Kronik I: Lingkungan – Muhammad Ghufron

29/08/1992

Tempo mewartakan “Kehancuran Barikade Pantai” di beberapa tempat di tanah air. Sekitar 17 terumbu karang rusak parah, mulai dari Pulau Weh di Utara Aceh hingga Teluk Cendrawasih Irian Jaya. Lembaga Oseanologi Indonesia melansir, sekitar 46 % rusak berat, 14 % kritis, tersisa yang bagus 33 % dan yang sangat bagus hanya 7 %. Termuat juga tanggapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menekankan pentingnya terumbu karang, tak terkecuali untuk meredam panas. Warta itu menekankan bahwa terumbu karang adalah barikade pantai untuk menangkis gempuran gelombang. Menteri KLH dan ahli terumbu karang Universitas Diponegoro sepakat untuk memperluas peremajaan terumbu karang di kawasan yang rusak. 

(“Kehancuran Barikade Pantai”, Tempo, No. 26, 29 Agustus 1992)

29/08/1992 

Tempo menurunkan warta pengolahan limbah bertajuk “Septic Tank Bebas Kimia”. Di situ termuat, Bandung akan mengoperasikan instalasi pengolahan air limbah rumah tangga dan tinja yang memanfaatkan bakteri, sinar matahari, dan oksigen.Upaya ini dilakukan untuk menggantikan inholf-tank peninggalan Belanda yang sudah lama rusak. Kelebihan dari septictank ini memiliki alat penyaring yang memisahkan sampah padat dan pasir yang terbawa. Alat penyaring ini nantinya juga berfungsi sebagai pengendap, yang setiap lima atau enam tahun hasil endapan yang berupa lumpur itu bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. 

(“Septictank Bebas Kimia”, Tempo, No. 26, 29 Agustus 1992 )

05/09/1992

Tempo memuat soal hasil Konferensi Kependudukan Asia Pasifik (APPC) IV yang berlangsung di Bali. Dihasilkan deklarasi Bali Declaration on Population and Sustainable Development. Suatu deklarasi yang memuat sepuluh pedoman dalam mengembangkan kebijaksanaan kependudukan di negara-negara kawasan Asia Pasifik. Mencakup masalah lingkungan dan pembangunan, urbanisasi, keluarga berencana, masalah kemiskinan, serta jumlah kematian bayi. Artikel diturunkan seiring dengan prediksi bahwa pada abad 21, kawasan Asia Pasifik akan dipadati 4,2 miliar orang, 257 juta orang di antaranya berada di Indonesia. 

(“Selaras: Pembangunan, Lingkungan, Populasi”, Tempo, No. 27, 05 September 1992)

01-02/2006

Artikel bertajuk “Ajaran Islam ; Sebuah Paradigma dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan” dimuat Suluh. Artikel ditulis oleh Supartan, Direktur Walhi Yogyakarta. Artikel berjumlah tiga halaman itu mengulas soal pasca ditetapkannya Hari Bumi, 22 April 1970, di Amerika Serikat yang memicu problematika lingkungan mulai mengemuka. Dalam artikel ini dihamparkan pandangan Islam dalam mengelola SDA dan Lingkungan. 

(“Ajaran Islam ; Sebuah Paradigma dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan”, Suluh, No. 06, Januari-Februari 2006)

01-02/2006

Suluh mewartakan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta dan Yayasan Buddha Tzu Chi yang mengadakan program penanaman sekitar 20.000 pohon di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Program ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor, sekaligus bentuk nyata kepedulian masyarakat beriman dalam menjaga kelestarian lingkungan. 

(“FPUB dan Yayasan Buddha Tzu Chi Tanam 20 Ribu Pohon di Lereng Merapi”, Suluh, No. 06, Januari-Februari 2006) 

02/03/2008

Tempo menurunkan laporan utama bertajuk “Berseluncur Di Atas Lumpur Lapindo”. Dengan menggugah, laporan itu memuat penilaian Dewan Perwakilan Rakyat yang menganggap bahwa tidak ada kaitannya lumpur Lapindo dengan pengeboran. Bermula dari ketukan palu Soetardjo Soerjogoeritno kala memimpin Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat sontak memicu dua tafsir : interpelasi atau perpanjangan masa kerja Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur. Beberapa kekisruhan pun terjadi dalam sidang itu. Para pemimpin dari fraksi Partai Golkar, fraksi Partai Golkar, fraksi Partai Demokrat, dan fraksi Partai Amanat Nasional meminta agar digelar rapat konsultasi.

