Halo, namaku Rio, lengkapnya Rio Aji Nusantara Putra S. Nama yang terlalu panjang untuk orang yang terlalu gampang menyimpulkan. Aku hanyalah manusia biasa yang diberi kesempatan oleh semesta untuk memenuhi space di alam ini. Aku kira itu adalah privilege untukku, setelah kupikir-pikir, ternyata semesta memberikannya kepada setiap insan yang lahir di alam ini. Sudahlah, toh untuk memintaku tak dilahirkan juga tidak akan bisa bahkan tidak mungkin.
Jika ditarik kebelakang, sebetulnya aku adalah sosok yang pemalu, pasif, penakut, serta malas berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata ‘hay’ saja bibirku tak kuasa menahan getar di setiap celahnya. Tapi itu adalah diriku sebelas tahun lalu. Dimana ketika itu aku tengah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Aku jadi teringat ketika pertama kali mendaratkan kepalan tanganku tepat di pelipis mata kawan sekelasku. Aku berasa seperti Mike Tyson yang berhasil mengalahkan Trevor Berbick sebagai balasan atas kalahnya Muhammad Ali saat itu. Di momen itu pula
aku mulai berpikir, ternyata orang lain juga mengamati setiap pergerakanku. Mereka tidak menganggapku sebagai angin yang hanya lewat begitu saja. Aku nyata, dan setiap gerak-gerikku diawasi oleh siapa saja. Dari situ, aku mengubah seluruh pola dalam diriku. Mulai dari sikap, perilaku, hingga pemikiran. Aku tumbuh sebagai seorang yang mungkin bisa dibilang nakal dan sok tahu di sepantaranku.
Waktu terus berjalan dan aku yang dipaksa untuk terus mengikuti waktu tersebut akhirnya lulus dari sekolah dasar yang notabennya agama itu. Enam tahun belajar disana menjadikanku sadar jika ini hanyalah bualan para orang tua agar anaknya bisa lebih mengerti agama alih-alih mereka yang malas mengajarkannya atau mungkin imannya yang tidak kuat. Dari situ dengan sadar aku menolak setiap sekolah berbasis agama yang ditawarkan oleh orang tuaku walaupun dengan iming-iming besar. Akhirnya hanya aku yang dapat menentukan mau kemana aku berjalan selanjutnya. Masuk di masa sekolah menengah pertama sudah pasti tingkahku yang aneh itu semakin menjadi-jadi. Di tahap ini aku sudah pandai dalam hal mengelabui sikapku yang gila di sekolah itu dengan dialektika yang baik saat berbincang dengan kedua orang tuaku. Namun, hal ini ternyata tidak menyelamatkanku pada hal nilai akademis, hasil ujian anjlok dan aku terpaksa harus terasingkan di sekolah negeri yang jauh di antah berantah.
Semua asing, mulai dari tongkrongan, pembahasan, bahkan bahasanya yang beda. Dari situ aku juga mulai menemukan hal baru, bahwa dunia ini luas dengan problematikanya yang tak kalah kompleks. Aku berusaha membaur dengan yang lain dan berpikir harus berbuat apa sekarang ini. Akhirnya aku menemukan tempatku. Musik, itu adalah diriku. Aku merasa hidup di dalamnya. Tapi, ada satu hal yang jadi masalah disini, dimana aku bukanlah orang yang berbakat dalam hal berkesenian, seperti bermain musik, menggambar, dan bernyanyi. Akhirnya, aku mencoba mencari celah lain disana. Satu-satunya yang ternyata hanya bisa kuperbuat adalah berpikir, dan sepertinya tulisan ini ku sudahi saja karena aku sudah mulai malas berpikir. Tapi, pastinya akan aku perbaiki tulisan ini dilain waktu.
Apapun yang telah aku perbuat di masa lalu tidak ada satupun muncul di benakku untuk menyesalinya, karena jika tidak ada kejadian tersebut, maka aku tidak akan sampai seperti sekarang ini.