Kronik II: Kesenian Masyarakat – Hanifa Faizul

28/Agustus/1993

Djaka Lodang memuat artikel mengenai seni tradisional Ketoprak yang disiarkan di televisi masih disukai masyarakat. Waktu itu bertepatan dengan peresmian transmisi TVRI di pesisir Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul, DIY, oleh Menteri Penerangan, Harmoko. Dengan adanya transmisi tersebut, masyarakat Parangtritis bisa menerima siaran TVRI dengan lebih bagus, menurut Harmoko. Sementara menurut Kakanwil Departemen Penerbangan DIY, Hoestoyo Hoerip, pembangunan transmisi tersebut berasal dari dana proyek DIP mass media TA 1992/1993 Rp 272.279.500,- yang membutuhkan luas lahan 2.500 meter persegi.

(“Menpen H. Harmoko Meresmikan Transmisi TVRI Parangtritis Bantul, Siaran Ketoprak Masih Disukai”, Djaka Lodang, No. 1893, 28 Agustus 1993)

22/Juni/1996

Djaka Lodang memuat artikel tentang Pentas Sastra Jawa Introspeksi Inovasi Oceh-ocehan yang diadakan oleh Harwi Mardiyanto, S. Sn. dari seksi sastra Jawa dalam rangkaian Festival Kesenian Yogyakarta pada hari Kamis dan Jumat (20,21 Juni 1996). Acara tersebut mengundang beberapa bintang tamu dalam sesi acara “Membacakan Cerkak (Cerpen) dan Geguritan (puisi) serta pentas Gurit Gemuruh Guru SD Se-Kecamatan Kasihan Bantul”. Pada Hari Jumat, ada pertunjukan dari Gabungan Aktor Pantomime Yogyakarta. Pada Sabtu pagi, diadakan diskusi sastra bertajuk “Diskusi Cerpen & Puisi Jawa dalam 4 Antologi Cerkak-Geguritan”.

(“Gelar Sastra Jawa di FKY VIII 1996”, Djaka Lodang, No. 04, 22 Juni 1996)

11/Januari/1997

Djaka Lodang memuat artikel tentang Ki Musdiwiyono saat itu tengah memimpin grup karawitan dalam rangka “Merti Desa” di Taruban Wetan, Desa Tuksono. Karawitan masih dilestarikan di desa, tetapi para anggotanya sudah berusia lanjut, karena pemudanya lebih senang menonton TV. Grup karawitan yang memiliki sinden rupawan, pasti biayanya jasanya cukup mahal. Apalagi para sinden yang sudah pernah mengiringi dalang terkenal, pasti lebih mahal lagi. Menurut Pengamat Kebudayaan Kecamatan Sentolo, ada 9 grup karawitan di daerahnya.

(“Karawitan Masih Lestari di Pedesaan”, Djaka Lodang, No. 33, 11 Januari 1997)

22/Maret/1997

Djaka Lodang memuat artikel tentang Jathilan Turonggo Seto yang berjumlah kurang lebih berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Pak Jon bermain pentas di rumah Ki Somowihardjo, Ngentak, Sumberagung, Moyudan, Sleman. Dimainkan dengan lima babak, di setiap babaknya, para pemain berganti busana, ada yang berpenampilan wayang orang, ketoprak, dan lain sebagainya. Pentas dimulai pukul 11.00 siang dan berakhir pada pukul 16.30 sore itu ditonton oleh lebih dari 575 orang. Hal tersebut sudah menjadi tradisi ketika hari raya.

(“Jathilan Turonggo Seto Pentas di Moyudan”, Djaka Lodang, No. 43, 22 Maret 1997)

15/Juni/1996

Djaka Lodang memuat artikel tentang kebudayaan Masyarakat Jawa di Desa Somorejo, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, berupa sebuah ritual yang dinamakan “Baritan”. Upacara tersebut dilaksanakan setiap Bulan Dulkaidah, atau masyarakat biasa menyebutnya dengan “Wulan Kejepit”. Hari pelaksanaan upacara tersebut tidak sembarang, tetapi harus dipilih terlebih dahulu. Dan biasanya dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon, kalau pada bulan tersebut tidak ada yang sesuai, maka diganti hari Selasa Kliwon. Setiap pelaksanaan pasti menyembelih satu kambing “bandhot”. Setelah disembelih, kepala dan kaki kambing tersebut dipotong oleh juru kunci, kemudian dikubur di depan pintu masuk petilasan berupa sumur yang tidak pernah kering. Perlengkapan dalam kegiatan tersebut juga ada ingkung ayam, jenang merah dan putih, bunga telon, dan lainnya. 