Selain itu, laporan utama tersebut memuat kronologi lumpur Lapindo yang muncrat pertama kali pada 29 Mei 2006 yang menelan 10 hektar kawasan dan melenyapkan jalan tol hingga rapat paripurna DPR pada 19 Februari 2008. Dalam rapat tersebut, DPR menyebut lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam. 

( “Berseluncur Di Atas Lumpur Lapindo”, Tempo, Ed. 25 Februari-02 Maret 2008)

02/03/2008 

Tempo memotret upaya petinggi perusahaan Lapindo Minarak Jaya yang membuat reklame melalui kerja sama dengan beberapa media massa. Selain membuat reklame, mereka juga menghimpun para geolog, menaja seminar-seminar, dan iklan di media massa guna meyakinkan publik bahwa tragedi Lapindo semata-mata bencana alam. Tak cuma itu, pihak Lapindo Minarak Jaya juga mendanai sejumlah perguruan tinggi untuk menggelar diskusi dan seminar soal lumpur panas itu. Di balik semua upaya ini, ada hasrat terselubung untuk memulihkan citra perusahaan Lapindo Minarak Jaya yang dituduh sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas semburan panas yang menyebabkan belasan ribu keluarga di Sidoarjo kehilangan rumah, lahan, dan mata pencaharian. 

(“Aneka Cara Menyemir Lapindo”, Tempo, Ed. 25 Februari-02 Maret 2008)

02/03/2008

Tempo mewartakan tragedi Lapindo yang bermula dari sumur Banjarpanji 1. Bertajuk “Lalai di Banjarpanji”, warta itu memuat bukti-bukti geologis terkait dari mana sebenarnya lumpur itu bersumber.  Mantan Ketua Ahli Geologi Indonesia, Andang Bachtiar dan mantan ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Lapindo, Rudi Rubiandini sama-sama meyakini bahwa lumpur panas itu berasal dari Banjarpanji 1. Dalam warta itu, terjadi dua perbedaan asumsi tentang penyebab bencana lumpur Lapindo. Pertama, sebagian menganggap petaka itu akibat kelalaian Lapindo dan yang lain menduga penyebabnya lindu di Yogyakarta, dua hari sebelum semburan lumpur pertama. 

(“Lalai di Banjarpanji”,  Tempo, Ed. 25 Februari-02 Maret 2008)

02/03/2008

Tempo memuat tudingan beberapa pihak terkait penyebab tragedi Lapindo yang berasal dari Gempa Yogyakarta. Mereka yang menuding tragedi itu disebabkan karena gempa di Yogyakarta didukung sejumlah geolog. Teori gempa dengan memajang data-data lain disodorkan. Selain itu, tudingan yang termuat dalam Laporan Utama bertajuk “Tak Boyak Dirundung Gempa” itu juga menyuguhkan Grafik Manga yang berusaha menjelaskan secara geologis terkait hubungan gempa yang berkekuatan 5,9 skala Richter tersebut dengan sumber semburan Lapindo.  

( “Tak Boyak Dirundung Gempa” ,  Tempo, Ed. 25 Februari-02 Maret 2008)

02/03/2008

Tempo melakukan penelusuran terkait pengeboran sumur yang diduga menjadi penyebab munculnya semburan lumpur Lapindo. Hasilnya ditemukan beberapa kesalahan yang dilakukan Lapindo disertai jejak kronologisnya. Kronologi itu bermula sejak 8 Maret 2006, pukul 13.30, di mana Sumur Banjarpanji1 mulai dibor. 25 Mei, gas H2S masuk ke dalam sumur dinding yang telanjang, pengeboran tanpa casing diteruskan hingga 2.827 meter. 27 Mei, 05.10 WIB, sepuluh menit setelah gempa yang mengguncang Yogyakarta, terjadi loss. 28 Mei, bor diangkat untuk penggantian. Pada saat yang sama, tekanan di dasar sumur naik dengan cepat. 29 Mei, air menyembur 150 meter dari Banjarpanji 1 dengan ketinggian 8 meter dan frekuensi 5 menit sekali. 30 Mei, sumur disemen tanpa memastikan bahwa undergound blowout telah benar-benar dimatikan. 2 Juni, Lapindo tetap menyemen bagian atas  lubang sumur. 3 Juni, rig ditarik yang kian mempersulit upaya pemadaman semburan lumpur.  Selain itu, ilustrasi geologis terkait pengeboran juga disuguhkan.

(“Tersangka Tunggal”, Tempo, Ed. 25 Februari-02 Maret 2008)


Posted

in

by