Muhammad Ghufron

Muhammad Ghufron, memecahkan tangis pertamanya di Sumenep, 29 Juni 2000, sekira setahun sebelum pemangku jabatan partai Banteng itu dikukuhkan sebagai presiden. Ia merupakan mahasiswa aktif Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sebelum ke Jogja, dirinya jatuh cinta pada Pare, Kediri. Belajar di sana, di Kampung Inggris selama kurang lebih 8 bulan. Di Pare lah, bahasa Inggris yang semula asing jadi teman karib kesehariannya. Sinau Grammar merupakan kesukaannya. 

Saat ini berstatus sebagai koordinator Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY). Di Komunitas Kutub,  kesehariannya selain menulis untuk ‘menghidupi diri’,  juga medium ‘transformasi paling elegan’, dirinya masih terus belajar membaca, bersawala, dan menilik karya-karya sastra. Karya-karya sastra serupa  puisi, esai, dan cerpen bak suluh yang berusaha memandu jalan hidup manusia menyusuri halimun kehidupan. Baginya, sastra merupakan jalan subtil memperhalus budi. Membacanya ibarat menempa pisau yang masih tumpul, berusaha untuk dipertajam. 

Jejaring perkawanannya berusaha diperluas. Beruntunglah dirinya dikasih kesempatan belajar di Radio Buku. Kelak di Radio Buku, harapannya disemai, berharap terjadi intensitas dalam siklus berliterasinya di bawah asuhan para mentor. 

Selama ini, dirinya masih berusaha mengakrabi seputar dunia esai dan resensi. Dari beberapa keakrabannya itu, beberapa esai dan resensinya bernasib baik di tangan redaktur. Sebutlah Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Solo Pos, Tribun Jateng, Duta Masyarakat, Harian Analisa, Radar Mojokerto, Lampung Pos, Lensastra.id, Dialektikareview, Ruanggurublogspot dan satu buku antologinya ; Seabad Hassan Shadiliy (2020), sebuah dedikasi untuk sang leksilograf ulung, Hassan Shadiliy.

Selain mengakrabi esai dan resensi, dirinya juga tertarik pada bola, baik sebagai pemain maupun penikmat. Sebagai penikmat, esai-esai memukau dari seorang Zen RS, Shindunata, dan Nick Hornby (sastrawan Inggris penggandrung Arsenal) semakin memantik hasrat kecintaannya pada bola. Penulis-penulis itu tak sekadar ngomong bola, tapi menautkannya dengan dimensi hidup yang (barangkali) jarang dijamah, serupa tangis, perjuangan, dedikasi, dan ketulusan pada sebuah tim. 

Suka bola sejak kecil. Mengidolakan Lionel Messi, yang digadang-gadang jadi titisan sang pemilik ‘Gol Tangan Tuhan’, Diego Armando Maradona. Pertautan dengan sosok Messi secara praktis juga menghantarkan dirinya mengagungkan klub asal Catalan, FC Barcelona, sebuah klub sepak bola dengan filosofi permainan ‘Tiki-taka’. Itulah sekelumit hal-ihwal tentang dirinya. Begitu. 


Posted

in

by