K-13: Kedodoran Mengadakan Buku

Opini web daring tempo.co 24 Agustus 2014 menyoroti distribusi buku pelajaran K-13 yang tak sesuai target. Tak semua sekolah menerima buku paket itu di hari ketika pelajaran sekolah sudah dimulai. Inspektorat Jenderal mesti turun tangan menyigi soal ini.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan amat kedodoran mengadakan buku pelajaran. Saat tahun ajaran baru dimulai pada Agustus ini, belum semua sekolah menerima buku pelajaran Kurikulum 2013. Kekacauan ini tak akan terjadi andaikata Kementerian merencanakan dan mengawasi secara baik proses pengadaan buku.

Siswa menjadi korban akibat ketidakcermatan para pejabat Kementerian. Sejumlah sekolah di daerah terpaksa “berakrobat” mengatasi ketiadaan buku pegangan. Di Brebes, Jawa Tengah, misalnya, guru meminta murid mencetak soft copy buku yang disediakan Kementerian di Internet. Tentu saja murid mesti mengeluarkan biaya sendiri.

Keinginan menerapkan Kurikulum 2013 secara serentak tahun ini sebetulnya bagus. Tapi program ini seharusnya dipersiapkan dengan matang. Apalagi dibutuhkan lebih dari 244 juta eksemplar buku guna mendukung kurikulum anyar itu. Faktanya, pada pekan pertama Juli, baru sekitar 34 persen buku yang terkirim ke sekolah-sekolah. Jangan mengira hanya sekolah di daerah pelosok, di Bekasi pun ada sekolah yang belum menerima.

Para pejabat Kementerian sigap mencari kambing hitam. Sekolah dituding tidak aktif melakukan pemesanan kepada penyedia buku. Distribusi buku juga terhambat karena terpotong libur sekolah dan Lebaran. Pejabat Kementerian Pendidikan semestinya bisa mengantisipasi dan mengatasi semua persoalan itu lewat manajemen pengadaan yang cermat.

Cara memesan buku pelajaran yang rumit seharusnya disederhanakan. Semua sekolah selama ini mengajukan pemesanan lewat dinas pendidikan di tingkat kota atau kabupaten, kemudian diteruskan ke dinas pendidikan tingkat provinsi. Terakhir, pemesanan buku ini diproses oleh Kementerian Pendidikan di Jakarta dan diteruskan ke Lembaga Kajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sesuai dengan aturan Menteri Pendidikan, batas akhir pemesanan adalah akhir Mei.

Kementerian Pendidikan mengklaim ada sekitar 50 kabupaten atau kota yang belum memesan buku. Namun kalangan guru menegaskan bahwa semua sekolah sudah mengajukan pemesanan dengan menggunakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Masalah muncul karena sekolah belum mendapat kepastian pesanannya sampai akhir Juni. Padahal penggunaan dana BOS selambatnya harus dilaporkan pada 15 Juli. Akibatnya, sekolah tak bisa mengeluarkan dana BOS guna membayar percetakan.

Di sisi lain, ternyata banyak percetakan yang bermodal cekak, sehingga tak mampu mencetak buku pesanan. Sebuah percetakan besar, misalnya, harus merogoh kocek hampir Rp 30 miliar untuk menalangi biaya cetak. Bagaimana dengan percetakan kecil, yang ternyata juga memenangi tender buku Kurikulum 2013 ini?

Sudah sepantasnya Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan turun tangan menelisik berbagai ketidakberesan pengadaan buku ini. Apalagi, pada semester kedua nanti, para siswa harus menggunakan buku baru lagi. Jangan sampai Kementerian ini bagai keledai yang kembali terperosok pada lubang yang sama.


Posted

in

by

Tags: