Pelesir Literasi LPM Kentingan UNS


Indonesia Buku (I:Boekoe) terbuka kepada siapa saja, walau tujuan mereka sedikit muskil dipahami. Tujuan mereka beragam; beli buku, lihat-lihat arsip, baca buku di perpustakaan, main internetan sepuasnya, atau seduh kopi semaunya—kalau ini bawa kopi sendiri dari luar. Selain itu, ada pengunjung beregu atau semata wayang dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta. Kami sebut mereka sebagai pelesir literasi.

Orang-orang yang berkunjung pun bermacam asal; dari ujung barat hingga daerah terluar timur Indonesia. Pada 2 Desember 2017, I:Boekoe kedatangan kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS). Mereka ingin mengetahui bagaimana kerja kearsipan di Warung Arsip.

I:Boekoe memiliki tiga komunitas di bawahnya; Radio Buku, Warung Arsip, dan Gelaranibuku. Tiga komunitas ini tidak lepas dari literasi. Radio Buku mengabarkan dan mengarsip suara literasi. Warung Arsip menyimpan koran-koran lama/baru dan buku lama. Dan, Gelaranibuku sebagai perpustakaan dengan koleksi buku pilihan. Ulasan lengkap ini ada di Pocer.co.

LPM Kentingan dengan rombongan sekitar kurang lebih 40 orang menyesakkan ruang temu I:Boekoe. Tidak sekadar ingin tahu kerja arsip di Warung Arsip, namun bagaimana sejarah I:Boekoe berdiri.

Saya menyuguhkan kalimat-kalimat menggugah tentang arsip. Walaupun, kerja arsip berdekatan dengan kesepian, saya mencoba meramaikannya.

Saya awali diskusi bersama LPM Kentingan dengan kalimat Gus Muhidin M. Dahlan, bahwa salah satu dari banyak orang menghargai arsip adalah orang yang punya keinginan kuat dalam menulis.

Kutipan itu menjadi pemacu saya untuk tetap dan terus mengarsip. Sumber beberapa tulisan saya berasal dari arsip-arsip di Warung Arsip. Bila saya membutuhkan arsip lama, tinggal tengok ke Bank Arsip. Jika mau menulis tokoh maka saya obrak-abrik arsip yang menumpuk di gudang Warung Arsip.

Saya katakan kepada mereka bahwa penulis mesti memiliki sumber sahih (baca: riset). Mungkin ada penulis menulis tanpa meriset dulu, tetapi percayalah tulisan itu semata-mata bualan saja. Tulisan yang omong kosong hanya lahir dari seorang pembual.

Warung Arsip memiliki cara mengarsip tersendiri. Kami tak lagi mengarsip dengan gaya lama; beli koran cetak, menggunting, dan menempelkan di kertas kosong. Seperti kerja arsip yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer; membeli koran dua eksemplar pada edisi yang sama. Sebab, dengan membeli dua edisi yang sama agar tiap halaman tidak ada terbuang. Halaman ganjil tetap utuh dan halaman genap tidak terabaikan.

Warung Arsip tidak ikuti pola kerja arsip Pram tersebut. Kami gunakan kamera untuk memfoto tiap halaman koran cetak. Foto-foto itu kami jadikan PDF pada tiap edisi. Lain hal dengan buku-buku lama yang tidak lagi beredar di pasar. Kami memindai buku lama itu ke digital dengan menggunakan mesin pindai, pastinya.

Setelah Prima Hidayah selaku Ketua Radio Buku membahas singkat perihal Radio Buku, saya meminta kepada Gus Muh untuk berbicara juga. Karena saya meyakini anggota LPM Kentingan ingin bercuap-cuap langsung dengan Ketua Harian Indonesia Buku tersebut.

“Perihal mengarsip bukan seberapa canggih alat arsipmu, bukan seberapa mahal mesin pindaimu, tetapi seberapa ulet, tekun, dan fokus dirimu dalam mengarsip.” Mungkin seperti itu inti pesan dari Gus Muh.

 

Safar Banggai

Penjaga Warung Arsip