Skip to content

Memetik Kenangan: Bunga-Bunga Ingatan yang Pertama Mekar

(Oleh: Chaterine Asima)

Saya tidak tahu, apakah semua orang pernah memikirkan ingatan pertamanya? Ingatan yang paling jauh yang bisa dijangkau memori otak itulah ingatan pertama. Saya tidak tahu pula, seberapa sering ingatan itu menghampirinya atau sesekali membuatnya terusik oleh rasa penasaran tentang apa-apa saja yang terjadi sebelumnya sebab tidak terekam dalam kepalanya? 

Nh. Dini mengalaminya dan menuliskannya. Tentang ingatan pertamanya. Ia memetik bunga yang mekar pertama itu. Tepat di paragraf terakhir Bagian Kedua dari seri pertama Cerita Kenangan. Waktu itu menjelang sore, ketika si bungsu Dini bersama keempat kakaknya sedang menyerok ikan di kebun belakang rumah yang tergenang bekas banjir.  Tak sengaja kakaknya yang ketiga, Maryam, melihat gerakan gesit seekor ikan besar dan langsung saja ia menangkap ikan itu. Sangking besarnya dibanding ukuran tangannya yang masih kecil, ia mendekap ikan itu di dadanya. Tak bertahan lama, ikan itu menggeliat dan melompat dengan sembarang hingga masuk ke dalam ember yang menjadi perahu untuk Dini kecil yang kala itu belum boleh ikut mencemplung.

Karena kejadian itu cukup unik dan seru bagi masa kecilnya, barangkali begitu membekas di ingatan Dini lantas terpilih menjadi  ingatan pertamanya. Ungkapnya, “Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan kutuk di dadanya.” Setelah muncul ingatan tersebut, mengalir pulalah kenangan-kenangan lain tentang masa kecilnya yang baginya begitu lembut dan penuh kasih. 

Tanpa dipantik oleh ingatan pertama, saya rasa mustahil bagi siapapun untuk menulis kembali tentang masa kecilnya. Oleh karena kemunculan ingatan pertama itu pulalah, muncul ingatan-ingatan sesudahnya. Juga banyak pertanyaan tentang apa yang terjadi sebelumnya. Di tangan yang tepat, seperti Nh. Dini, semua komponen ini dapat diolah kembali menjadi sebuah karya tulis yang bahkan terus berlanjut menyusul cerita kenangan masa remaja hingga dewasa. Tak lupa, ia juga merekam berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di sekitarnya. Kala itu, perang masih dirasakan keluarganya ketika beberapa wilayah diperebutkan oleh para penjajah antara Belanda dan Jepang. 

Jika dihitung dari tahun di mana naskah seri pertama Cerita Kenangan ini diselesaikan, usia Nh. Dini hampir menyentuh 40 tahun. Ia pun sedang berada di negeri yang jauh, Arnhem, sebuah kota di timur Belanda. Jarak yang begitu jauh dari kampung halamannya itu, juga usia yang tak kalah jauh dari masa kecilnya ternyata tak memudarkan kuatnya kenangan masa kecilnya saat di Semarang, dan dengan dorongan yang kuat pula meminta untuk dituliskan. Memang, bisa saja catatan tentang masa kecilnya sudah ada sejak lama, tapi api semangat untuk menuliskannya menjadi buku-buku berseri tidaklah kunjung padam meski ia tengah beranjak paruh baya. 

 Jika hendak membagi pengalaman membaca, saya pikir awal pembuka bagian pertama terasa begitu membosankan. Nh. Dini adalah seorang penulis yang begitu detail menceritakan segala sesuatu, terutama suasana. Ia mampu menghabiskan satu halaman penuh untuk menceritakan ayam-ayam di emperan dekat rumahnya kehujanan. Begitu juga ketika ia harus menunggu kepulangan Bapak dari bekerja dan keempat kakaknya dari sekolah, setiap gerak dan aktivitasnya sejak bangun pagi hingga berlalu-lalang di dalam rumah begitu detail dituliskan. 

Meski, Nh. Dini seorang penutur cerita yang indah, kebosanan di awal tak terhindar bagi pembaca seperti saya. Terlebih karena dalam satu kalimat beberapa kali ia berusaha memenuhi SPOK yang agak berlebihan. Misalnya, pada bagian pengantar, ia menulis “Mengagumi pendapa lindung adem oleh naungan dahan-dahan pohon sawo yang tumbuh di empat penjuru halaman. Atau pada bagian pertama, “Cucian yang lembab bergantungan pada tali-tali yang direntangkan ayahku dari dinding satu ke dinding lainnya di dalam sepen di samping dapur. Entah mengapa, kalimat super lengkap seperti ini bagi saya begitu lelah untuk dibaca.

Barangkali untuk memperjelas kebosanan ini, saya dapat membandingkan dengan novel Ancika yang pada September tahun lalu juga dibahas di Klub Baca Radio Buku. Konon, penulisnya, Pidi Baiq sedang meminjam kenangan masa SMA isterinya untuk dijadikan sebagai tokoh utama dalam novel tersebut. Penuturan Pidi Baiq jauh berbeda dengan Nh. Dini dalam meramu kalimat. Pidi memilih kalimat yang sederhana, penjelasan secukupnya yang kemudian diperkaya dengan dialog-dialog lucu dan konyol. Bahasa yang ia gunakan juga begitu dekat dengan bahasa keseharian. 

