Komentar atas Kata Pengantar Buku Macondo, Para Raksasa, dan Hal-hal Lainnya

Saya muak dengan kata pengantar, awalnya. Wajar, saya dibesarkan oleh teks-teks yang mengantarkan pembaca kepada buku di hadapannya hanya dengan puja tuhan dan puji-pujian yang bikin saya tidak perlu pikir pendek untuk tidak pernah menjamahnya. Namun kemuakan itu terkikis saat saya masuk kuliah usai bertemu dengan banyak kata pengantar yang menunaikan tugasnya dengan paripurna: mengantar pembaca. 

Lantas kemuakan itu jadi rasa penasaran setelah Berryl memberi panduan tugas kepenulisan pertama di Minggu Pustaka ini, yaitu mengomentari kata pengantar. Baginya, kata pengantar bukan hanya mengantar pembaca, namun juga menggiring. Lewatnya, kehendak penulis disampaikan. Bisa dibilang, kata pengantar adalah upaya penulis (atau rekannya, sebab tidak semua kata pengantar dibikin penulis itu sendiri) untuk tidak “mati”.  Dalam kata pengantar, kita akan temukan niatan, ekspektasi penulis atas pembacaan karyanya, atau konteks tulisan.

Maka, pada Minggu Pustaka yang pertama ini, sembari mengkatalogisasi, saya mencari buku dengan kata pengantar yang bernas. Pilihan pertama jatuh pada Bredel 1994. Tapi, saya mau hal yang lain di luar skena pers. Agak bosan rupanya diri ini. 

Lalu beranjaklah saya pada buku “Macondo, Para Raksasa, dan Hal-hal Lainnya”. Saya jumpa kumpulan esai sastra Amerika Latin karya Ronny Agustinus ini setelah berdiskusi dengan Suket soal klaster temanya. Agak tricky, sebab kata Gus Muh esai adalah tulisan yang bukan-bukan. Suket bilang, ini masuk ke sejarah. Saya bersikeras buku ini adalah sastra. Ah, barangkali dia memang bukan sejarah, bukan pula sastra, Namun keputusan harus dibuat. Saat itulah saya ingat: baca kata pengantarnya.

Pada mulanya adalah blog, begitu kata Ronny di kata pengantarnya. Buku ini merupakan kumpulan esai, meskipun awalnya dia sama sekali tidak meniatkannya jadi esai yang bernas. Bukan, dia hanya coret-coret di blog, begitu alibinya. Dan ah ya, (Sastra) Alibi, itulah nama blognya. Akronim dari “Amerika Latin dan Iberia”. Muasal buku ini yang dari blog kasual jadi bujukan Ronny kepada pembacanya untuk tidak terlalu berekspektasi kepadanya.

Ungkapan rendah diri muncul lagi. Demikian kilahnya: 

“Sebagai catatan atau penafian: karena saya menulis dan pertama-tama sebagai seorang pembaca, maka jangan berharap menemukan suatu kritik sastra akademis di buku ini. Saya tidak terlatih untuk itu. Sebagai seorang pembaca pula, maka apa yang saya tulis terbatas pada apa yang sudah saya baca, dan itu sungguh kecil dibanding keluasan sastra Amerika Latin yang sesungguhnya”

Di sana, Ronny meminta para pembacanya untuk tidak bayangkan kumpulan esainya sebagai penghakiman final atas sastra Amerika Latin. Dia juga ogah diminta menjawab segala tetek-bengek kesusastraan berbahasa Spanyol lewat kumpulan esainya. Dia hanya berharap pembaca “menikmati dan memetik banyak manfaat” dari karyanya. Lewat kerendahan ini, Ronny seolah bilang kepada pembacanya untuk silakan pamerkan pengetahuan buku ini kepada tongkrongan, tapi jangan ke profesor sastra amerika latinmu kalau memang belum pegang banyak “peluru” intelektual. 

Upaya pemakluman atas “kedangkalan” esai-esainya juga nampak dalam kutipan di atas. Sebagai buku yang bermula dari blog iseng, dirinya memposisikan tulisan sebagai dokumentasi. Tentu di samping fungsi publikasi dan “kebermanfaatan”. Soal dokumentasi, dirinya mengaku terinspirasi dari kumpulan esai blog Eka Kurniawan dan Nuran Wibisono yang berhasil dibukukan dan, syukur, berhasil menghiburnya. Sebagai dokumentasi, dirinya mengomentari bacaan dan tontonan yang sudah dijamahnya saja. Tanpa ada itikad untuk memperluas unit analisisnya kepada produk sastra yang urung dijamahnya sebagai kiat akademis.

Meskipun dirinya meminta para pembaca untuk mengendurkan ekspektasi, di saat bersamaan dirinya memaparkan tawarannya. Lewat esai yang dikumpul dan dirangkai lalu diberi konteks, Ronny menawarkan pembacanya perkenalan dengan Latin American Boom. Perkenalan? Ya, sebab Ronny tidak membayangkan tulisannya mendarat di meja begawan sastra hispanik. Dia justru mengarahkan agar esai-esainya jadi etalase para pemula untuk mengenal fenomena ketika seangkatan sastrawan berbahasa spanyol mendobrak skenanya di kancah dunia dari pojok kawasan pascakolonial di Amerika Latin sana.

