Menuju Grassroot Journalism Sebagai Alternatif Jurnalisme di Indonesia

Jurnalisme menjadi andalan publik untuk memetik informasi dari segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Pun ia berfungsi sebagai corong berekspresi masyarakat dalam keriuhan diskursus publik.

Namun, informasi dalam tangan dingin media tidaklah netral. Media melakukan framing, yaitu penarasian informasi guna mempengaruhi pemaknaan pembaca sesuai dengan kepentingan media. Dalam etika jurnalisme, media harus memihak kepentingan publik sekaligus independen.

Sayang, banyak media di Indonesia lebih memihak kepentingan pemiliknya alih-alih kepentingan publik. Tak perlu kaget. Penelitian berjudul Mapping the landscape of the media industry in contemporary Indonesia (2013) menyimpulkan kepemilikan media di Indonesia semakin mengerucut pada beberapa konglomerat.

Media jadi ladang kekuasaan mereka. Profit menjadi tujuan utamanya. Pengerucutan ini bertransformasi menjadi sebuah fenomena oligarki media. Media menjadi corong buat kepentingan oligark, informasi dinarasikan sedemikian rupa agar opini publik selaras dengan kehendaknya. Di sisi lain banyak pula di antara pemilik media terjun ke mandala politik sehingga media digunakan semata sebagai panggung akrobat politik mereka.

Kasus konkrit bagaimana media jadi corong suara oligark dapat kita tengok pada cara media memberitakan demonstrasi besar kontra Omnibus Law akhir 2020 lalu. Ketika Anda menonton berita di TV atau internet, maka pemberitaan demonstrasi umumnya berfokus pada kerusuhan atau hal-hal negatif lainnya di pihak demonstran alih-alih membahas substansi isu yang diperjuangkan demonstran atau mengungkap kekerasan polisi yang mewabah. Sangat jelas, framing tersebut membentuk persepsi buruk demonstrasi dan menguntungkan secara politis posisi pemerintah. Toh, para pemilik media itu dekat dengan pemerintah, seperti Surya Paloh dan Hary Tanoe — masing-masing pemilik Media Group dan MNC Group — yang mendukung Presiden Jokowi pada pilpres 2019.

Tak ada independensi lagi, pro-publik telah minggat. Media adalah suara bos. Independensi media berada pada senjakalanya.

Namun, kita belum boleh menyerah untuk menemukan alternatif media independen dan terpercaya. Masih ada harapan melalui berbagai macam metode jurnalistik yang semakin banyak seiring berkembangnya teknologi. Salah satunya adalah jurnalisme akar rumput (grassroot journalism) yang penulis tawarkan sebagai jurnalisme alternatif yang pro-publik, independen, dan secara aktif melibatkan masyarakat.

Kita bisa menengok kiprah Nexta sebagai media akar rumput yang menjadi ujung tombak demonstrasi di Belarusia menuntut Presiden Alexander Lukashenko turun panggung pada akhir 2020 lalu.

 Nexta hanya dijalankan oleh empat jurnalis profesional dengan platform utama di Telegram. Media dengan satu juta pengikut itu sejak awal rajin menelanjangi kebobrokan rezim Lukashenko. Dalam demonstrasi, mereka selalu meng-update situasi melalui informasi yang diberikan oleh para demonstran. Setiap informasi yang masuk selalu di-cross-check sebelum publikasi untuk menghindari hoax.

Mereka juga mengungkap bukti kekerasan polisi terhadap demonstran, tips dalam demonstrasi, dan informasi mengenai mana saja lokasi yang aman atau berbahaya untuk dilalui. Nexta bersifat independen sebagai media pro-publik yang melawan hegemoni media-media bayaran pemerintah.

Apa yang dilakukan Nexta menjadi contoh gamblang bagi kita untuk menciptakan media alternatif independen secara kreatif. Media-media independen berbasis grassroot journalism harus segera dibangun untuk memberikan masyarakat ruang berpartisipasi aktif dalam diskursus publik. 

Grassroot journalism di Indonesia punya urgensi sebagai kontra-hegemoni terhadap oligarki media. Ia pun juga harus kredibel sekaligus populer menjadi andalan publik menggantikan media oligark yang mendistorsi informasi sedemikian rupa untuk melayani kepentingan pemiliknya..


Posted

in

by