Sementara itu, Nh. Dini membutuhkan prosa yang indah ketika meramu kalimat menjadi cerita. Atas adanya kebutuhan “menjadi kalimat indah” inilah ditemukan beberapa kalimat yang begitu panjang dan penuh rangkaian dalam tulisannya. Membuat kesan membosankan di awal. Kabar baiknya, setelah memasuki halaman-halaman berikutnya terlebih ketika dialog sudah dibangun, ternyata Nh. Dini mampu menuliskan cerita yang mengalir tanpa begitu terpaku dengan prosa keindahan. Saya pikir, penulis manapun bisa saja mengalami itu. Bahwa ada kecanggungan saat membuka bagian pertama dalam cerita sehingga ada sebentuk upaya untuk memulainya dengan indah. 

Tapi, bisa saja hal ini juga dipengaruhi oleh gaya sastra sezamannya atau malah selera pembaca yang sudah berubah. Saya jadi teringat, novel tebal pertama saya saat awal kuliah dulu. Judulnya, Kite Runner. Bagi pembaca karya-karya Khaled Hosseini, sudah tentu kenal dengan ciri khasnya yang juga ingin menghadirkan prosa indah, detail dalam menceritakan suasana bahkan saat menggambarkan lekukan daun.  Setiap penceritaan yang tertuang dalam tulisan Khaled Hosseini, seperti menghadirkan rekaman film yang bergerak dalam imajinasi pembaca – sangking detailnya. Seketika itu pulalah saya jatuh hati pada novelnya. Tapi, menjadi kesan yang berbeda setelah 10 tahun kemudian saya membaca karya-karya Nh. Dini yang memiliki gaya hampir serupa. Bisa jadi selera bacaan saya sudah bergeser. Apakah pembaca lain juga mengalaminya? 

Kembali ke Nh. Dini. Kali ini saya ingin menyoroti karakter yang secara sadar atau tidak sadar telah dibentuknya dalam tulisan sebagai tokoh “Aku”. Tentu saja dalam seri Cerita Kenangan ini, tak lain sedang menceritakan karakter dirinya sendiri. Banyak yang berpendapat, tulisan-tulisan Nh. Dini tertuang pemikiran-pemikiran feminis. Saya setuju. Pemikiran feminis yang saya maksud bukanlah ledakan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang menggebu-gebu. Sederhananya, di buku seri pertama, Nh. Dini mengingat ibunya sebagai orang pertama yang diperuntukkan karya tersebut. 

Dalam cerita-ceritanya, betapa pun ia yang punya karakter ingin bebas — yang jelas sangat berbeda dengan ibunya yang penuh aturan dan larangan, tak sedikitpun ia membenci ibunya. Bahkan, di usia yang sekecil itu, ia begitu takut melukai hati ibunya. Betapa pun ibunya susah dikompromi dan banyak aturan, dibalik itu ibunya sangat peduli dan cekatan memperhatikan segala kebutuhan keluarga. Agar tak sakit, agar tak celaka, semua anggota keluarga diberi perhatian yang melimpah. Syukurnya, Dini melihat dan merasakannya dengan baik. Bukan semata mementingkan ruang geraknya yang ingin bebas dan tak terbatas. Jiwa feminim inilah yang begitu peka dibacanya, diterimanya dan ditanam perlahan dalam dirinya. 

Karena itu pulalah, ia menjadi begitu berjarak dan bertentangan dengan karakter kedua kakak laki-lakinya, Nugroho dan Teguh. Terutama Nugroho. Berbeda dengan kedekatannya dengan kedua kakak perempuannya, Heratih dan Maryam. Heratih, kakak tertuanya sudah seperti ibu kedua baginya. Sementara Maryam bak seorang kawan. Ia tidak membenci saudara laki-lakinya. Hanya saja, tidak suka dengan karakter mereka. Dalam kepalanya, ia menolak dan mengkritisi cara saudara laki-lakinya menyelesaikan masalah. Dilihatnya mereka kerap berkelahi. Terlebih Nugroho yang suka menindas apapun yang menggangu dengan kekuatan. Hewan peliharaan di rumah, seperti kucing dan ayam dengan ringan kaki ditendangnya. Dan, semua perbuatan semena-mena seperti itu dicela oleh Dini. 

Rasa berjarak pada saudara laki-lakinya sebenarnya tidak datang dari dirinya sendiri, melainkan juga disebabkan oleh cara mereka memperlakukan Dini. Nugroho, lewat kata-katanya sering kali memandang Dini sebagai sosok yang lemah. Selain karena dia anak paling kecil, perempuan pula. Dianggap tidak bisa melakukan pekerjaan apapun dan tidak asyik diajak bermain. Bahkan, perkataan-perkataan merendahkan dari kakaknya, Nugroho, sempat membawanya hampir menjadi orang yang rendah diri. Begitulah, bagaimana Dini begitu gundah dengan segala macam bentuk superioritas hingga menjadi pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya. 

Seiring dengan cerita-cerita perjalanannya, ia pun seakan tercerahkan. Terlebih ketika berlibur ke Tegalrejo, tempat orang tua dari ayahnya. Lewat karakter kakeknya yang merupakan seorang yang terhormat dan disegani, ternyata tidak lantas semena-mena dan berkuasa atas status sosial yang dimiliki. Kakeknya tetap mengajarkan dan menunjukkan kesetaraan. Ditambah kearabannya dengan paman bungsunya juga mengubah pemikirannya tentang sosok kakak laki-laki. Sangat berbeda dengan kakak laki-lakinya, Paman tidak memandang Dini sebagai anak kecil yang lemah. Bersama paman, ia bisa menjelajah banyak tempat di desa, mulai dari panen mangga, minum air kelapa, menelusuri sawah, bermain di sungai. Mereka kerap bersenang-senang.

Dari sanalah Dini belajar, tanpa sikap mendominasi, setiap perjalanan bagi siapa pun, baik laki-laki atau pun perempuan, baik tua ataupun muda, baik tokoh masyarakat atau rakyat biasa bisa menjalin relasi yang baik dan sehat jika saling menghargai. []