Sofie Dewayani | Buku Anak dan Identitas Indonesia di FBF 2015

PERHELATAN akbar Frankfurt Book Fair (FBF) sudah usai. Lampu sorot yang menerangi panggung utama tempat Indonesia tampil sebagai tamu kehormatan telah dipadamkan. Properti pertunjukan telah dikemas.

Buku-buku yang mendandani penampilan Indonesia di panggung pentas dunia itu kembali ke tempatnya semula di negeri ini. Mereka (buku-buku) meng huni sudut-sudut sunyi.

Kesempatan tampil dan menjadi pusat perhatian di ajang seperti Frankfurt Book Fair ialah kemewahan bagi bukubuku produksi dalam negeri.

Realitas bagi buku-buku karya anak negeri ini ialah menghadapi kenyataan bahwa buku masih merupakan komoditas industri. Dengan tingkat minat baca dan daya beli masyarakat yang rendah, harga kertas yang terus melonjak, masalah pembajakan, dan pajak pertambahan nilai (PPN) buku, produksi buku-buku di dalam negeri masih berjuang untuk memenuhi target penjualan yang sering begitu sulit diraih. Buku anak Indonesia, terutama, masih belum menjadi produk budaya.

Realitas buku anak Indonesia tak seindah logo 17 ribu Pulau Imaji (17.000 Islands of Imagination) bernuansa monokrom yang menjadi slogan Guest of Honour tahun ini.

Dengan merepresentasikan kemajemukan Indonesia, logologo ini merupakan rangkaian titik-titik piksel yang secara imajinatif membentuk gambar candi, reog, gunungan wayang, dan artefak lain yang sangat Indonesia. Saat tersebar di pusat-pusat keramaian dan Terminal S-Bahn, logo-logo ini mengundang pengamatan multiperspektif dan imajinasi kreatif.

Imaji ini mengingatkan kita bahwa Indonesia, sebagaimana tutur Benedict Anderson (1991), ialah sebuah imagined community. Meskipun mungkin tak mengenal atau bahkan bertemu satu sama lain, kita mengembangkan ikatan kebangsaan dengan membayangkan Indonesia sebagai komunitas yang kohesif. Melalui logo-logo itu, Indonesia tampil dalam wajahnya yang majemuk, terbuka, dan kreatif. Sayangnya identitas itu kurang tecermin dalam bukubuku anak Indonesia yang dipajang di pentas Frankfurt Book Fair.

Buku bacaan ialah buah pikir yang merefl eksikan perjalanan sebuah bangsa dalam berproses memaknai jati dirinya yang unik. Melalui buku, sebuah bangsa membuka dirinya untuk dipelajari dan dimengerti bangsa lain. Buku ialah karya intelektual yang merekam jejak pemikiran seseorang yang dibesarkan dalam konteks budaya tertentu.

Dengan demikian, buku ialah produk budaya yang merekam proses pencarian jati diri bangsa. Bagi pembaca anak, buku bacaan membantunya untuk memahami identitasnya, siapa dia dan di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Sebuah buku akan membantu anak untuk memahami lingkungan sosial dan bangsanya.

Identitas kebangsaan memang seharusnya tidak dipahami secara stagnan. Indonesia tumbuh secara dinamis sebagai bangsa, begitu pun anak-anak Indonesia. Anak tumbuh dalam lingkungan sosial yang menghadirkan tantangan demi tantangan.

Kemiskinan struktural, bencana alam akibat menurunnya kualitas lingkungan, dan sistem pendidikan yang semakin kompetitif ialah realitas modern yang mereka akrabi. Di samping itu, keragaman budaya menuntut anak-anak untuk piawai menyesuaikan diri.

Adakah multikulturalisme, isu sosial, dan lingkungan terartikulasikan dengan baik dalam bacaan anak kontemporer? Sayangnya tidak.