(“Upacara Baritan”, Djaka Lodang, No. 03, 15 Juni 1996)

21/Desember/1996

Djaka Lodang memuat artikel tentang kesenian masyarakat yang ada di Dusun Pasutan, Desa Trirenggo, Kecamatan Bantul yang tidak hanya satu atau kesenian, melainkan banyak sekali jumlahnya. Menurut penjelasan Marjono, Seksi Kesenian dari organisasi pemuda Pasutan, pelaksana kesenian di desa tersebut adalah para pemuda. Berawal dari alat musik perkusi seadanya, seperti kaleng kerupuk bekas dan ember saat memulai latihan. Seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran untuk membeli bendhe, dhodog, dan kecrek. Model baju yang pertama kali digunakan adalah seperti wayang. Pada tahun 1989, Indra Wasesa, sesepuh Pasutan, menambahkan tarian dan iringan kendang sebagai kombinasi. Model busananya juga berganti menjadi model cakrik warok. Para pemuda setempat juga sangat mudah diajak terjun di dunia kesenian. Seperti pada saat memperingati HUT RI Ke-49. Mereka menampilkan ketoprak. Selain itu, di desa tersebut juga ada kesenian Gejog Lesung yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK. Gejog Lesung diperuntukkan jika ada tamu yang berkunjung ke desa tersebut.

(“Dusun Pasutan Trirenggo Bantul Menumbuhkan Berbagai Macam Tradisi”, Djaka Lodang, No. 30, 21 Desember 1996)

21/Desember/1996

Djaka Lodang memuat artikel tentang Upacara Ngebluk Jladren Apem yang dilaksanakan di Kagungan Bangsal Sekar Kedaton, Keraton Yogyakarta, dipimpin oleh Kanjeng Gusti Ratu Hemas pada hari Minggu 8 Desember 1996. Upacara tersebut diadakan setiap peringatan Jumenengan Dalem. Apem dalam upacara tersebut adalah salah satu dari sesaji dalam Upacara Labuhan Sewindu Jumenengan Dalem Sultan Hamengkubuwono X yang bertempat dalam empat bagian. Yaitu Kendit Gunung Merapi, Parangkusumo, Gunung Lawu, dan Dlepih Wonogiri. Abdi Dalem yang terpilih dalam acara tersebut adalah Abdi Dalem Wahana Sarta Kriya. Abdi Dalem untuk membuat apem dari Tepas Haltipatura. Abdi dalem untuk mempersiapkan sesaji dari Kagungan Dalem Pawon Ageng. Semua Abdi Dalem tersebut adalah mereka yang terpilih yang berjumlah 40 orang, dan yang paling muda usianya 50 tahun. Pada hari pelaksanaannya, Senin 9 Desember 1996 pukul 09:00 pagi, setelah membaca doa, GKR Hemas memulai membuat apem yang pertama. Sorenya, setelah selesai dibuat, apem ditata di atas daun pisang setinggi 178 cm, sama dengan tinggi dari Sri Sultan Hamengkubuwono X. Untuk membuat apem tersebut, dibutuhkan tepung beras 2 kuintal, gula 0,5 kwintal, dan tape 20 kg. 

(“Ngublak Jladren Apem”, Djaka Lodang, No. 30, 21 Desember 1996)

22/Februari/1997

Djaka Lodang memuat artikel tentang Paguyuban Among Mitro yang berada di Pekanbaru sebagai perkumpulan seni Jawa, khususnya ketoprak. Paguyuban tersebut sudah berdiri selama 15 tahun. Sesepuh paguyuban tersebut adalah Frans. Giman dari Sleman, sutradara ketoprak Drs. Kismantoro dari Bantul. Jadwal latihan paguyuban tersebut pada setiap malam Selasa dan malam Jumat. Paguyuban tersebut juga memiliki seperangkat wayang komplit gaya Yogyakarta. Tak lupa, paguyuban tersebut juga melakukan regenerasi terhadap para pemuda dalam latihan karawitan.

(“Melestarikan Ketoprak di Pekanbaru Riau”, Djaka Lodang, No. 29, 22 Februari 1997)

22/Februari/1997

Djaka Lodang memuat artikel tentang Grup Ketoprak Satria yang berasal dari Purwokerto (Banyumas) didirikan dua tahun lalu. Anggotanya terdiri dari para perwakilan wartawan PWI Banyumas, guru, dosen, pejabat, dan seniman. Pentas pada saat itu dalam agenda Peringatan Hari Pers Nasional dan ulang tahun PWI yang bertempat di halaman Gedung RRI Stasiun Purwokerto dengan membawakan lakon “Prahara Jenggala Manik”.

(“Grup Ketoprak Satria Banyumas: Pemain Gabungan dari Wartawan, Guru, Dosen, Pejabat, dan Seniman”, Djaka Lodang, No. 29, 22 Februari 1997)

22/Februari/1997

Djaka Lodang memuat artikel tentang tradisi Perang Kupat di Jepara yang dilaksanakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, atau biasa disebut dengan Hari Raya Kupat. Pada peringatan tersebut, semua warga menuju ke pesisir Pantai Utara. Tradisi tersebut juga dibarengi dengan larungan berupa kepala kerbau yang dibungkus dengan kain mori. Sesudah upacara larungan, kapal-kapal yang berlayar tidak langsung kembali, melainkan melakukan perang kupat. Kegiatan tersebut adalah aksi saling lempar-melempar kupat dan lepet. Banyak yang menganggap bahwa tradisi tersebut sangat erat hubungannya dengan Encik Lanang.

(“Tradisi Perang Kupat” Djaka Lodang, No. 29, 22 Februari 1997)


Posted

in

by