oleh Elvira Sundari
Membaca Buku Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan menyadarkan saya, betapa ilmu psikologi konvensional tidak melihat perempuan sebagai manusia. Jikapun perempuan dipandang, ia tetap dinilai sebagai manusia kelas dua—tentu saja, setelah laki-laki.
Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak memiliki latar belakang psikologi secara bidang keilmuan, tetapi membaca dan menyimak diskusi seputar penis envy (kecemburuan perempuan akan penis), adanya dugaan bahwa perempuan tidak bisa berpikir sejernih laki-laki, hingga kutukan sakit dan kelainan yang disematkan bagi perempuan yang terlalu intelek, cukup membuat saya gila.
Menurut Ibu Ester dalam bukunya, perkembangan teori psikologi yang misoginis semacam itu terjadi pada awal abad 19 hingga awal abad 20. Yang berarti, belum lama terjadi dan pasti masih meninggalkan jejak dan luka bagi banyak perempuan di seluruh dunia.
Buku bersampul ungu terbitan Ea Books ini adalah kompilasi dari tulisan-tulisan di blog Ibu Ester Lianawati, seorang Psikolog yang memiliki minat terkait isu Perempuan dan gender. Potongan tulisan-tulisan dari blognya itu kemudian dibukukan dan dikelompokkan menjadi tiga bahasan utama.
Bagian pertama menyoroti apa, bagaimana, dan sejarah singkat mengenai psikologi feminis. Bagian kedua berusaha menyingkap ketabuan, mitos, dan stigma tentang perempuan. Dan bagian ketiga, membicarakan kekerasan terhadap perempuan yang masih marak hingga hari-hari ini.
Membaca keseluruhan isi buku, saya kira, akan membuat para pembacanya geram dan ingin bergegas memberangus setan ganas yang sudah mengakar—ketidakadilan gender—di sekeliling kita satu persatu.
Perempuan yang Mendobrak Pagar
“Perempuan yang mendobrak”, adalah satu kalimat yang bagi saya cukup merepresentasikan buku ini. Dengan judul buku yang sangat provokatif, seakan memberi pesan bagi para perempuan untuk mengaung keras-keras, berlari kencang-kencang. Menghantam pagar-pagar norma sosial yang tidak masuk akal dan keluar dari kungkungan patriarkis.
Di saat AI dan teknologi sudah jauh berkembang di beberapa bagian dunia, beberapa kelompok di belahan dunia yang lain masih mendiskreditkan perempuan. Perempuan yang tidak memenuhi standar “cantik”, tidak feminin, tidak ramah, bahkan terlalu aktif dan terlalu pintar dianggap memiliki kelainan.
Perempuan dianggap tidak normal ketika Ia “terlalu”. Menjadi luar biasa adalah opsi terakhir bagi perempuan. Karena kian lama, perempuan dilanggengkan julukannya sebagai makhluk yang biasa saja.
Entitas sosial masyarakat dari yang paling kecil seperti keluarga sekalipun, turut melanggengkan budaya patriarki. Pola asuh yang membolehkan anak laki-laki bermain di luar rumah, aktif menggerakkan anggota tubuhnya lewat olahraga maupun mengejar layang-layang, terbukti membangun kepercayaan diri dan meningkatkan kemampuan spasial-visual anak.
Sedangkan anak perempuan, cenderung disuguhi mainan masak-masakan, boneka, dan lilin dengan sengaja oleh para orang tua, agar mereka lebih feminin dan tidak terlalu lincah. Terlalu lincah bagi para orang tua konvensional itu bisa menjadi indikasi sang anak akan menjadi perempuan tomboy yang tidak “normal”.
Amat menyayat hati, bahwa perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama, bahkan sejak kecil.
Pak Freud, Penis Bukan Segalanya
Di bagian awal buku, terdapat beberapa tulisan Ibu Ester yang mengulas dan mengkritik pemikiran Sigmund Freud, seorang pionir dan pelopor banyak teori psikologi, termasuk psikoanalisis dan pembentukan kepribadian.
Membaca gagasan Kompleks Oedipus dan Penis Envy milik Pak Freud itu membuat saya tidak berhenti menggelengkan kepala dan mengernyitkan dahi. Freud, dalam usahanya menjelaskan teori perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia, menempatkan penis sebagai titik pusat dunia.
Menurut Pak Freud, perkembangan kepribadian anak perempuan turut dibentuk oleh rasa iri dan dengki kepada ayahnya yang memiliki penis. Sehingga, perempuan tumbuh menjadi mahkluk yang selalu menutupi kekurangan akan penis. Berpenampilan menarik, narsis berdandan, menjaga prilaku dan tutur kata adalah konsekuensi atas rasa hampa yang dialami perempuan sebab tak memiliki penis, kata Freud.
Ibu Ester dalam hal ini, sudah mengkritik pemikiran-pemikiran Freud yang misoginis itu dan menilainya sebagai gagasan yang gelap dan curam. Fakta bahwa Freud dibesarkan dalam budaya Austria yang patriarkis serta menjadi anak kesayangan Ibunya kala itu, harus menjadi pertimbangan sebelum menjadikan teori itu berlaku universal.
Jujur saja, saya masih tidak habis pikir dengan gagasan penis envy itu. Sebagai perempuan normal pada umumnya, tentu saja saya kerap merasa iri dengki terhadap anak tetangga yang bisa beli mac book atau tablet baru. Tapi, untuk iri terhadap penis? Tak pernah terbesit sekalipun dalam benak saya untuk memilikinya.
Sebagai perempuan, saya tidak mengalami fase berkeinginan kuat untuk memiliki penis. Dan saya rasa, itu hanyalah gagasan patriarki semata. Menganggap penis adalah sumber kekuatan dari segala hal di muka bumi. Ingin sekali saya bertanya, mengapa tidak sekalian saja bilang bahwa seisi bumi ini terbuat dari penis? Saya curiga, jangan-jangan Freud memang memiliki kebanggan berlebih terhadap alat vitalnya sendiri. Teori semacam itu terlampau patriarkis, egois, dan tidak masuk akal.
Patriarki Bukan Hanya Persoalan Perempuan
Persoalan patriarki, sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran dalam segala ranah, bukan semata persoalan perempuan. Dari buku Ibu Ester ini pula, saya disadarkan bahwa budaya ini tidak hanya menyengsarakan perempuan, tetapi juga laki-laki.
Norma yang mengharuskan dan menekankan peran laki-laki untuk mencari nafkah kerap membuat para lebih rentan terkena stres. Laki-laki yang tidak sukses, tidak berpenghasilan cukup untuk menopang kebutuhan keluarga dianggap gagal menjadi laki-laki seutuhnya.
Sebagai pemegang kuasa tunggal, laki-laki diajarkan untuk tidak meminta bantuan kepada siapapun. Tidak boleh bercerita, sedapat mungkin tegar menghadapi masalahnya sendiri. Laki-laki dianggap aneh ketika mendiskusikan masalah pribadinya dengan orang lain. Sebagai akibatnya, laki-laki kerap kuat di luar dan rapuh di dalam. Padahal, seperti perempuan, laki-laki juga manusia biasa yang bisa bersedih, berkeluh, dan menangis.
Sebagai penutup sekaligus harapan di bulan suci Ramadan ini, semoga manusia seisi dunia semakin sadar akan perannya untuk menciptakan dunia yang lebih adil, setara, dan bahagia bagi seluruh makhluk di bumi.