Tawaran itu bikin penasaran, saya kira, bila Ronny kasih pancingan sedikit lebih jauh soal konteks lahirnya el boom tersebut. Misal, pancing saja dengan tanya: 50-60an identik dengan upaya dekolonisasi. Asia-Afrika di 55 jadi contoh kecil. Adakah korelasinya dengan el boom? Tapi, ya, saya pikir sebegini pun Ronny sudah afdol sebagai pengantar. Sebab, selaiknya pengantar, bikin penumpangnya tidak tersesat dan berkisah secuil tentang tujuannya (bila si penumpang adalah orang asing atau wisatawan) adalah tugasnya.

Namun bukan semata tukang ojek, saya pikir Ronny bertindak sebagai sherpa. Pemandu. Seperti yang dikatakan Berryl, mengantar saja tidak cukup bagi kata pengantar. Perlu ada penggiringan pembaca dan inilah yang ditunaikan pula oleh Ronny. Simak kata-katanya ini:

“Tulisan-tulisan lain di buku ini cukup acak, tapi mungkin bisa ditarik benang merahnya bagaimana politik dan sastra (atau seni dan kebudayaan secara umum) berkelindan erat di Amerika Latin. Memang dua hal yang tak terpisahkan itulah yang membuat saya menyukai sastra Amerika Latin sejak awalnya, dan membentuk pemahaman atau ideal saya sendiri tentang bagaimana seharusnya karya sastra ditulis dan karya seni dibuat.”

Ronny mencegat pembacanya yang hendak berpikir bahwa sastra amerika latin meledak akibat musabab banal seperti “para pemuda anak petani kopi dapat kelas motivasi jadi penulis dan wusss simsalabim, esoknya mencelus itu semua bintang sastra”. Atau el boom hanya sekadar kebetulan bahwa tiap tempat pada akhirnya punya giliran. 1960 Amerika Latin, 2045 jatahnya Indonesia, misal. Tentu tidak, Saudara!

Ronny mencegat, lalu arahkan pandangan para pembacanya kepada yang-politis. Ronny menggiring penulisnya untuk terlebih dahulu percaya bahwa segala yang di bawah kaki langit, termasuk sastra amerika latin, punya kelindan dengan politik. Sastra dan politik itulah yang membentuk sekaligus mencerminkan wajah Amerika Latin. Sastra cerminkan politik; politik membentuk sastra; dan seterusnya. Kelindan-kelindan inilah yang menjerat Ronny sehingga mau berkubang dan menekuni domain sastra hispanik.

Bukan hanya hantaran dan giringan, Ronny unjuk gigi pula lewat selipan pengetahuan di kata pengantarnya. Di sini, Ronny, secara keren, bilang ke pembacanya bahwa esai-esai blog terkurasi ini memang patut masuk rantai produksi perbukuan. Bukan hanya mengendap jadi bit-bit internet. Anda tahu wajah Bapak Dora? Mungkin tahu. Tapi tahukah anda wajah tersebut menjiplak muka Gabriel Garcia Marquez? Ronny tahu dan menuliskannya di kata pengantar. 

Anda khawatir terkaget-kaget saat menyisir istilah dan kejadian asing seputar sastra Amerika Latin di buku ini? Kekhawatiran Anda valid dan coba diantisipasi oleh Ronny. Dirinya kasih informasi tentang docuficcion seputar la boom yang beredar bebas di Youtube. Celakanya, untuk awam seperti saya yang nonton Hollywood saja mesti berjuling-juling untuk membaca subtitle, docuficcion rekomendasinya tidak membantu. Saya kunjungi kanalnya, klik tayangannya, duar: 30 menit dan 4 episode dokumenter bahasa Spanyol dan tanpa subtitle bahkan bahasa Inggris sekalipun. Modar!

Semodar-modarnya, tetap lebih modar kata pengantar yang hanya bertulang puji-pujian dan kop assalamualaikum. Dan Ronny tidak menyajikan kata pengantar demikian. Suntikan wawasan yang coba diberikan dirinya dalam kata pengantar, ajaibnya, dilakukan bersama dengan upaya mengendurkan ekspektasi pembaca atas tulisannya. 

Kata pengantar memang upaya penulis menolak mati di tangan tafsiran pembaca. Tapi menolak adalah upaya dan dia bisa gagal. Ronny gagal. Upaya turunkan ekspektasi pembaca gagal terlaksana sebab justru dibuktikan sebaliknya oleh kata pengantarnya. Bila kata pengantar yang paripurna adalah yang mampu menghantar dan menggiring pembaca, Ronny punya lebih dari itu. Dia membekali pembaca untuk menghadapi esainya dan hal-hal lainnya yang lebih luas dari itu: sastra Amerika Latin itu sendiri


Posted

in

by