Skip to content

Membicarakan Kembali Nh. Dini

oleh Gilang Andretty

Sejarah pada umumnya adalah memori atau rekaman atas suatu peristiwa. Oleh karena kapasitas ingatan ataupun bentukan politik sosial, memori itu bisa berubah atau dirubah. Mengawetkan memori dapat dilakukan dengan banyak cara, paling sederhana dituliskan. Akhirnya terlahir catatan harian, memoar, biografi, autobiografi, bahkan karya sastra. Apa yang dilakukan Nh. Dini (Selanjutnya: Dini) dalam Seri Kenangan adalah usaha untuk mendekati itu.

Saya mengenal Nh. Dini (Selanjutnya: Dini) sewaktu berkuliah. Sebelumnya, saya benar-benar tidak mengetahui penulis kelahiran Semarang itu. Kesempatan mengenal Dini akhirnya datang lewat hobi saya, mengoleksi buku bekas. Malah saya menemukan … terlebih dahulu daripada Seri Kenangan. Baru setelah itu saya menggali lebih jauh lewat Goodreads hingga menemukan Seri Kenangan.

Akan tetapi saya gelisah, tatkala minimnya forum untuk membicarakannya. Walaupun pernah menghiasi Google Doodle  pada 2020 silam. Saya coba mencari lagi dengan #nhdini di IG – 26 Februari 2024 – rata-rata hanya berisi dagangan karyanya. Oleh karena itu, saya mengajukan Nh. Dini sebagai bahan diskusi Klub Baca Radio Buku. Toh momennya bagus, kabisat, sekalian saja memperingati hari ulang tahunnya. Sekaligus pembuka diskusi 

Saya sengaja memilih tiga buku saja, dari belasan buku Seri Kenangan. Saya ingin mengambil konteks politik, kaitannya dengan masa kanak-kanak Dini. Konteks politiknya jelas, 3 buku itu mengisahkan kehidupan di tengah gejolak. Akhir pemerintah kolonial, Pendudukan Jepang, dan Revolusi 1945-1949.

Seri Kenangan Ego Document?

Seri Kenangan Dini tidak hanya disikapi sebagai karya sastra saja. Akan tetapi, catatan sejarah, lebih tepatnya ego document atau dokumen ego. Istilah itu saya dapatkan setelah membaca Serdadu Belanda Di Indonesia 1945-1950: Kesaksian perang pada sisi sejarah yang salah karya Gert Oostindie. Gert menjelaskan bahwa dokumen ego sangat diperlukan untuk menggali sejarah alternatif, di luar ciptaan pemerintah. Sebab, dokumen ego – surat, memoar, autobiografi, catatan harian, dan rekaman wawancara – seringkali memberikan warna baru dalam dinamika sejarah.

Akan tetapi, patut diakui bahwa dokumen ego ini bersifat subjektif. Sehingga, membutuhkan banyak sumber pembanding. Bahkan Gert menggumpulkan total 100.000 halaman berbagai dokumen untuk karyanya. Satu hal yang tak boleh luput, Gert dapat mencipta karya itu karena budaya tulis dan arsip individu sudah padu. Sedang di Indonesia, Seri Kenangan Dini patut mendapatkan apresiasi lebih. Masa damai, transisi, kecamuk kelaparan dan perang yang sering kali diabaikan dan luput, Dini endapkan dan rangkai dalam sejumlah karyanya.

Sepanjang tiga buku, pembaca jangan mengharap plot cerita njelimet memukau dan konflik menguras emosi. Dini justru tidak memaksakan plotnya, setiap tokoh mendapatkan tempat sesuai dengan sudut pandang dan sejauh ingatannya. Hal ini tentunya tidak mengejutkan karena semua tokoh yang ia tuliskan adalah keluarganya, Heratih, Nugroho, Teguh, Maryam, dan kerabatnya yang lain. Namun, ia bersikap jujur atas perlakuan dua kakanya lelakinya yang sering kali menganggap enteng dirinya. 

Subjekifitas dalam karya Dini tidak saya permasalahkan sama sekali. Justru pembaca diajak untuk melihat rumah tangga seoarng “priyayi” atau hamba gubermen – jika menggunakan istilah Pramoedya – dari dekat. Bapak Dini termasuk golongan itu pada masa damai sebagai pegawai Jawatan Kereta Api. Terlepas dari dekolonisasi sejarah, Dini sama sekali tak pernah menjelekkan Pemerintah Kolonial Belanda terang-terangan.

Akan tetapi, peraturan dalam rumah Dini jelas melarang penggunaan Bahasa Belanda, harus Jawa. Pada rumah tangga itu, peran seorang ibu sangat besar artinya bagi anak-anak gadisnya. Dini, Heratih, dan Maryam merasakan betul bagaimana mereka dibentuk oleh ibu. Perempuan harus begini, harus begitu, jangan begini, jangan begitu.

Masa damai segera saja menguap setelah Jepang menduduki Hindia. Belanda mundur dan melarikan diri dari Semarang. Jepang segera mengisi posisi kosong itu, kelaparan datang membayangi. Ada kesepahaman banyak orang atau kesaksian bahwa Pendudukan Jepang lebih buruk dari Belanda. Keluhan terutama pada bahan pangan dan pakaian, juga kerja paksa. Bahkan keluarga priyayi harus rela memakan menir, remah jagung, kacang hijau, dan gaplek hitam.

Masa Pendudukan Jepang mulai diceritakan pada seri kedua Padang Ilalang Di Belakang Rumah (Selanjutnya: Ilalang). Malah cerita Pendudukan tidak banyak mengambil tempat. Cerita Pendudukan tenggelam di antara, kunjungan bersama Heratih ke Kendal, Teguh yang tersangkut di dahan pohon, sampai Edi, sepupu Dini. Malah dari novel ini saya memahami awal mula kegemaran dan keseriusan Dini pada dunia pertunjukkan. Pada akhirnya melahirkan, Tirai Menurun.

Bertambahnya usia Dini memengaruhi kekuatan ingatannya. Hal ini bisa dilihat dari jumlah halaman yang semakin tebal pada seri ketiganya Langit dan Bumi Sahabat Kami. Fokus ceritanya akhir Pendudukan Jepang sampai Revolusi 1945-1949. Pada cerita ini, kegetiran kondisi hidup menjadi tulang punggung penceritaan. Semarang waktu itu masuk ke dalam kota yang diduduki Belanda. Alhasil semua bahan makanan dari daerah sekitar yang masih diduduki Republik mandeg.

Apabila tidak banyak lagi yang mengenal seri kenangan ini, saya rasa hal itu bukan suatu masalah. Memang beberapa sudah tidak lagi relevan dengan masa kini, sudah usang. Akan tetapi, tidak melulu demikian, sebab Seri Kenangan ini merupakan suatu dokumen sejarah yang penting. Paling tidak, karya ini sudah memenuhi salah satu tugasnya yang paling dasar, sejarah keluarga. Kelak, anak, cucu, cicit Heratih, Nugroho, Teguh, Maryam tidak akan kebingungan lagi dengan asal-usulnya, semua tercatat jelas berkat Si Bungsu, Nh. Dini, swargi langgeng.