Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, ia sudah menulis puisi dan dimuat di media berbahasa Jawa. Beberapa waktu kemudian, dia mendirikan komunitas pencinta sastra, arisan sastra, hingga lembaga berbadan hukum yang fokus mengawal literasi. Sebanyak 28 buku tentang politik, filsafat, dan pendidikan telah dihasilkannya, plus lima buku yang ditulis secara bersama.
”Ada orang tua yang masih mau membaca puisi, menulis sastra, itu luar biasa,” ujar Nurani Soyomukti (36), mengawali obrolan, Minggu (22/11) di Trenggalek, salah satu kabupaten di pesisir selatan Jawa Timur.
Penghargaan penulis muda dari Kemenpora, selaku Juara Umum Lomba menulis esai pemuda dalam rangka hari Sumpah Pemuda 2007
Ia pun mendeskripsikan singkat tentang daerahnya. Dengan luas 1.261 kilometer persegi, hampir dua pertiga wilayah Trenggalek berupa pegunungan. Dari 14 kecamatan, hanya 4 yang berada di dataran rendah.
Namun, di wilayah yang notabene bukan kota pendidikan itu, literasi berkembang lumayan pesat. Pada 1980-an dan 1990-an, sudah muncul penulis lokal. Sebut saja Sri EM Yani, Sri Purnanto, dan Bonari Nabonenar yang tulisannya sering mewarnai majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya, Panjebar Semangat, dan Djaka Lodang. Namun, kegiatan mereka baru sebatas tataran individu, belum menjadi sebuah gerakan.
Gerakan literasi baru terasa mulai 2009-2010 ketika berdiri unit kegiatan mahasiswa (UKM) berupa Komunitas Mahasiswa Pencinta Sastra yang disingkat Kompas. Kompas mewadahi para pencinta sastra yang tengah menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Trenggalek.
Penggagasnya ialah Nurani yang saat itu sedang kuliah untuk mendapatkan ijazah Akta 4 guna mengajar di salah satu SMP di Kecamatan Watulimo yang baru berdiri dua tahun. Karena rekan-rekannya rata-rata hanya memiliki referensi soal sastra dari bangku kuliah, Nurani mendorong mereka untuk belajar lebih, mulai dari membaca puisi hingga menulis cerpen.
Berhasil mendirikan UKM, masih tahun 2010, Nurani lalu membentuk komunitas baru bernama Arisan Sastra Bulanan. Tujuan membentuk arisan ini adalah mendidik masyarakat untuk gemar membaca dan menulis. Teknisnya, setiap anggota hanya membayar Rp 10.000 sekali pertemuan dan kegiatan ini boleh diikuti siapa saja. Memanfaatkan pesan pendek dan jejaring sosial Facebook, arisan yang baru berdiri itu berhasil menjaring 40 anggota. Tua muda ikut, termasuk Wakil Bupati Trenggalek saat itu Mahsun Ismail. (Defri Werdiono)
Sumber: Kompas, 11 Desember 2015. Selengkapnya disimpan di gudang warungarsip.co