Klub Nonton #9: Kiss the Ground

Dalam dokumenter ini, sejumlah ilmuan dan aktivis lingkungan membicarakan beragam cara mengatasi pemanasan global, di mana kunci utamanya ialah memuliakan tanah.
Garis Besar Diskusi
 

  1. Berryl (Basis pertanian kita produksi cepat)
  2. Dewi (pertanian yang merusak tanah dan permakutur solusi)
  3. Dandy (tidak dibahasnya peran korporasi dalam perusakan tanah)
  4. Reyhan (peran perang dalam membentuk pertanian)
  5. Sapta (banyak tanah dijual karena anak muda tidak berminat menggarapnya)
  6. Ale (sejarah untuk memahami besarnya peran pertanian dalam peradaban)
  7. Suhairi (banyaknya pertanian skala besar yang keliru secara konsep)
  8. Fitriana (pengaruh pertanian pada spesies serangga)
  9. Ego (perlunya menggeser mindset antroposentis ke biosentris)
  10. Adul (spiritualitas dan lingkunga)
  11. Daniel (Fungsi dokumeter untuk menggerakkan kesadaran)
  12. Ageng (Dokumenter netflix dan isu-isu yang solusinya kelas menengah)
  13. Achmad (tidak lancarnya edukasi isu dari akademisi kepada praktisi)

Notula Diskusi

Pengantar Moderator

Faris: Film ini mengesankan kalau masalah ini semacam fenomena internasional. Jadi aku berekspektasi ada pemaparan dari pegiat agrikultur atau pemerhati lingkungan yang setidaknya Asia Tenggara, ga harus dari Imogiri bantul juga, tapi ga ada. Yang aku tahu, yang bener-bener gencar ngomongin perubahan iklim memang orang yang sudah relate dengan fenomena di depan mereka. Sedang, kita hanya melihat itu sebagai alat pembelajaran kita di mana ketika masyarakat kita mengalami fasenya sendiri, sewaktu-waktu kalau kita tidak waspada konsekuensi yang sama juga akan kita alami.

Dari film tadi ada tiga pemasalahan. Pertama, soal industrialisasi pertanian, bagaimana pertanian itu hasilnya sudah jadi komoditas sehingga bukan hanya dikonsumsi orang-orang di sekitar lahan, tapi juga didistribusi secara massal yang konsekuensinya adalah permintaan bertambah. Tanah pun jadi alat produksi yang ditarget seperti mesin. Kalau mesin rusak kemungkinannya dua, dibenerin atau jadi rongsokan. kalau tanah rusak, apa nih? Itu yang dibahas.

Kedua, soal bagaimana individu yang ada di masyarakat menyadari bahwa kehidupan kita ga bisa lepas dari tanah, dari apa yang kita makan. tadi ada yang ngaku bukan vegetarian pun kalau makan daging melihat dulu kesehatan hewan-hewan. Dan kesehatab hewan itu bergantung pada kualitas tanah, tumbuhan yang dihasilkan tanah. Yang bukan tumbuh di tanah yang baik, mungkin menghasilkan hewan yang tidak enak.

Ketiga soal bagaimana manusia mengolah limbah, tadi aku nangkep salah satu narasumber ngomong kita bersiklus dari konsumsi sampai ekskresi. Baik itu limbah alami yang keluar dari tubuh kita maupun limbah yang kita hasilkan dari produk yang kita konsumsi. ternyata pengelolaannya butuh strategi. Tujuannya buat melestarikan tanah itu sendiri.


Diskusi

Berryl: Di sini aku lihat temen-teman ada yang punya latar belakang petani, ada mas Sapta sering bertani, Bang Ale kelapa sawit, dan saya di desa keluarga petani. dan saya rasa film ini agak tidak merepresentasikan pertanian di Indonesia. Lihat saja keluarga Kapten Fantastik tadi, katanya mengelola 16 km persegi. di Indonesia kayaknya ga ada. Paling buruh tani punya beberapa petak. Saya tertarik tadi itu soal komposting, bambu, dan itu lebih relate dengan di Indonesia yang saya rasa pertanian kita basisnya produksi secara cepat. Pakai urea, mpk itu harus diakui. Kalau dulu padi lebih pulen, itu beda zaman. Kata Suhai berasisasi varietasnya diseragamkan.

Sebelumnya kita pernah mengadakan diskusi pangan, bahasannya luas dari berasisasi dan pangan alternatif yang ditawarkan. Kita dulu makan sorgum tapi ga ada yang suka. Dua minggu lalu kita diskusi film Human Flow yang mencoba memperlihatkan masalah pengungsian karena perang, karena kekeringan, karena tidak ada tempat memenuhi kebutuhan. Di film tadi ada footage yang sama juga dengan di film kemarin.


Dewi: aku besar dan tinggal di Boyolali. Semua keluargaku petani, tapi sekarang ga punya tanah lagi. Dijual. Aku pengamat permakultur, beberapa kali ketemu yang mempraktekkan. Jadi, aku tidak setuju dengan dengan Faris yang bilang isu di film tadi jauh dari kita. Itu memang masalah di US, tapi Indonesia masalahnya lebih parah dari itu, kita kehilangan banyak varietas, semua hilang di gmo. Kita lebih banyak makan pestisida, pupuk, dll. Kita lebih banyak sakit, kita selalu bilang kita menaklukkan alam, memimpin alam ,khailfah, tapi aslinya ga. Kita hanya bagian dari alam. Kita menata, tapi bukan berari kita lebih superior dari alam. banyak petani menganggap petanian ini paling bener,

kementrian pertanian bilange e bahkan di boyolali ada yang punya lebih dari 40 hektar. itu cuma masalah kecil . tanah makin sakit, itu isa dihindari ketika kamu pakai permakultur. salah satu yang kutemui di sana, profesor, tana kecil. tanam di bulan agustus taruh bumi langit tanahnya karang, tiga tahun mengolah tanah dan memberdayakan orang d san. selama kita berpikir pertanian untuk manusia tanpa kita memberi feedback ke alam, indonesia akan jadi seperti itu juga.

Dandi: Film ini ga bahas soal kenapa lahan bisa hilang. Di kita sebagai negara dunia ketiga, penghilangan tanah ini paling banyak dari perusahaan. Contohnya, Kulon Progo kan akhirnya tanah hilang karena Angkasa Puta. Hal lain yang mempengaruhi ketahanan pangan, ya perusahaan besar yang memonopoli lahan.

Di film tadi walikota atau gubernur California bilang, “semoga ini bisa dicontoh di wilayah lain atau negara dunia lainnya. Aku pikir, ini semacam bilang Amerika sebagai negara adikuasa bisa memberi tauladan, dan itu supremasi banget. Ada hal lain yang mesti di lawan di negara ketiga selain pestisida, yaitu perusahaan. Juga, pemikiran kita yang terjajah bahwa kita selalu sebagai yang subbordinate dibanding ras lainnya.

Reyhan: Dandi punya keresahan kenapa tidak ada penjelasan soal perusahaan. Kalau kita ingin tahu intisari, kita memang perlu mendalami dan lihat sumber lain. Yang aku garisbawahi dari film tadi, pertanian tidak bisa lepas dari perang dunia. Ada pengaruh pestisida dan zat kimia dari perang dan politik. Selain kita perlu sadar soal regenerasi tanah, kesadaran politik juga perlu ada. Di film ada petani bilang, saya sudah menolak bantuan pemerintah. Itu tidak sekonyong-konyong hadir. Dia pasti tahu bagaimana hal merusak itu bekerja. saat Dewi bilang kemiskinan terjadi struktural, peinindasan juga. Hal sekala kecil perlu tindak lanjut.

Dan kalau kita ngomongin angan hari ini kenapa regenari tanah sangat sulit, kenapa kok meghilangkan dengan zat lebih ramah sangat ini.
ini bukan cuma masalah pengganti zat kimia. berhadapan strutur esa, produksi pupuk ini perusahaan besar cukong selingkuh pemerintah.

