio siswa, tugas karya tulis menjad di sebuah hal yang niscaya di jenjang pendidikan dasar dan menengah.Karena tuntutan kurikulum, guru harus membiasakan diri untuk memberi tugas menulis dan memeriksanya. Ironisnya, tugas menulis ini diberikan ketika anak belum terbiasa dengan kegiatan membaca aktif. Dengan bekal pengetahuan mengolah referensi yang minim dan jembatan yang belum terhub bung antara kegiatan membacaa dan menulis, menuangkan ide dalam tulisan menjadi satu hal yang etika mereka sulit. Akibatnya, keterpaparan dengan informasi yang seharusnya menjadi referensi, mereka mencaploknya mentah-mentah. Kegiatan riset untuk memperkaya gagasan menjadi rawan plagiasi.

Di kelas penulisan artikel jurnal ilmiah yang saya ampu di ITB, banyak mahasiswa pascasarjana mengeluhkan kemampuan mereka untuk membaca. Mereka membaca dengan kecepatan yang sangat rendah dan tidak efektif karena mereka tidak mampu membuat prioritas dalam memilah informasi ketika membaca. Mereka tidak membca dengan baik dan merasa kesulitan ketika harus menganalisis dan menyintesis bacaan.

Ketidakmampuan ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas artikel jurnal yang mereka hasilkan. Hal ini menyedihkan, mengingat penulisan artiikel jurnal menjadi salah satu syar rat kelulusan.

Dalam kondisi seperti ini, siapakah yang bertanggung jawab untuk mengajarkan strategi i membaca, membongkar teks s padat informasi sehingga mudah dipahami, dan mempelajari struktur tulisan sehingga ide pokok dapat tergali? Tentunya bukan hanya guru bahasa, penngajar bidang studi lain pun perrlu melakukannya. Kesimpulan Kurikulum dapat berganti, tapi kita membutuhkan paradigma baru untuk literasi. Pemerintah dapat mewajibkan warrga sekolah untuk membaca dan meningkatkan ketersediaan buku di sekolah melalui suntikan dana, tetapi anak anaak lebih membutuhkan buku untuk menjadi hidup, lebih bermakna, dan relevan dengan kehidupan mereka.

Anak-anak tak hanya memerlukan buku, tetapi juga cara membaca yang membantu meningkatkan potensi kemanusiaaan mereka sehingga ketika mereka terpapar dengan teks multimedia, mereka tahu bagaimana seharusnya memilah dan memanfaatkannya.

Paradigma literasi yang memaanfaatkan kekayaan tradisi lisan­-bertutur dan berdiskusi–bekal yang dibutuhkan anak-anak untuk menghadapi era teknologi digital ini.

Sofie Dewayani; penulis, penggiat literasi, Ketua Yayasan Litara

Sumber: Media Indonesia, 3 Agustus 2015


Posted

in

by

Tags: