“Ada bagian yang terasa sakit di lubuk hati kami, saat mendengar berita pembreidelan itu. Kami merasa salah satu milik kami yang paling hakiki, hak menulis dengan bebas dan bertanggungjawab, dirampas dengan sewenang-wenang.”
Cuplikan perasaat sakit dalam kata pengantar buku Bredel 1994 yang diatasnamakan Aliansi Jurnalis Independen sebagai penyunting di atas, sangat saya rasakan. Bahkan, dua kalimat di atas itu saya baca berkali-kali. Sesama jurnalis sekaligus penyintas dari kekerasan dan represi atas hak menulis dan berpendapat, saya seperti diseret dalam sejarah 1994 itu.
Kata pengantar itu ditulis untuk memberikan sinopsis dari buku Bredel 1994 yang merangkum kumpulan tulisan tentang pembredelan tiga media beken masa orde baru, yaitu Tempo, Editor, dan Detik. Saat itu, pertengahan Juni 1994, ketiga media tersebut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut oleh Menteri Penerangan di masa orde baru.
SIUPP memang menjadi surat izin yang dikeluarkan oleh Kementrian Penerangan untuk perusahaan penerbitan dan pers untuk beraktivitas secara legal. Namun, SIUPP ini sering dipermainkan oleh pemerintah dalam bentuk pencabutan untuk mengontrol sekaligus menertibkan perusahaan pers yang tidak sejalan atau memilih sikap yang berbeda dari pemerintah. Adapun, SIUPP ini sudah tidak berlaku setelah diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di era Predisen Habiebie. Dan, tiga media bernasib nahas itu tadi—Tempo, Editor, Detik—yang harus berurusan dengan kementrian yang konon sebagai penerang itu.
Kemudian, kisah awal bagaimana wartawan independen dan masyarakat sipil yang peduli terhadap kebebasan pers di tahun-tahun 1994 yang dimunculkan dalam kata pengantar menjadi kunci penting bagi pembaca. Semacam kisah persekongkolan melawan kejahatan yang ditulis dalam kata pengantar menjadi daya tarik yang kuat agar pembaca—termasuk saya—mengikuti perjalanan itu.
Selain kisah-kisah pembredelan, cerita organisasi profesi jurnalis bernama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sebagai organisasi tandingan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ompong ketika ada kasus represi terhadap kemerdekaan pers, juga menjadi wacana baru bagi saya. Dan tentu saja, kata pengantar itu dikunci dengan pernyataan atas tujuan penerbitan buku ini adalah bentuk perlawanan dan upaya demokratisasi sekaligus perbaikan kemerdekaan pers menjadi ujung dari gairah untuk membacanya sampai paripurna.