Sebuah Catatan; Radio Buku Pekan Pertama

Bersambung catatan kedua. Hari-hari berharga lainnya…

Pernahkah sekali waktu saat Anda mengunjungi sebuah perpustakaan kemudian merasa pusing? Bukan pusing karena demam, pilek, dan batuk-batuk. Melainkan dibuat pusing karena kesulitan mencari buku yang diinginkan. Seakan-akan, Anda tersesat di hutan belantara yang sekelilingnya penuh dengan buku-buku. Tidak jelas arahnya; tata letak bukunya tidak karuan. Pastilah rasa pusing Anda bukan kaleng-kaleng.

Dan, pernahkah Anda merasa bahagia bukan main sewaktu mengunjungi perpustakaan? Seakan menemukan harta karun, sebab Anda mendapati buku yang dikehendaki. Belum lagi, kalau buku itu cukup langka. Pastilah berlipat ganda kebahagiaannya. Biar pun sama-sama di hutan belantara berwujud perpustakaan, tentu yang kedua ini lebih menyenangkan. 

Kedua hal tersebut bersangkut dengan Anda. Dan sangat mungkin akan Anda alami ketika di perpustakaan. Keduanya, juga bersangkut paut dengan mereka, para pustakawan. Melabeli buku sesuai identitasnya, menata buku berdasar tata namanya, mengelompokkan buku di rak menurut temanya, adalah sebagian kecilnya saja kerja pustakawan. 

Meskipun terlihat sederhana, jangan menyepelekan pekerjaan mereka. Karena kerja-kerja merekalah yang menjadi sebab kelancaran atau malah kebingungan kita saat mencari sebuah buku. Meskipun hanya pengunjung, tentu tidak ada salahnya kalau kita mempelajari seperti apa kerja yang mereka lakukan. Terlebih lagi kalau suatu hari nanti memiliki perpustakaan pribadi, kita bisa mengaturnya sedemikian rupa agar buku dapat tersusun rapi.

Inilah yang kami pelajari di pekan pertama selama mengikuti volunteer di Radio Buku. Belajar dan praktik klasifikasi buku.

Menurut fasilitator, ada banyak sekali konsep yang digunakan sebagai klasifikasi buku. Konsep yang diterapkan oleh satu lembaga, tentu ada beda dengan lainnya. Dari sekian banyak itu, disana ada Klasifikasi Mandala. Klasifikasi yang diterapkan Radio Buku untuk mengelompokkan bukunya yang lebih dari 5.000 jumlahnya. 

Mengapa Radio Buku menggunakan konsep tersebut? 

Fasilitator menjelaskan, bahwa klasifikasi tersebut dicetuskan oleh Taufik Rahzen, dalam bukunya “Jurnal yang Melampaui Jurnalisme”. Buku tersebut menerangkan bahwa, asal muasal Klasifikasi Mandala adalah adopsi dari pemikiran Dang Hyang Nirartha, tokoh Agama Saiwa di Bali. 

Buku adalah salah satu sumber pengetahuan. Berbagai bahasan dalam buku, berdasar pada Klasifikasi Mandala, dibagi menjadi empat tema besar; Rasa, Basa, Masa, dan Yasa. Dan menurut Nirartha, keempatnya itulah inti dari seluruh ilmu pengetahuan. Maka, disitulah pangkal pertemuan Klasifikasi Mandala dengan buah pemikiran Dang Hyang Nirartha.

Rasa meliputi; Agama (AG), Budaya (BUD), Estetika (EST), Film (FLM), Kuliner (KUL), Musik (MUS), Psikologi (PSI), Sastra (SAS), Senirupa (SRP), Spiritual (SPI).

Basa meliputi; Bahasa (BAH), Filsafat (FIL), Internet/Pemrograman (INET), Kamus (KAM), Panduan (PAN), Pers/Media (MED), Sains dan Matematika (SNM). 

Masa meliputi; Biografi (BIO), Ekonomi (EKO), Hukum (HUK), Kronik (KRO), Lingkungan (LKG), Maritim (MRT), Militer (MIL), Olahraga (OR), Pendidikan (PND), Pertanian/Peternakan (PRT), Politik (POL), Region (REG), Sejarah (SEJ), Sosial (SOS), Teknologi (TEK). 

Yasa meliputi; Arkeologi (ARK), Arsitektur (ARS), Transportasi (TPR).

Kegiatan kali ini, tidak banyak “bla, bla, bla…”. Tidak banyak teori. Cukup singkat penjelasan dari fasilitator, kemudian kami melakukan praktik langsung. Setiap individu harus melakukan klasifikasi buku sebanyak 30 judul. Kurang lebih, kami sudah mengklasifikasikan sebanyak 510 buku. Oh ya, kebetulan waktu itu sedang banjir buku di Radio Buku. Sebanyak 8 kardus buku didatangkan dan belum diklasifikasikan. Sebanyak itulah stok kami. Tentu,  masih banyak sisa buku yang belum diklasifikasikan.

Singkat teori yang dijelaskan, ternyata tidak sesingkat pelaksanaannya. Katanya, secara sederhana, klasifikasi buku dapat dilakukan hanya dengan melihat halaman awalnya saja kemudian dimasukkan pada kolom yang sudah tersedia di Google Sheets. Seluruh informasi mengenai buku, dapat kita temukan pada halaman kolofon. Disinilah juga awal dari kebingungan terjadi.

