Kelihaian Nurel Javisyarqi menekuni esai susastra terwujud di ruang-ruang sederhana, serupa menulis catatan di Facebook, misalnya. Sedari medio Juni 2015 hingga akhir 2017, catatan yang berserak di facebooknya itu terbit bertajuk “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”.
Nurel sendiri mengantar bukunya itu. Tersirat sebuah pengakuan bahwa buku dengan tajuk yang begitu menggelegar ditulis pamrih sebagai kritik sastra. Esai-esai kritik sastra yang termaktub seolah berhasrat mendedah pengetahuan ihwal kontroversi-kontroversi yang berseliweran dalam jagat kesustraan kita. Mulai dari kasus Pidato Anugerah Sastra Dean Kesenian Riau hingga Kredo SCB dan sambutannya pada upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 2006.
Nurel menamainya ‘Pembongkaran’. Di balik dinamika kesusastraan kita, selalu terselip persoalan yang kudu ditilik dengan pembacaan yang jernih dan mendalam. Walhasil, lahirlah kritik sastra. Seorang kritikus selalu tak mau diam tatkala suatu persoalan dipandang sedang bermasalah. Begitu pun, yang berlaku bagi Nurel.
Kritik bisa saja dipentaskan, namun Nurel lebih memilihnya menulis hanya (sekadar) catatan di dinding-dinding Facebooknya. Mungkin agar lebih mudah dibaca khalayak. Dikomentari hingga terjadi dialektika. Laku semacam ini mengisyaratkan bersemayamnya atma dedikatif di kedirian Nurel. Atma itu lah yang menggerakkan badannya bertaruh dengan kemapanan dalam jagat kesusastraan kita.
Kata pengantar Nurel dalam bukunya setidaknya telah menunjukkan suatu pembuktian ihwal kecintaannya pada sastra kita. Kritik yang dicipta Nurel hendak menggugah, bahwa ini lah seharusnya, beginilah selayaknya. Julukan ‘Sang Maha Realitas ‘ yang disematkan padanya sudah pantas untuk ‘Membongkar Mitos’ kesusastraan Indonesia.