Kemudian hadir kita kelompok di Radio Buku ingin stop zat kimia. Kita berhadapan dengan semua .

Kondisi hari ini seperti ini carut muruh menghasilkan tubuh kita makin ringkih ternyata imun kita makin lemah segala maca. ini teragregasi pada industru kesehatan. Obat hari ini ada untuk mematikan penyakit yang juga diciptakan. Kenapa legalisasi ganja untuk medis sulit karena ganja mungkin uurah dan menggulungtirkana medis industri.
Kita ada pendapat yang bukan cuma sadar kesadaran ligkungan, tapi sampai kapan pun usaha seperti ini perlu juga lewat perundingan atau banding dan segala macam undang-undang dan aturan segalam maca.

Sapta: Saya di rumah itu cuma meneruskan pertanian mbah saya dulu, Pertanian saya menanam padi. Kalau film tadi kan yang saya tangkap kita mencegah kimia merajalela, Cara mencegahnya saya ga tau. Tapi di Sukoharjo saya terbesit jadi petani untuk mencegah terjadinya jual beli tanah. Generasi muda yang ada di desa saya lebih banyak merantau dari pada menggarap tanah, jadi kalau ga ada yang bisa menggarap, ujung-ujungnya dijual. Saya di desa berjuang agar tanah itu ga dijual

Ale Siregar: Saya merasa bersalah disebut petani sawit. Rasanya kami ini para pendeosa. Tapi mau gimana lagi, kalo ga gitu ga bisa hidup dan sekolah sampai ke sini.

Cerita tentang pengalaman saya pribadi di bidang itu, kami bukan petani di bawah korporasi, tapi petani independen di Jambi, Sarawangun. Kalau pernah dengar Sokola Rimba, dekat dengan itu. Bukit barisan. Bukit 12 Sumatra Utara dan Sumba. Di sana, cerita sedikit, ada sepupu saya membeli lahan untuk menanam sawit. Hingga lima tahun berbuah sedikit, korporasi besar datang dengan lahan dan modal besar, menawarkan abang saya, “Mau ga dicaplok? Kalau mau difasilitasi.”” Dia babinsa, TNI. Abangku ga mau. Dua malam berikutnya, usaha 5 tahun itu habis dalam semalam. Malam hari sekawanan kerbau masuk. Habislah dimakan semuanya. Abangku tanya, ini maksudnya apa. Yang ditanya mengaku tidak tahu. “Itu kerbau mayarakat,” katanya. Itu kelihatan seakan akan mengadu domba. Babinsa dekat dengan masyarakat dan dia pasti tahu pemilik kerbau itu. Lahan itu dipagar, tidak mungkin ditembus kerbau kalau pagar tidak dirusak lebih dulu. Karena masalah seperti ini, banyak petani menyerah. Ini bukan pembelaan. Petani independen memang sering ditekan. Di satu sisi oleh koorporasi, di sisi lain oleh aktivis lingkungan.

Menarik di film tadi, disebut semua peradaban runtuh karena pertanian kacau balau. Ditemukannya artefak di lahan kering, itu bukti tanah rusak. Saya rasa, perlu untuk menengok kembali ke masa lalu, mengintip kembali ke sistem tradisional yang tidak usah pakai pestisida, yang tidak usah dibajak.

Kita harus belajar sejarah juga selain politik dan pertanian. kita mesti kembali belajar pada nenek moyang. dandi laksosno bikin dokumenter ciptagelar bagaimana pemanenan dibatasi, irit konsumsi dan hasil panen bagus. Saya ingin dengar dari Mas Sapta, apa ada ini di pewayangan?

Sapta: Pertanian dalam pewayangan yang saya tahu, lakon kansolena.

Waktu pandawa kecil, aslinya nyantrik di padepokan. saudara pandawa seperti baladewa dan kresna waktu remaja diusungkan, tapi di pendeta. Petani yang menonjol, kresna baladewo, roroireng, dan itu mereka diajari pertanian oleh namanya sagopo itu yang punya pertapapa. mereka yang paling menonjol baladewo karena uska bertani dan membcajak sawah/. waktu remaja mereka diajari bertani.

Suhairi: Terkait isu ini sebenarnya beberapa bulan terakhir jadi konsenku sendiri, ngumpulin literatur dan politik pangabn. Kalau mau belajar paling penting bisa lewat cipta gelar atau menelisik naskah kuno yang ada. kalau di masnya ada wayang, kita punya banyak naskah kuno ratusan tahun. perpusnas pernah ngadain seminar tentang literatur makanan dari naskah kuno banyumas cirebon, jawa. termasuk relief salah satuny ayang sering di Borobudur. uitu banyak relief yang menggambarkan bagaimana nanti jadi ciri hak sumber pangan. pertama padi, kedua jewawud, jgung, dan sorgum (cantel di baahasa jawa) ini beberapa bulan lau ikut kongres. dulu ada ibu loreana loreta . itu salah satu pemulihan sorgum flores dan itu bukan orang asli sana. ia kuliah di malang, aslinya klabar lalu menetap di kampung suaminya di flores. di sana ada mitologi sorgum, ada tujuh bersaudara anak terakhir perempuan jadi tumbal nanti badannya di sebar ke tujuh penjuru mata angin dan di inilah lahir berbagai biji-bijian, itulah corak pertanian di NTT. nah ternyata petani-petani itu di satu lahan tidak hanya satu tumbuhan atau satu pangan tumpang sari atau nantinya nanam padi pinggir-pinggirnya ditanmin sorgum. di lereng ga bisa ditumbuhin [padi. nanti nanamnya sorgum gitu]/ model ini di konteks negara ga dipake. di negara efektifitas d, maka pertanian skala besar. conoth yang gagal proyek ive di papua. kemudian di replikan di kalteng flores. kalau lia kebun di buldoser ini salah satu awal food estate. ini sebenarnya mengahadi strukturalpaling efektif intervensi negara. tapi di tengah kondisi oligarki politik menguasai, dulu enak pengusaha suharto itu beda, pengusaha bergantung politisi. sekarang pengusaha adalah politisi itu sendiri. conotohnya itu pengusaha pengambil kebijakan. yang paling in adalah kelompok kecil komunitas kaya di bumi langit kemarin terkesima dia ngisi kongres kebudayaan kemarin. hari ini kalau mau tentang pangan lagi banyak anak muda mencoba memasarkan misalkan kaya ada orang prambanan jual sorgum kemasan. rata2 ambil dari gunung kidul. ada temen radio buku angkatanku neneknya punya sorgum dijadiin pakan ayam, eman-eman padahal bisa jadi konsumsi pokok. apalagi gunung kidul sering diasosiasikan sebagai kurang pangan, karena indikatornya beras, padahal punya sumber pangan berbeda, tiwul banyak banget, telo soalnya . di ig ada pangan fest, itu kumpulan orang yang mengkreasikan pangan alternatif agar diterima masyarakat luas. karena kalau ga digituin harga 1kg jagung murah, 4rb – 2,5rb. Kenapa banyak imigrasi pekerjaan, karena yang mereka tanam tidak bisa menghidupi diri. itu yang jadi persoalan. kalau ngandelin bantuan pemerintah ada syarat, harus pupuk urea, snagat kimiawi. maka beberapa daerah ga mau dikasih bantuan, aspal aja ga mau. itu mungkin jadi persoalan kita makanayapaling penting krtik pada ngeara pmesti dilakukan secara sadar maka gerakan kecil jadi sikap olitik. minimal belum bisa nama, beli dulu, mendukung yang menjual. itu dikit. aku sering bacaan, temen2 baca silent spring. pasca perang dunia jadi inspirasi kennedy memberhentikan proyek pestisida amerika, walau 70an reigen kebijakan itu dicabut lagi. itu penting gimana pertarungan ide berlangsung.