Halaman kolofon, apa itu?” Ternyata, beberapa dari kami ada yang belum mengetahuinya. Ternyata, halaman kolofon itu yang terletak pada halaman awal sebuah buku. Di sana, bisa kita temui seluruh informasi penting mengenai buku. Mulai tahun terbit, kota terbit, jumlah halaman, pengarang, dan sebagainya. 

Berturut-turut, informasi sebuah buku ditulis berdasar judul, pengarang, tahun terbit, ISBN/ISSN, lemari, klasifikasi, lokasi (tempat terbit), bahasa, penerbit, tahun terbit, kota terbit, halaman, judul seri, item data, subjek. Semua itu sudah tertera di Google Sheets yang disediakan fasilitator.

Setelah kami, peserta volunteer, selesai mengklasifikasi buku, cukup banyak yang mengatakan bahwa kegiatan tersebut cukup membosankan. Mengapa demikian? Ya mungkin saja karena tidak ada pendapatannya (baca; gaji). Mungkin pendapatnya akan berbeda jika ada pendapatannya. Maklum saja, ini adalah kegiatan volunteerism, kegiatan kesukarelaan. Jangan dicari uangnya, tapi dicari ilmunya. Hehe

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dari kegiatan itu, dia menjadi berempati kepada kerja-kerja pustakawan. Katanya, dia jadi mengerti bahwa kerja pustakawan itu tidak mudah, tidak sepele. Kerja-kerja seperti itu memiliki dampak yang besar terhadap para pengunjung perpustakaan.

Pada akhir sesi, fasilitator menjelaskan lebih lanjut alasan pemilihan klasifikasi tersebut serta perbandingannya dengan metode klasifikasi lainnya.

Fasilitator mengatakan bahwa terdapat Klasifikasi Dewey. Klasifikasi tersebut ternyata cukup panjang dan lebar. Banyak kode-kode yang digunakan dalam mengelompokkan buku. Lebih lanjut, pada era ini kita sedang dilanda banjir informasi. Salah satunya ditandai dengan banyaknya buku yang beredar, jumlahnya lebih dari jutaan. Maka, apabila Radio Buku menggunakan Klasifikasi Dewey, akan cukup merepotkan. Kurang efektif dan efisien.

Rasa-rasanya, sangat kurang kalau pada pekan pertama ini, peserta hanya memegang dan membolak-balikkan buku saja. Sehingga agar tidak hanya sekadar itu, kami ditugaskan untuk membuat komentar dari kata pengantar sebuah buku. Kata pengantar yang dikomentari, harus dari buku yang sudah diklasifikasikan oleh masing-masing peserta.

Agar tidak hanya membaca kata pengantarnya saja dan lebih mendalam lagi, kami ditugaskan untuk membuat sebuah tulisan berisi rekomendasi buku. Tentu garis besar tulisannya mengenai alasan mengapa buku yang dipilih itu pantas dibaca khalayak. Dengan begitu, pastilah buku yang direkomendasikan itu sudah pernah dibaca sebelumnya. Aneh juga kan kalau merekomendasikan buku tapi belum pernah membacanya?

Fasilitator mengulik sedikit mengenai tugas terakhir kami. Katanya, tidak hanya rekomendasi buku yang banyak diterapkan oleh suatu lembaga, khususnya perpustakaan. Ada juga yang menerapkan penginformasian mengenai buku yang paling sering dibaca, buku yang paling sering dipinjam, dan lainnya. Lebih khusus lagi, kegiatan merekomendasikan buku itu sebenarnya tidak terlepas dari hal yang politis. 

Hari-hari yang sudah berlalu pada pekan ini, membuat saya ingin mempunyai sebuah perpustakaan sendiri. Meskipun kecil, kalau menerapkan Klasifikasi Mandala yang sudah saya pelajari, tentu buku dapat tertata dengan sedemikian rupa. Efektif dan efisien hasilnya. 

Berlebihan jika saya membayangkan mempunyai perpustakaan pribadi. Buku saya saja tidak lebih dari 20 judul. Bayangan saya, layak dikatakan sebagai perpustakaan pribadi itu kalau memiliki minimal 50 judul jumlahnya. Dan, seketika itu juga saya menyadari, bahwa buku juga barang komersil. Singkatnya, jumlah buku berbanding lurus dengan jumlah uang. Kalau punya banyak uang, lebih memungkinkan punya banyak buku.

Lalu, bagaimana dengan saya? La wong, punya banyak uang saja tidak, apalagi punya banyak buku. Alternatifnya ada dua; membeli buku bajakan atau mengharap uluran tangan dari pihak yang surplus buku. Jelas saja, alternatif pertama itu bisa berakibat fatal, karena aturannya sudah ada dan berakibat penjara. Sekarang, hanya ada alternatif kedua. Semoga harapan itu terwujud. Ya, semoga saja.

Namun, keinginan saya malah semakin menggebu-gebu tatkala saya berada di sini, Radio Buku. Saya tahu,  banyak teman saya di rumah yang sangat bersemangat untuk membaca. Teman saya adalah mereka para pemuda desa. Teman-teman saya ini kerap dikutuk berbagai pihak. Kata mereka, pemuda desa itu pemuda yang bodoh, kudet, minat bacanya rendah, dan kutukan lainnya. 

Saya heran, orang kok suka sekali mengutuk orang lain. Jangan hanya mengutuk, mari ajak mereka untuk belajar. Kasih mereka buku-buku berkualitas, berikan akses yang mumpuni. Niscaya suatu saat, mereka yang mengutuk akan mengetahui bahwa mereka adalah pemuda harapan bangsa. 


Posted

in

by