Yang termasuk dalam dinamika itu ialah tantangan pasar global. Penetrasi budaya pop seperti Disney dan Pixar menghantarkan tokoh-tokoh idola baru dunia anak, seperti Putri Elsa dan Putri Sovia ke penjuru dunia. Buku-buku bergambar diproduksi dengan gaya ilustrasi ala Disney. Di Indonesia, figur-figur putri dan tokoh-tokoh Disney ini mengalami rekontekstualisasi. Tokoh-tokoh rekaan ini berkulit putih dan berpipi semu merah seperti tokoh populer itu. Bedanya, mereka berkerudung dan berbusana menutup aurat. Imitasi dan rekontekstualisasi tentu ialah hal yang sangat wajar dalam industri.

Yang diperlukan anak Indonesia ialah ragam bacaan yang kaya yang terdiri atas buku terjemahan, buku anak mengusung budaya populer, dan buku-buku bernuansa budaya lokal yang membantu mereka memaknai identitas. Tampilnya Indonesia di panggung utama FBF 2015 memicu rasa penasaran beberapa penerbit asing untuk mengetahui wujud buku anak yang autentik Indonesia. Sayangnya mereka tak menemukan wujud itu.

Orient Verlag, sebuah penerbit Jerman, menganalisis bahwa buku-buku anak Indonesia masih berorientasi pada mass market, dengan cerita dan gaya ilustrasi yang berkiblat pada Disney. Indonesia tertinggal jauh dari Spanyol, India, dan Iran yang memiliki beberapa penerbit kecil yang fokus menerbitkan buku-buku dengan ilustrasi berkualitas yang sangat menonjolkan ornamen budaya khas bangsa mereka. Buku-buku seperti ini tentunya diproduksi dengan investasi waktu dan dana yang memberikan keleluasaan bagi terciptanya sebuah produk budaya bercita rasa tinggi.

Keingintahuan pembaca asing terhadap buku autentik Indonesia menjelaskan alasan buku-buku anak kontemporer bernuansa budaya Indonesia yang diterbitkan Yayasan Litara dan buku adaptasi ceri ta rakyat dari KPBA (Komunitas Pecinta Bacaan Anak) yang dijual di depan paviliun Indonesia habis terjual dalam sekejap. Dua penerbit ini ialah yayasan nirlaba yang tidak memasarkan buku secara massal di toko-toko buku besar karena tingginya rabat toko-toko buku ini.

Meskipun telah memenangi beberapa ajang kompetisi buku anak tingkat Asia dan dunia, buku-buku itu terus diproduksi dalam sunyi dan didistribusikan di luar rimba industri buku anak. Upaya itu membuktikan bahwa industri produksi budaya (cultureproducing industry) berusaha bertahan dalam marjin dunia perbukuan. Entah sampai kapan ini akan bertahan.

Tulisan ini tentunya tidak menafikan peran industri perbukuan Indonesia di arena global. Di FBF 2015, Indonesia masih menjadi kiblat bukubuku anak bernuansa religius.

Fakta bahwa buku-buku anak Indonesia diterjemahkan dan didistribusikan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakistan, Turki, dan Malaysia merupakan catatan pencapaian yang membanggakan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa industri buku di Indonesia masih berfokus pada memproduksi buku sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai moral. Sekali lagi, buku anak belum menjadi produk budaya literasi yang mengembangkan kemajemukan.

FBF 2015 meninggalkan satu pertanyaan penting. Apakah dunia produksi buku anak benar-benar ingin menciptakan segmen pembaca yang literer? Pertanyaan ini terdengar seperti utopia. Saat ini, penerbit buku anak mati-matian harus bertahan dengan–mau tak mau–memperlakukan penulis dan ilustrator cerita anak sebagai buruh industri. Penulis dan ilustrator harus bisa bekerja cepat memproduksi tema cerita dan gaya ilustrasi yang diprediksi akan disukai konsumen. Sementara itu, dikabarkan, di negeri jiran Malaysia, pemerintah bertindak proaktif mendukung produksi bukubuku anak bernuansa budaya lokal–tema-tema yang kurang diminati penerbit besar–untuk didistribusikan di perpustakaan dan sekolah di penjuru negeri. Di Indonesia, penerbit buku anak harus cukup puas ditampilkan di panggung gemerlap sesekali untuk kemudian berjibaku sendiri di sudut sepi.

Sofie Dewayani, penulis buku anak dan peneliti sastra anak

Sumber: Media Indonesia, 23 November 2015


Posted

in

by

Tags: