Pada zaman Orde Baru pernah terjadi boom ekonomi bagi pengarang, penulis, dan sastrawan Indonesia dalam Proyek Inpres.
Waktu itu, pengarang diberi kebebasan menulis dan menerbitkannya. Maraklah penerbit di semua provinsi dan lahir para pengarang muda.
Kondisi itu memberi efek berganda bagi para pengarang dan penerbit. Para pengarang produktif—dan bermutu—yang karyanya dipesan dapat membeli kebutuhan hidup sehari-hari, rumah, mobil, dan sebagainya karena pemerintah memesan karya mereka dalam jumlah puluhan ribu eksemplar sehingga setiap tahun para pengarang mendapat penghasilan ekstra.
Setelah bergulirnya otonomi daerah, sejumlah kebijakan diserahkan ke daerah. Banyak daerah menganggap persoalan perbukuan kurang penting. Yang penting adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan, gedung, dan jembatan. Buku nanti dulu, yang penting anak-anak usia sekolah bisa melek aksara.
Berpindahnya kebijakan pusat seiring otonomi daerah membuat daerah harus memulai sesuatu yang baru, termasuk kebijakan mengenai perbukuan. Saya pernah mendapat surat penolakan bantuan pusat mengenai masalah perbukuan dari salah satu departemen bahwa kebijakan perbukuan itu ada di daerah sebab Proyek Inpres yang sentralistik sudah ditiadakan.Read More »Korrie Layun Rampan | Pengarang dan Honorarium