Kronik II: Lingkungan – Muhammad Ghufron

02/03/2008

Tempo mengungkap lemahnya pengawasan pemerintah terkait kasus Lapindo. 

04-05/2009 

Suluh memuat topik bertajuk “Bumi Berantakan, Jawa pun Melongo”. Topik yang memuat persoalan ekologi di Jawa itu, menyeru orang-orang agar peduli pada bumi. Realitas yang dipotret soal pertautan lingkungan dengan dimensi spiritualitas manusia. Kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari adanya hasrat eksploitatif pada diri manusia. Hasrat mendirikan tempat-tempat industri hingga abai pada lingkungan sekitar merupakan sebentuk manifestasi kehilangan spiritualisme dalam diri manusia. 

Akibatnya, terjadi berbagai ancaman seperti pemanasan global, kemiskinan, kekeringan, dan sebagainya. Seiring dengan krisis lingkungan itu, berbagai negara di belahan dunia bergerak memberikan kontribusi besar. Negara seperti Amerika Serikat, China, dan beberapa negara di Eropa mulai serius dalam mengatasi permasalahan ini.

(“Bumi Berantakan, Jawa pun Melongo”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)

04-05/2009 

Suluh mewartakan penolakan warga atas rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Proyek pembangunan ini ditaja oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Beberapa pihak, termasuk WALHI, menolak agenda ini. Penolakan didasarkan pada sikap Djali Ahimsa, direktur jenderal BATAN saat itu, yang melampaui kewenangannya dengan dengan membuka penawaran pertama reaktor nuklir tanpa sepengetahuan publik yang dianggap bertentangan dengan UU Lingkungan 1982 dan UU Tata Ruang. 

(“Rencana Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)

04-05/2009 

Suluh memuat laporan rencana penambangan pasir di Kulonprogo. Aliansi petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo, gerah dengan kasus pasir besi yang sudah berjalan sekitar 3 tahun sejak 2006 lalu. Mereka bersikeras menolak proyek kontrak karya PT Jogja Magasa Iron dengan perusahaan asing Australia tersebut. Bagi aliansi petani itu, penambangan pasir baik dalam skala kecil maupun yang belum berjalan dalam skala besar, akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan, terutama pada pencemaran lingkungan. Selain itu, mereka meyakini bakalan kehilangan pekerjaan pokoknya sebagai petani ketika beberapa lahan digusur. 

(“Pasir Besi dan Rencana Penambangan di Kulonprogo”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)

04-05/2009 

Suluh mewartakan “Geliat Masyarakat Sukolilo Tolak Pembangunan Semen Gresik”.  Hal ini ditengarai karena mengancam sumber penghidupan masyarakat yang sejak turun temurun menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan produktif. Dengan adanya agenda pembangunan itu, mereka merasa terancam akan kehilangan sebagian lahan produktif yang akan berimbas pada mengeringnya sumber mata air, khususnya di kawasan kars yang menjadi sumber mata air bagi 250.000 petani dan buruh tani. 

Pasalnya, kawasan kars merupakan kawasan yang dilindungi sesuai dengan PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Selain itu, rencana pembangunan ini diyakini akan mengganggu budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, memicu pelanggaran HAM, dan konflik horizontal di masyarakat akan kian meruncing. 

(“Geliat Masyarakat Sukolilo Tolak Pembangunan Semen Gresik”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009 )

04-05/2009 

Suluh memuat warta korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung. Setelah tiga tahun pasca semburan lumpur panas itu, dampaknya begitu kompleks, meliputi perekonomian, infrastruktur, serta psikologi masyarakat. Nasib masyarakat yang terkatung-katung, tak kunjung diimbangi dengan prosesi hukum. Pemerintah daerah tak kunjung tanggap dengan kewenangannya, yaitu  memaksa Lapindo bertanggung jawab atas berbagai akibat luapan lumpur. Beberapa pasal terkait kewenangan itu dibeberkan. Anggota Dewan WALHI Jawa Timur pun berpendapat bahwa kasus Lapindo harus diambil alih oleh pemerintah. 

(“Korban Lumpur Lapindo yang Terkatung-katung”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009 )

04-05/2009 

Suluh memuat topik bertajuk “Mandulnya Spiritualitas Menjaga Alam”. Topik berusaha mengurai tetek bengek kengerian di balik pemahaman manusia tentang alam kala itu. Sederet peristiwa bencana alam di tahun itu tidak lepas dari pemahaman manusia yang selalu menempatkan alam sebagai objek yang kudu dimanfaatkan dalam skala besar, tanpa mempedulikan dampaknya.  Padahal dampak tersebut tidak hanya merusak lingkungan dan ekonomi dalam jangka temporal, tapi juga dapat menyebabkan kehancuran sia-sia peradaban Islam-Cina-India-Jawa. Al Gore, dalam topik itu, akhirnya menulis tentang menjaga dan mengurangi kerusakan lingkungan bukan hanya masalah politik, tapi juga masalah moral. Kesimpulan dari topik itu, dengan demikian, berbicara bahwa tidak etis jika membiarkan bumi berantakan.  

(“Mandulnya Spiritualitas Menjaga Alam”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)

04-05/2009 

Suluh memuat hasil wawancara dengan Hendro Utomo, seorang petani yang tergabung dalam Jatirogo (Jaringan Petani Kulon Progo). Wawancara bertajuk “Kalau Alam Dirusak, Kehidupan Petani Dirusak Pula” itu memuat ihwal kehidupan petani yang terancam kehilangan mata pencahariannya ketika alam dirusak. Asumsi semacam ini berangkat dari realitas alam Kulonprogo yang mulai terancam. Lebih jauh, bagi Hendro Utomo , bertani bukan hanya sebatas pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan materi saja, tapi juga sebuah laku spiritual. Bersahabat dengan alam dan menghargai sebuah proses merupakan kunci keberlangsungan petani. Kesimpulan dari wawancara itu hendak menegaskan bahwa petani telah menganggap alam sebagai teman, guru, dan sumber penghidupan. Maka ketika alam mengalami destruksi akan menyebabkan kehidupan petani terancam. 

(“Kalau Alam Dirusak, Kehidupan Petani Dirusak Pula”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)

04-05/2009 

Suluh memuat wacana “Teologi Angkat Pantat “. Ditulis oleh CB. Ismulyadi, alumnus Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam tulisannya, dirinya membagi dua garis besar paradigma dalam memandang lingkungan hidup ; dualitas-polaritas, utuh-relasional. Dualitas-polaritas merupakan paradigma lama yang bertaut cara berpikir polaritatif dalam memandang alam. Sedangkan utuh-relasional merupakan paradigma baru yang telah lama diadaptasi agama-agama di dunia, yang memandang adanya kesatuan dan keterkaitan seluruh ciptaan. Ia juga menawarkan suatu formulasi John B. Cobb yang dikenal dengan asketisme baru dalam upaya memelihara lingkungan hidup. Asketisme baru merupakan praktek hidup yang memanfaatkan alam sambil memelihara kelestariannya, memerangi materialisme, konsumerisme, hedonisme dan perlakuan destruktif yang pada akhirnya merugikan manusia dan lingkungan hidupnya. 

(“Teologi Angkat Pantat”, Suluh, No. 45, April-Mei 2009)


Posted

in

by