Berryl: Aku suka pemmaraparan temen2. keluargaku sendiri sebagai tani memanam padi sebagai selingan akrena padi ga profit tiga ulantnam dan panen paling mentok dapat duit 3-4 juta. itu korot emang ga bisa menghidupi kalau tanam padi doang. beruntungnya keluarga kami punya beberapa petak lahan, yang jadi profit yang lain, palawija sengon, kaya tembakau cuma dua kali panen nanti tanahnya jadi ga bagus maka haru srolling. dan rolling udah dipahami warga sekitar. kalau sebelah nanem sengon pas panen dikasih. kalau cabe mengundang hama, dia kaseih ke tetenagga yang terdampak. aky berungtung di desa yang punya sistem ketahan sosial karnea sistem cari profit ;. dan pun setelah panen masih banyak mafianya. kalau mafia padi itu masih banak menggerogoti . mbahku mengeluh, sing nom ra ono sing nani. aku nawarin, dibilang jangan, susah.

dulu nanam pisang 200 ohon capek minta ampun. kata orang ini kerjaan menyenangkan. harvestmoon itu bulshit. meman susah butuh effort lebih dengan yang kenal kuliah. tercerabut. ini pekerjaan fisik pun yang dusebyr tadi, yang peatihan memag ada dan akan terus ada, ada alumni kampus prtanian dari ub brawijaya mereka mengkoordiniar koperasi petani penananm tertentu kaya cabai, jangung, tebu, shre profit dari itu. ketahanan sosial mesti dibahas juga. Tumpang sari, bapak tadi bilang, kalau jagung kena kan ada yang lain. ini susah di kita karena orientasi petani jita profit oriented bkan ketahanan sosial. aku penasaran sama dewi penyembuhan tanaman dengan tanaman lain apa ya?

Dewi: pak yos, dosen isi s2. dulu ku dijelasin di bikin project di guwosari dia membedayakan petani dan anak muda untukpertanian berkelanjutan. masalah homgenisasi pertanian itu utama. satu pertani cenderung itu2 aja. yang ktta punya dari dulu hilang, krena iklim ganti, industri hijau, itu kacau semua. berasisasi itu penghancur, ga cuma puebi dibakar, dia merusak pertanian kita. dia waktu itu cuma dari tanduk kerbau dimasuki pupuk dia sendiri cuma boleh sapi graaspit lahir sampai deasa di tanah musim panas 90 hari, di tanah rusak. WD 500. Dan bahkan itu bisa dimakan habis difermentasi bisa dimakan. Jadi klau mau main ke guwosari menarik ada. Biodinamic. Itu mikroorganisme disebarin ke tanah ngasih berpeknmabng biak. pengolahan tanah paling mujarab sekarang biodinamik. permakultur paling efektif lagi.. itu lihat angi, cekungan tanah, air, jatuhnya cahaya. itu kita ngelakuin dari dulu. pakai landang berpindah cipta gelar sangat mempengaruhi meniru pola alam.

Fitri: nonton film tadi fokusnya ke tanah, tapi pemanasan global sangat luas dan faktornya berkaitan kalau tadi salah satu solusi cara tackle suhu bumi panas sekarang dengan melakukan pertanian organik, karena kalo yang pertanian aja berarti kamu cuma pakai pestisida bahan kimia yang lebih resisten terhadap hama dan gangguan yang menghancurkan mikroba di tanah. salah stau solusi aja kalau kita pemanasan global itu banyak faktor lebih parah itu beton menyimbang 8% pemanasan glibal di dunia, semen. ditambah populasi bumi makin banyak yang berarti hunia butuh lebih banyak dan makin banyak hunia beton makin panas. batu kapur jadismeen mesti dpnaskan dari situ buangannya co2 dilepaskan ke alam. salah satu cara menghentikan produksi co2 dari hunian itu produksi beton dan semen itu bisa dengan teknologi penangkap co2 yang bisa dipakai di parbik2 yang asap buangan bisa diambil co2nya yang tertutup rapat tapi kurang efisien karena butuh biaya lagi ditanam ke tanah untuk menangkap co2 bbutuh dari fosil. kalau hidup di bumi mau ga mau kita terus menyumbang. acara ini aja kita udah mengahsilkan co2. baju kita pakai juga jejak karbon banyak. kita kampanye sedotan besi itu mengurangi sampai plastik tapi mendapatkan besi ngambil lagi. tapi memakai barang ga sekali pakai kaya plastik dan sedotan kita lebih meminimalisir sampah. Baju, kapas juga pestisida banyak. gmo itu membuat tanaman lebih banyak tapi lebih rentan jadi pakai pestisida. nah ketika tanah ga subur tidak ada tanaman, aku lebih concern, makin banyak manusia butuh makan, makin dikit serangga penyerbuk musnah, lebah, kupu2 hilang karena tanamannya. Alge itu bisa enyerap co2 lebih banyak, paus bisa menyerap udara lebih banyak dari manusia dan co2 di laut jadi ga lepas ke udara. jadi banyak faktor memengaruhi , di sini faktornya cuma tanah. tapi kita manusia bukan pemimpin dunia tapi salah satu spesies dan kita paling punya akal di antara yanglain, dengan kemajuan ini mesti kita jaga biar ga kaya interstellar. Daripada pergi ke planet lain yang butuh banyak hal, mending jaga planet yang sekarang dong. Bahkan Nassa yang cari planet sampai sekarang belum ada satu pun yang persis bumi. mungkin belum menghidupi. kita cuma satu dari rantai panjang dan kita mesti saling wise.

Berryl: merauke kan banyak sapi

Fitri: mbahku transmigran jadi waktu ke maerauke dia dikasih tanah untuk dikelola. dia peatani padi, dan ia kadang tani sayuran. ada dua lahan, satu tahun padi aja, di lahan lain sayur dan buah. mbah punya sapi juga, kalau kecil sering ikut dia gembala. kalau sapi di jogja ga pernah liat (berryl: dicuri fit). Di merauke, di keluarin dari kandang nyari sendiri dijagain sih. dulu paling berapa kilo dari rumah terus ya udah. itu ga tiap hari, seminggu beberapa hari, sisanya dibawain rumput. Dulu banyak lahan ga kepake, ada rumah, sawah, kebun banyak tanaman, dan sapi bisad ilepas. Kalau ga percaya desifikasi ga ada di indonesia, gumuk pasir meluas tiap tahun.

Ego: Saya yakin orang yang bikin film atau kajian seperti ini sadar bahwa tanah itu salah satu elemen yang harusnya dimuliakan. ini disebut pendekatan biosentik. Saya kemarin studi S2 sempet membahas satu teks yang sangat bertumpu pada biosentrisme. Bukan fabel, karena fabel dipesonifikasi manusia), ini bener-bener biosentris, ini mentalitas yang jadi kelemahan humaniora. Biosentris ini bagus untuk menelaah ilmu kemanusiaan. humaniora buat saya sangat bertumpu pada antroposentris, saya belum lihat banyak di sastra yang aksesisble membicarakan secara berimbang bagaimana non manusia harusnya dipandang.

Tadi sempat dibilang manusia paling punya akal. Itu lagi-lagi kita mendefinisikan akal sebagai hal yang ada di kita dan itu ekslusif yang kita miliki. Misal, tanah yang belum dikategorikan makhluk bisa jadi punya akal di standar berbeda. jadi ini juga beberapa menjadi objek penlitian temen-teman saya, bagaimana masyarakat adat dan daerah memandang tanah sebagai salah satu sumber produksi ilmu mereka.

Bicara pemanasan global, kita langsung menuju ke beberapa titik yang jadi sumber, korporat dan teknologi dan lagi-lagi kendalanya pandangan bahwa ini masalah yang diciptakan manusia dan hanya mausia mampu menyelesaikan. ini garis titik kurang tepat. kalau misal kita memahami bahwa bukan kita yang paling berada di atas. Untuk menyelesaikan masalah seperti itu mungkin lebih baik mindset kita diubah dulu, jadi kita lebih mudah menerima konsep yang ga kita pikir sebelumnya. kaya konsep tanah sembuh kalau kita ga nganggap tanah dimuliakan, itu susah diterima. kalau tanah bisa sembuh berarti dia ada kualitas seperti kita secara organik.

Faris: aku ingin mengajukan pertanyaan: aku lahir dari latar belakang suburban ga kenal masa kecil di sawah, main di got. mayoritas konsumen dari hasil pertanian itu kan warga perkotaan, iya dong. sehingga, memang itu berkonsekusnsi dengan tututan besar hasil pertanian. hasil tani yang jadi makanan pokok. orang kota ga produksi tapi paling banyak makan. saya ingin ngajuin pertanyaan, konsekusnsi inggi permintaan itu kan cara efektif memenuhinya. aku ga bayangin sawah seluruh Indonesia panennya setahun sekali, itu ga mereka bertani, ga didistribusikan ke kota. Bisa ga kita menimbulkan hasil produksi masif tapi ga merusak tangan.

Dewi: aku masyarakat urban, dan satu hal yang aku dikasih tahu semua praktisi permakultur adalah punya otoritas diri. Dan sebenarnya sudah banyak pilihan. kalau aku mau pilih produk lihat latar. tapi karena banyak dipasr parah. temenku distributor brambang parah banget. Brambang dari NTT ke Jogja. dan temanku ga ad
distribusi bawang merah bermasalah

Suhairi: tidak bisa nawar harga. sorgum 1 kg 32 ribu. setengah kilo 25 ribu. Karena minim konsumen harga mahal. murah di kediri sekilo 20rb tapi ongkir ke jogja, jejak karbon lagi. Natgeo pernah rilis laporan lumbung pangan di belanda, nah negara di eropa barat meninggalkan rumah gedung semua makannya nanti percobaan yang mereka lakukan adalah menghias gedung dengan pohon dan makannya nanti banyak loteng, ada nyerap panel surya mereka akan bertani. Menariknya, belanda ini negara kecil tapi bisa disebut lumbung pangan, sedang Indonesia punya banyak lahan tapi kita impor. Itu mungkin terkait kebijakan politik. negara itu tadi. Negara barat kaya pengen jadi guru. Karena kebijakan negara kita sangat developmentalisme, mengacunya ke barat yang ukuran kemakmuran itu berdirinya banyak gedung. ada dokumenter lain seed soal di India apa yang disebut modernistik dan modernitas. ada di di inonesia yang diakuci cume sebagai keagamaan atau ormas, padahal itu benih leluhur. Modernitas datang menganggap ini haram semua. logikanya sama dengan agama. Bagiku ini ga bisa dilakukan lewat struktur negara. Selain yang terbangun, kenapa yang dibrebes ke jakarta jogja ambil dari NTT, logikanya bukan keterhubungan sosial tapi logika kapital. Maka jejaring yang diperlukan tidak mementingkan kapital

Ale: Tadi dibahas soal sesuatu jadi komoditas karena banyak permintaan. Menurut saya, permintaan ini banyaknya dari orang kota, mereka meminta desa mensuplay. Saya rasa, harusnya ada perubahan radikal: orang kota makannya ga cuma beras. Papua disuruh makan beras itu dosa besar Suharto. Jared diamon, di pengantar bukunya bilang, Einteins kalau ditaroh di tengah belantara Papua, apakah dia tetap disebut terpintar sedunia? Dia bilang daya kemampuan itu berdasar kemampuan seseorang bertahan hidup di suatu wilayah. Jadi, mungkin memang kita perlu kembali ke kearifan lokal.

Adul: Aku muhasabah diri ketika nonton film, merasa harus meningkatkan spritualitas di mana semua hal di semesta ini serpihan Tuhan, bahwa ketika kita hidup di semesta ini kita saling bersinambungan antara satu objek dan yang lain. Tapi karena kita mengalami pendidikan yang jarang mengolah spiritualitas kita, jadi pada akhirnya ya timbul kapitalisme dan keluarga besar.

Daniel: Kalau suatu saat Tuhan bicara padaku, aku ingin dia terdengar seperti naratornya tadi. Dokumenter itu untuk membangun kesadaran. Yang film tadi tanamkan adalah semua harus berkontribusi dan semua harus atas dasar cinta. Kita semesta kecil dari semesta yang lebih besar.

Saya sempet jadi kontributor di aktivisme kesehatan jiwa. Di berita, kita lihat tingkat mental illnees meningkat drastis. Seringkali diarahkan ke label generasi kita lebih lemah. Yang jarang disebut, pangan yang diproduksi massal berpengaruh ke mikroorganisme di tubuh kita dan membuat kita tidak bisa bekerja secara optimal dan itu berdampak ke kondisi kejiwaan kita yang terganggu. Dan masalah yang dipaparkan tadi mestinya cukup jadi pendorong kita untuk merestorasi tanah.

Ahmad:
Ebit G ade pernah berkata, kita mesti telanjang dan benar-benar bersih suci lahir dan di dalam batin. Saya mau ngomongin tapi temen yang lain sudah ngomongin. Saya pikir teman2 berpikir menyalahkan koorporasi, saya pelindung koorporasi pelindung koorporasi menoak ini. saya kapitalis garis keras. tidak hanya pestisida yang merusak tubuh kita radiasi laptop hap dan di sisi lain oksidasi juga pross kimia di tubuh yang bikin sel menua dan mati. bagi saya manusia ini makhluk ekspoitatif. daerah saya maluku orang2 tidak misalkan saya beli tanahmu, nanti ketika anakmu sekolah sampai kuliah nanti saya biayain. ada coorporation social responsisbility. masyarakat diiming-imingi. Dulu ada epos pantangan Dee Lestari yang lahan konservasi tanjung puting ketika ada ke sana tidak boleh masuk salah satu wilayah, ketika anda masuk ke dalam anda dimakan satu atau serupa. daerah itu hilang sekarang. di daerah saya ada janur dipasang di tengah lahan supayatida ada yang masuk situ. sekarang dipolitisir dipakai untuk menutup kantor, jadi yang tidak sepaham pilitik tidak boleh masuk. kedua juga peran lembaga adat. Ini juga menjadi pr buat akademisi, mereka seperti pohon pisang punya jantung tapi ga punya hati–sekali bertumbuh selesai. Tidak punya sustainable berkelanjutan mengdeukasi. karena ini persoalan pendidikan. edukasi. masyarakat siapa yang ga silau melihat uang. sampai SPG mobil masuk desa. mereka ga merasakan yang dirasakan kalimantan. ini peer buat kita para akademisi. sampai di jakarta kita mengikuti kenduri cinta. cak nun ditanya, ahli pertanian ini s3 pertanian atau yang mencangkul di sawah. karena kalau mereka dari akademisi masuk disuruh nyangkul ga bisa. itulah peran akademisi kalian gimana? Kalian teriak dari kemarin climate change, mereka ga mundur. Orang kota ga bisa mandi ga pake sabun skincare, kebutuhan itu yang membuat kita di daerah plosok timur itu merasa. Menurut saya percuma selama ini menentang industrialisasi mereka akan terus berjalan selama ada. solusi saya tegakkan khilafah. solusinya membangun kesadaran, ubah mindset. Sesekali mampir lah kita, tapi jangan menggurui. Artinya jangan menganggap kita dari kota tau karena masyarakat di desa benci orang kota datang terus sok-sokan. Itu yang menurut saya krusial. Kita mesti melihat kembali ke arahpendidikan. agar mereka paham perubahan iklim itu terjadi bukan karena adanya industru yang tumbuh di mana-mana tapi karena kita sebagai manusia tergiur pada cost yang mengganti kerugian itu.

Faris: Di akhie ada orang kota ditanyain jawabannya konyol ternyata hal yag tadinya dipaparkan tidak disadari. Aku sedikit menyayangkan kenapa adegan begini ga diperbanyak, malah cuma dikredit title.


 

Diketik ketika acara oleh Ageng Indra.
Banyaknya typo mohon dimaklumi.

 


 

Video Rangkuman Diskusi

View this post on Instagram

A post shared by Radio Buku Coworking Space (@radiobuku)

Mendengarkan Buku, Membuka Cakrawala
© Copyright 2024 Radio Buku - All Rights Reserved
menu-circlecross-circle linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram