Kajian Sastra Sejarah Novel Jentera Lepas


Jentera Lepas adalah cerita tentang keluarga yang memeluk PKI (Partai Komunis Indonesia), atau yang ada hubungannya dengan orang PKI, pada sekitar terjadinya peristiwa G30S/PKI. Orang PKI-nya sendiri tidak dimunculkan. Ashadi terang menyalahkan G30S/PKI. Dia terang menyalahkan aktivis komunis seperti Karsono, suami Mbakyu Sinto, dan bapak Harjito.

Mungkin, novel yang dipopkan ini melewatkan banyak dimensi yang lebih dari peristiwa traumatis G30S/PKI. Namun, dalam skalanya sendiri Jentera Lepas telah berjasa menghidupkan refleksi tentang tragedi nasional tersebut dalam karya fiksi Indonesia. Satu hal mencuat darinya: hidup manusia, betapapun porak-poranda, masih juga tetap berharga.

Geger 65 tidak hanya menjadi topik yang menarik dikaji oleh kalangan sejarawan saja. Namun, belakangan ini mulai banyak sastrawan yang tertarik untuk menuliskan tragedi ini dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya, melalui novel berjudul “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, “Pulang” karya Leila S. Chidori, dan sebagainya. Bila dicermati lebih jauh novel-novel ini merupakan karya kontemporer yang muncul setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada 1998. Jauh sebelum itu, pada Desember 1979, Ashadi Siregar menerbitkan sebuah novel berjudul “Jentera Lepas.” Ashadi merupakan seorang dosen UGM (kini sudah pensiun) dan pakar ilmu komunikasi, ia dikenal seagai novelis pop. 

Novel populer seringkali dipandang sebelah mata, baik oleh pembaca awam hingga pengulas dan penelaah sastra. Novel populer mendapatkan konotasi yang negatif karena hanya didasarkan pada kepentingan komersial saja. Selain itu, penggunaan gaya bahasa yang sederhana dianggap bertentangan dengan nilai estetika. Namun novel populer tetap penting untuk dikaji, sebab harus dibedakan mana gaya bahasa yang santai dan kosong, yang pasif, konsumtif dan yang santai, aktif, serta kreatif. Oleh karena itu, dengan menghilangkan konotasi negatif pada novel popluer, novel ini dapat dinilai dengan lebih wajar.

Namun, “Jentera Lepas” merupakan pembeda dari novel-novel ashadi yang terbit terlebih dahulu seperti, “Cintaku di Kampus Biru”, “Kugapai Cintamu”, hingga “Terminal Cinta Terakhir”. Novel ini cenderung kuat aspek politiknya, sehingga tidak begitu laris jika dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya. Bahkan, perlu waktu enam bulan bagi penerbit untuk kembali mencetak novel ini.

Jalan cerita novel ini tidak jauh berbeda dengan pemamaparan di atas. Novel ini menggunakan latar waktu antara 1964 – 1970, sedangkan latar tempat yang dominan adalah Yogyakarta. Tokoh utama dari novel ini adalah Budiman Simarito, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus koresponden dari sebuah surat kabar dan Mbakyu Sinto, seorang ibu rumah tangga, sekaligus ibu kos dari Budiman. Alur cerita yang ini maju – mundur, yang dapat dibagi menjadi 3 bagian utama, sebelum, saat, dan sesudah geger 65.

Tahun 1964 digambarkan sebagai tahun yang penuh dengan hiruk-pikuk politik yang dinamis. Bahkan kampus tempat Budiman menimba ilmu tidak luput dari unsur-unsur politik. Bahkan diceritakan bahwa Budiman tidak naik tingkat karena perbedaan politik yang dianutnya dengan kampus. Bahkan Budiman memiliki bersimpati terhadap Manifes Kebudayaan yang tentu saja bertentangan dengan arus politik tahun itu.

Di sisi lain, ditahun yang sama, Mbakyu Sinto adalah seorang ibu rumah tangga. Namun, kehidupan rumah tangga dengan suaminya (Mas Karsono) tidak begitu harmonis. Ia tidak memahami kondisi politik nasional yang berkembang saat itu, mulai dari Konfrontasi dengan Malaysia hingga Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta. Namun, Mas Karsono digambarkan sebaliknya, walaupun penggambarannya tidak dominan. Ia digambarkan sebagai seorang yang aktif dalam dunia organisasi dan perpolitikan yang cenderung kiri. Di sisi lain, relasi Mbakyu Sinto dengan Budiman bertambah intim karena Mas Karsono yang jarang pulang ke rumah. Hal ini kemudian membuat Mabkyu Sinto mengadung anak dari Budiman.

Di sisi lain, arus politik berubah seiring dengan meletusnya G30S dan hal ini mempengaruhi jalan hidup dari kedua tokoh utama. Pada 1966, Budiman bersama-sama dengan temannya aktif dalam sebuah gerakan untuk mengganyang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang saat itu dituduh sebagai dalang dibalik G30S. Budiman aktif menulis berbagai berita untuk melawan narasi yang bertentangan dengan keterangan keyakinan banyak orang waktu itu. Selain itu, ia sempat berada di Jakarta, membuat poster-poster yang mendiskreditkan Presiden Soekarno dan menulis pamflet-pamflet ajakan untuk berdemonstrasi. Setelah itu, Budiman dituliskan lebih aktif sebagai seorang wartawan daripada statusnya sebagai mahasiswa.

Di samping itu, kondisi Mbakyu Sinto diceritakan memburuk dan sampai pada titik nadir. Ia harus wajib lapor ke kodim untuk dimintai informasi mengenai aktifitas politik Mas Karsono. Pada saat itu, ia bertemu dengan Mayor Sanusi dan hubungan mereka menjadi lebih intim, lebih dari sekedar pemriksa dan terpidana. Hingga hubungan gelap mereka diketahui oleh istri dari Mayor Sanusi. Hal ini membuat Mbakyu Sinto shock dan mengalami keguguran. Ia kemudian pergi meninggalkan rumah orang tuanya di Solo dan pindah ke rumah mertuanya di daerah Jawa Timur. Ia kemudian bekerja di sebuah warung milik mertuanya yang terletak di hutan jati yang sepi dan terkucil.

Di sisi lain, pemilihan novel ini sebagai kajian didasarkan oleh beberapa hal, diantarnya latar belakang penulis serta kemiripannya dengan tokoh utama dalam novel ini dan waktu penerbitannya yang pertama. Pertama, terdapat banyak kemiripan antara Ashadi Siregar dengan Budiman Simarito, hal ini dapat ditunjukkan dengan latar cerita yang diambil. Ashadi mendaftar di UGM pada pertengahan 1964 dan berhasil lulus pada 1969/1970. Di sisi lain latar cerita novel ini dimulai pada 1964 dan berahir pada 1970. Kedua, Budiman digambarkan lahir di Pematangsiantar, ia merupakan anak seorang pejabat tinggi di Medan. Di sisi lain, Ashadi juga lahir di Pemantangsiantar dan merupakan anak seorang pamong praja yang menjabat sebagai bupati yang diperbantukan di kantor gubernur Sumatra Utara di Medan yang menjabat pada tahun 1960-an. Ketiga, tokoh Budiman digambarkan sebagai seorang yang wartawan yang kritis terhadap korupsi dan peka terhadap kemiskinan serta ketidakadilan. Hal ini nampaknya juga mirip dengan kisah Ashadi kecil. Oleh karena tidak dapat berbahasa Batak, ia dikucilkan oleh teman-teman dan gurunya. Ia merasa mayoritas menindas minoritas. Oleh karena itu, trauma masa kecil menumbuhkan bibit sikap kritisnya terhadap kekuasaan dan ketidakadilan.  

Setelah itu, waktu penerbitan novel ini juga menarik. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Cypress pada 1979. Waktu penerbitan novel ini seiring dengan pembebasan-pembebasan terakhir terdahap tahanan politik (tapol) sebagai akibat dari geger 65. Pembebasan tapol sebenarnya sudah dimulai sejak 1972 terhadap tapol golongan C sebanyak 540.000 orang. Selanjutnya, pada 1976 sebanyak 2.800 tapol kembali dilepaskan. Angka ini terus meningkat hingga puncaknya 1979 yang merupakan tahun terakhir pelepasan tapol secara besar-besaran. Di sisi lain, penerbitan novel ini yang beriringan dengan pembebasan tapol menunjukkan bahwa mulai timbul kepedulian penulis terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang menimpa tapol-tapol ini. Namun, belum timbul kekritisan terhadap historiografi yang berkembang saat itu terkait geger 65, tetapi lebih pada nasib buruk dan ketidakadilan yang diterima anggota dan simpatisan PKI.

Sebelum Geger 65

… Sudah lima hari Mas Karsono ke Semarang. Katanya latihan militer. Untuk menghadapi Malaysia…” (Ashadi, 1994: 78).

“... Maruti membayangkan teman-temanya di universitas. Mahasiswa-mahasiwa yang latihan militer. Mahasiswa-mahasiswa yang lebih suka bahkan punya kebanggaan berpakaian tempur tentara daripada membaca buku…” (Ashadi, 1994: 93).

… Tapi grup drama saudara itu dikenal sebagai pendukung manikebu! Saudara ‘kan tahu, Manifes Kebudayaan itu sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno, adalah kontrarevlusi!…” (Ashadi, 1994: 20).

… Kalau saudara mau lancar dalam studi, saudara harus menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip yang ada di universitas ini. Universitas inilah pionir dalam mendukung garis besar haluan negara. Karena itu, jangan ikut-ikut gerakan kebudayaan yang kontrarevolusi. Kalau mau aktif dalam bidang kesenian, sudah ada wadah tersedia. Dewan Mahasiswa akan menampung kreativitas saudara. …” (Ashadi, 1994: 20).

… Kemarin tawur lagi,” kata Pak Parmanto seraya memindahkan bidak. (Tawur: berkelahi massal, bahasa Jawa)…” dan “…Maksudnya ikut pawai ‘kan untuk menunjukkan solidaritas-revolusi. Eh, kok malah berkelahi. Malah gontok-gontokan,” lanjut Pak Parmanto. “Apa sama apa, Pak?” tanya Budiman tetap dengan nada tak acuh. “Anu. CGMI sama GMNI. Aneh, sama-sama teriak hidup Bung Karno, kok bisa-bisanya tawur. Wah, rame…!” (Ashadi, 1994: 44).

Kutipan-kutipan di atas diambil dari “Jentera Lepas: Sebuah Novel” yang diterbitkan oleh Bentang Budaya pada 1994. Cukup banyak peristiwa yang coba diceritakan kembali oleh Ashadi pada 1964. Pertama, mengenai dukungan UGM terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, terutama dalam menghadapi konflik dengan negara asing. Peran UGM yang paling kentara ketika Presiden Soekarno menyerukan Trikora untuk menggabungkan Irian Barat dengan Republik Indonesia. Baik mahasiswa maupun dosen UGM aktif mengikuti latihan yang berhubungan dengan pengiriman sukarelawan ke Irian Barat. Bahkan salah satu relawan dari UGM gugur ketika mengikuti operasi Trikora.

Kedua, pada akhir Agustus 1963, sebuah pernyataan sikap ditandatangani oleh 16 penulis, 3 pelukis, dan 1 komponis. Belakangan pernyataan sikap tersebut mendapatkan masalah, bahkan para pendukungnya dicap sebagai orang-orang yang kontrarevolusioner. Hingga akhirnya pernyataan sikap ini dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Akibatnya, orang-orang mendukung pernyataan sikap tersebut mendapatkan berbagai masalah. Misalnya, tidak dapat menerbitkan tulisan mereka ke penerbit manapun, hingga dicapat dari jabatannya di kampus seperti yang dialami oleh H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito.

Di samping itu, kisah yang dialami oleh Budiman hampir serupa dengan pengalaman pribadi Sapardi Djoko Damono sewaktu masih berkuliah di Fakultas Sastra UGM. Perlu diketahui bahwa Sapardi ikut menandatangani Manifes Kebudayaan. Saat tengah menyutradarai sebuah pementasan drama, Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Akibatnya, acara pementasan drama menjadi kacau balau, sebab para pemain drama yang merupakan mahasiswa junior takut karena Sapardi merupakan pendukung organisasi terlarang.

Ketiga, pada 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa Indonesia akan kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS RI. Setelah itu periode Demokrasi Terpimpin dimulai. Keputusan ini sangat besar artinya, hampir seluruh instansi merasakan dampaknya, termasuk institusi pendidikan seperti UGM. Misalnya, sistem studi yang berubah menjadi studi terpimpin, sebelumnya sistem studi bebas tapi hasilnya tidak memuaskan. Setelah itu, pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno berpidato dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang belakangan menjadi dasar dari GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dan dikenal sebagai Manipol (Manifestasi Politik). Pada 1960 UGM memulai memberikan pengajaran terkait dengan Manipol, USDEK, dan Pancasila kepada mahasiswa. Diharapkan mahasiswa dapat meresapkan nilai-nilai tersebut dalam sanubarinya.

Keempat, konflik organisasi mahasiswa tidak dapat dielakkan di Yogyakarta. Sebab, organisasi mahasiswa seperti CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan sebagainya berafiliasi dengan partai politik tertentu. Hubungan antar organisasi kemahasiswaan ini terus memanas menjelang 1965. Di sisi lain, saat berkuliah di UGM, Ashadi mengaku berafiliasi dengan GMNI. Namun, saat wawancara tahun 1981, ia berkata bahwa sama sekali tidak aktif di GMNI. 

Saat Geger 65

Bagian ini akan menguraikan fakta-fakta sosial yang terjadi antara Oktober 1965 dan dibatasi hingga Maret 1966. Pembatasan dimulai saat penculikan enam jendral dan satu perwira terjadi dan diakhiri dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret.

“…Dan Budiman terpana. Serombongan lelaki, tegak menatapnya. O, tatapan itu, tak bisa diartikan maknanya. Apakah mereka menertawakan mahasiswa-mahasiswa ini? Bukankah mahasiswa semacam ini yang menumpas mereka tempo hari? Sekarang berada di bawah atap yang sama, beraada di balik tembok yang sama…” (Ashadi, 1994: 128).

“…Handoko mengelus-elus pistol di pinggangnya. Sesekali dia tetap mengintai keluar…” (Ashadi, 1994: 147).

“…Dan ketika dia ke kampung itu dengan seorang temannya, dia merasa gaya kemiliter-militeran itu memang mengasyikkan. Mereka memakai jaket loreng, dan di pinggang temannya terselip pistol…” (Ashadi, 1994: 120).

“…Tahun enam enam yang lalu; mereka galang-gulung bersama membikin poster-poster. Mendrop pamflet-pamflet ke sekolah-sekolah untuk mengajak para pelajar tak peduli masih bercelana pendek, untuk ikut demonstrasi. Mencoreti tembok bersih dengan tulisan-tulisan menyerang Presiden Soekarno. Dan setelah selesai, boss itu meningkat kedudukannya di surat kabar itu, sedang Budiman kembali ke Yogya, meneruskan kuliah sembari menjadi koresponden…” (Ashadi, 1994: 188).

“…Hampir empat bulan dia tak pernah menjenguk rumah indekosnya, namun dia tahu teman-temannya sering melakukan pencidukan di kampung itu. Pencidukan maksudnya menangkap anggota PKI atau-pun anak organisasinya. Budiman tak pernah mau ikut dalam kegiatan semcam itu. Untuk bisa melakukan pekerjaan itu harus punya sikap kemiliter-militeran. Sedang pekerjaan pertama yang dilakukan Budiman dalam memerangi PKI itu adalah membuat pamflet mengimbangi yang dibuat oleh pendukung Dewan Revolusi. Dan kemudian dia membuat berita-berita yang dirilis ke surat-surat kabar yang berkampanye menumpas PKI…” (Ashadi, 1994: 119 – 120).

Peran mahasiswa dan militer dalam geger 65 sebetulnya tidak dapat dipisahkan begitu saja. Baik dalam usaha-usaha menekan Presiden Soekarno maupun menangkap atau mengeksekusi anggota, simpatisan, dan tertuduh PKI. Mahasiswa UGM tidak luput dari hal ini, bahkan salah seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum sempat membawa kampak panjang setiap ia pergi, sehingga dijuluki Burhan Kampak. Ia aktif menangkap serta mengeksekusi tertuduh PKI, baik dengan kampak atau pistol. Selain itu, salah satu dosen Fakultas Sastra UGM juga terlibat dalam proses introgasi para tertuduh PKI. Nama dosen tersebut adalah Lukman yang merupakan pengajar bahasa Inggris. Ia melakukan aksinya tersebut di sebuah gedung bekas perpustakaan yang bernama Jefferson. Bahkan ada sejumlah dosen yang diperbantukan kepada Taperda (Tim Pemeriksa Daerah) untuk melakukan proses ini.

Di sisi lain, pada kutipan ketiga, disebutkan bahwa teman Budiman membawa pistol dan berjaket loreng ketika melakukan operasi penangkapan di sebuah kampung. Kerusuhan mulai pecah pada akhir Oktober 1965 di Jawa Tengah, sehari setelah RPKAD (Resimen Komando Angkatan Darat) tiba di semarang. Oleh karena kerusuhan itu, Kolonel Sarwo Edhie yang berperan sebagai pemimpin RPKAD mengusulkan ke Jakarta untuk melatih sipil. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kekuatan PKI dan organisasinya. Jakarta menyetujuinya, dan dimulailah latihan-latihan terhadap orang-orang sipil. Bahkan, kampus menjadi ajang latihan semacam ini, tepatnya di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Di sisi lain, tidak semua mahasiswa melakukan operasi pembersihan secara langsung. Namun, terdapat mahasiswa yang melakukan gerakan-gerakan tanpa menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik seperti Burhan. Mereka biasanya terfokus pada gerakan-gerakan politik untuk melengserkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan. Sedikit dari mahasiswa yang aktif menulis publikasi dan terdokumtasikan dalam “golongan” ini adalah Soe Hok Gie. Gerakan ini mulai ramai pada awal 1966, mahasiswa UI melakukan berbagai aksi vandalisme saat demontrasi sedang berlangsung. Bermodalkan kertas satu rim, seember kanji, dan segengam spidol, mahasiswa ini menyuarakan pendapatnya. Mereka menempeli tembok hingga mobil-mobil dengan aneka macam tulisan “Bubarkan PKI”, “Jual emas monas buat bayar gaji pegawai”, “stop impor istri.”

Selain itu, pada pertengahan Januar 1966, aksi-aksi demontrasi dilakukan pada malam hari. Namun, gerakan ini berbeda dari demontrasi yang dilakukan pada siang hari. Soe Hok Gie pencetus ide ini, ia bersama-sama dengan mahasiswa yang sedang berkumpul di Laskar Arief Rahman Hakim mendatangi Stasiun Gambir. Mereka mencari kereta yang menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur, tujuannya untuk menyebarkan informas terkait gerakan yang terjadi di Jakarta. Para mahasiswa ini menempelkan pamflet dan poster yang berisi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) di gerbong-gerbong kereta.

Sesudah Geger 65

  Pada bagian ini, fakta mental mulai dituliskan oleh Ashadi, terutama terkait stigma yang diadapatkan oleh keluarga anggota dan simpatisn PKI setelah terjadi penangkapan dan pembunuhan besar-besaran. Selain itu, diceritakan pula nasib dan kehidupan tapol yang buruk saat mereka dipenjarakan, terutama di Penjara Wirogunan. Di sisi lain, diceritakan pula kekecewaan Budiman sesudah ia membantu Orde Baru menggeser Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan. Kekecewaan terjadi karena kasus korupsi yang masih merjalela dan kebebasan pers yang mulai dibatasi.

“…’Apa karena kita keluarga PKI, kita harus menerima keadaan yang begini terus?’ tambah pemuda itu. Mbakyu Sinto terpaku. Dari hutan jati angin bertiup. Sebelum tiba di warung itu suara menggeleser di daun-daun. ‘Apa karena kita keluarga PKI, kita akan menunggui warung semacam ini untuk selamanya?…” (Ashadi, 1994: 182).

“…Saya khawatir, orang-orang akan menganggap kita keluarga PKI ini, kalau lelaki hanya jadi pelayan atau buruh kasar. Yang perempuan, kalau tak jadi pelacur, ya cuma merusak rumah tangga orang baik-baik…” (Ashadi, 1994: 186).

“…Apa itu lonte? Pertanyaan ini tak pernah mendapatkan jawaban selamanya. Tapi berapa banyak ibu-ibu yang anak-anaknya diciduk, kemudian disebut begitu?…” (Ashadi, 1994: 217).

“…Bayam-bayam ini mereka yang menanam,” kata Garuhum. Budiman mengamati serumpun semak bayam yang subur. “Makanan tahanan untuk PKI di sini, parah,” lanjut Garuhum. Dia seorang mahasiswa kedokteran. Karena itu segi-segi kesehatan yang menjadi perhatiannya utama…” (Ashadi, 1994: 128).

“…Pemandangan di dalam penjara Wirogunan itu tak terlupakan. Sosok-sosok tubuh yang kering, wajah yang pias, dan mata yang kuyu. Inikah hasil yang dicapai dengan pamflet-pamflet yang lalu? Masih sangat segar rasanya bayangan itu. Budiman yang tak tidur menyiapkan tulisan-tulisan untuk surat kabar, teman-teman yang bergerak diam-diam bersama tentara, mengambil anggota-anggota PKI dari rumah masing-masing…” (Ashadi, 1994: …)

“…‘Yang ceking itu dulu dosen di Gadjah Mada,’ bisik Garuhum. ‘Yang itu dulu tentara…” (Ashadi, 1994: 128).

“… Anu, soal berita yang Mas Budi tulis itu lho.” “Berita yang mana ya?” “Itu lho, soal demonstrasi anak-anak mahasiswa” “Ada yang perlu dibantah?” “Bukan begitu, bukan begitu,” kata Pak Sarjanto cepat. “Lha lantas?” “Adanya berita-berita tentang demonstrasi di kota ini rasanya kurang pantas.” “Lha, lantas?” “Adanya berita-berita tentang demonstrasi di kota ini rasanya agak kurang pantas.” “Maksud Bapak?” “Kan jadi nggak enak tokh, seolah-olah kota kita ini banyak korupsinya, daardoor menunjukkan kita punya borok sendiri…” (Ashadi, 1994: 62).

“…Dia merasa ikut dalam penegakan kekuasaan itu, walaupun dia sadar bahwa sumbangannya tidak lebih dari kerikil kecil selama saat-saat permulaan Orde Baru. Karena itu dia sangat setuju pada gerakan antikorupsi yang dilaksanakan oleh mahasiswa. Dia tahu bahwa pemerintah Orde Baru ini memerlukan kontrol yang ketat, karena ingat pemerintahan Orde Lama menjadi salah arah akibat membunuh kritik…” (Ashadi, 1994: 123).

Pada bagian akhir, Ashadi mulai kembali terbuka tentang adanya stigma terhadap seseorang yang keluarganya atau kerabatnya dituduh PKI. Namun, Ashadi sangat berhati-hati dalam menggunakan stigma ini, dan hanya terselip saat interaksi antar tokoh sedang berlangsung. Secara khusus, stigma ini dilekatkan pada janda yang suaminya “diamankan” karena dituduh terlibat pemberontakan. Pertama, stigma yang dilekatkan pada “janda PKI” ini memiliki implikasi yang besar. Janda harus menanggung beban ganda, sebagai janda dan sebagai janda dari suami yang dituduh terlibat pemberontakan. 

Wanita yang menjadi janda baik karena cerai mati atau cerai hidup akan mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat. Setelah pasangannya (pria) tidak ada dalam hidupnya, ia dianggap “tersedia secara seksual.” Sebab, pasangannya yang seharusnya mengontrol kebutuham seksual wanita tersebut telah tiada, sehingga dia (wanita) terus mencari sumber kepuasaan seksual dari pria lain. Selanjutnya, mengenai kekerasan seksual yang menimpa para wanita, khususnya “janda PKI” ini bila diamati lebih jeli terdapat suatu relasi yang timpang. Mereka, dalam banyak kasus selalu mengalami tindakan hingga kekerasan seksual oleh orang-orang yang merasa dirinya memiliki kuasa atas perempuan tersebut.

Kedua, kondisi Penjara Wirogunan yang digambarkan oleh Ashadi berbading terbalik dengan kesaksian Mia Bustam yang pernah meringkuk di sel tersebut sekitar April 1966. Menurut Mia Bustam, kondisi di Wirogunan sedikit lebih baik daripada kondisi penjara di Benteng Vredeburg, kondisi makanan di Vredeburg dan Wirogunan sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya porsinya yang berbeda. Namun, kondisi di Vredeburg memburuk, terutama di kamp khusus pria karena porsi makan yang sedikit. Akibatnya banyak orang meninggal karena kelaparan. Menurut Mia, hal itu disebabkan karena banyak orang-orang yang ditangkap berprofesi sebagai petani, sehingga tidak terbiasa makan dengan porsi kecil. Selain itu, banyak tahanan yang memiliki penyakit bawaan sehingga sering kambuh karena gizi yang tak terpenuhi, serta penyakit lain seperti diare dan disentri.

Di sisi lain, diceritakan mengenai seorang dosen UGM yang menjadi tapol di Wirogunan. UGM pada 1965 terkenal dengan kampus “merah”, sebelumnya pada 1961 UGM menyatakan dirinya sebagai Universitas Sosialis Indonesia karena dukungannya terhadap doktrin politik Presiden Soekarno. Namun, semua ini berubah saat G30S terjadi, mereka yang dituduh terlibat dalam gerakan ini menjadi tidak jelas nasibya di UGM. Pada awal Januari 1966, diberitakan oleh Antara, bahwa UGM “membersihkan” 3006 mahasiswa, dan 115 dosen & karyawan. Setelah Rektor UGM Herman Johannes pensiun dan digantikan oleh M. Nazir Alwi dibentuklah Tim Khusus Investigasi Mahasiswa dan Tim Khusus Investigasi Khusus Karyawan. Pada Desember 1966, kedua tim ini menyatakan bahwa 2034 mahasiswa diperbolehkan kembali belajar di UGM, sisanya tidak boleh kembali ke kampus.

Ketiga, demontrasi-demontrasi mahasiswa yang diceritakan Ashadi tidak jauh berbeda dengan aktifitas politiknya di tahun yang sama dengan cerita tersebut. Pada 1970, masyarakat mulai bergerak untuk menuntut kecepatan dan ketegasan pemerintah Orde Baru dalam memberantas korupsi. Di Yogyakarta, pada 25 Juli 1970, Generasi Muda Indonesia yang terdiri atas berbagai golongan menyerukan sebuah peryataan sikap yang diberi nama “Manifes Anti Korupsi. Manifes ini ditandatangani oleh, Imam Yudotomo, Umbu Landu Paranggai, Ashadi Siregar, M. Saleh Mboudjo, dan lain-lain.

Pada 27 Juli 1970, Generasi Muda Indonesia mengadakan sebuah pertemuan dengan pers di Balai Wartawan di Jalan KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Generasi Muda Indonesia diwakili oleh Imam Yudotomo, M. Saleh Mboudjo, Zulfikri Lubis, dan Ashadi Siregar. Mereka menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan menemui semua rektor universitas dan perguruan tinggi di Yogyakarta. Tujuannya supaya rektor ini angkat bicara terkait dengan korupsi, sebab masalah korupsi adalah masalah untuk seluruh rakyat. Sehingga univeritas atau perguruan tinggi harus mengambil peranan yang aktif dan mengelurakan pendapatnya terkait masalah korupsi.

Sejarah Alternatif di Tengah Hegemoni Orde Baru

Pada dekade 1970-an, tepatnya pada 1975, terbit sebuah buku yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia. Buku ini ditulis oleh beberapa sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Buku ini diterbitkan dalam enam jilid yang terbagai berdasarkan kronologi sejarah Indonesia. Jilid satu membahas zaman prasejarah di Indonesia, hingga jilid enam membahas zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia. Jilid enam buku ini, pada subab D membahas periode Demokrasi Terpimpin, di dalamnya terdapat bagian “Gerakan 30 September (G.30.S/PKI).”

Narasi yang disampaikan pada bagian itu menunjukkan adanya upaya PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia pada 1966. Hal ini berdasrkan temuan dokumen tahun 1964 yang menyatakan bahwa keadaan tahun 1966 sudah matang dan situasi akan menguntungkan untuk beralih dari strategi demokratis-parlementer ke strategi kekerasan. Oleh karena, Presiden Soekarno diprediksi akan sakit keras, maka Aidit akan mempercepat peralihan penggunaan strategi tersebut dengan  menculik pucuk pimpinan angkatan darat. Di samping itu, untuk melancarkan aksinya, Aidit menunjuk Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Khusus untuk memimpin Gerakan 30 September.

Selain melalui buku, pemahaman bahwa PKI adalah dalang utama dari G30S diwariskan melalui pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta. Saat posisi Soeharto masih Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Darat, ia menyetujui pelestarian sumur tempat pembuangan jenazah para Pahlawan Revolusi. Sebab, tidak lama sesudah usaha kudeta terjadi, tersiar kabar bahwa ribuan sumur mirip di Lubang Buaya sudah dipersiapkan orang-orang komunis untuk membuang mereka yang tidak sejalan. Oleh karena dasar keyakinan masyarakat yang salah inilah monumen ini dibangun, dan sebagai penanda seandainya pendukung komunis tidak dihentikan, maka nasib buruk akan menimpa orang-orang anti-komunis. Seperti nasib buruk yang menimpa para Pahlawan Revolusi.

Di sisi lain, novel ini sudah mencoba untuk tidak mengikuti historiografi yang digunakan oleh penguasa saat itu, Orde Baru. Namun, lingkupnya baru sebatas mempertanyakan status “ke-PKI-an” individu dan belum menjamah historiografi. Hal ini dpat dicermati sehabis Mayor Sanusi menanyai Mbakyu Sinto, “…Bayangan perempuan yang barusan diperiksanya masih memeta di benaknya. Wajah yang ketakutan. Tapi tidak menghilangkan raut muka yang lonjong, dengan hidung bangir dan dagu yang tirus. PKI-kah perempuan semacam ini? Jika suaminya PKI, apakah dia juga?…”. Pada tahap ini, tokoh yang mempertanyakan status “ke-PKI-an” adalah seorang tentara. Hal ini menjadi suatu hal yang paradoks, sebab tentara seringkali merupakan garda terdepan dalam proses penangkapan, penahanan, hingga interogasi. Penggalan cerita yang dituliskan oleh Ashadi, seakan menjadi awal mula dari kesadaran akan adanya kejanggalan terkait dengan penangkapan orang-orang yang dituduh terlibat dalam proses kudeta.

Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah penggunaan sudut pandang orang yang kalah untuk melihat sebuah peristiwa sejarah. Salah satu yang menyita perhatian adalah Madiun Affair 1948. Biasanya, Peristiwa Madiun ini direpresentasikan sebagai pemberontakan PKI terhadap pemerintah. Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI bahkan menyayangkan bahwa ada oknum-oknum yang terlibat Peristiwa Madiun yang belum diadili, karena terjadinya Agresi Militer Belanda II. Oleh karena serbuan militer Belanda, banyak oknum-oknum tersebut melarikan diri. Adanya buku sejarah nasional yang terbit pada 1975 tidak menyurutkan Ashadi untuk menulis suatu alternatif peristiwa sejarah. Ashadi menceritakan pengalaman Mas Karsono sebagai orang yang kalah dalam peristiwa tersebut. Diceritakan bahwa bapaknya Mas Karsono meninggal dengan cara yang sadis setelah ditangkap oleh Divisi Siliwangi. Sebab, eksekusi yang dilakukan terhadap anggota pemberontak tidak banyak mendapatkan sorotan yang berarti. Soe Hok Gie menjelaskan bahwa kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh pemberontak dibalas dengan kekejaman juga oleh para penumpasnya dan menimbulkan luka-luka nasional yang berat. Di sisi lain, kekejaman yang dilakukan oleh penumpas pemberontak ini dilakukan oleh seorang tentara yang bernama Moestopo, ia banyak membunuh para pemberontak yang sudah ditahan. Mereka dibunuh dengan cara ditembak tengkuknya.

Kesimpulan

Ashadi Siregar selalu berupaya menyisipkan pesan-pesan tertentu dalam setiap karyanya. Bahkan jika diharuskan memilih antara novel yang baik atau pesan yang berguna, maka ia dengan senang akan memilih pesan yang berguna. Ashadi menjelaskan motivasi paling awal untuk menuliskan novel adalah menggambarkan kekejaman kekuasaan. Ia menilai kekejaman kekuasaan adalah masalah sosial di Indonesia. Ashadi menjelaskan bahwa individu bukan lawan sepadan untuk kekuasaan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kekuasaan dapat berbentuk apa saja, dosen, guru, orang tua, hingga kekayaan. Ia menambahkan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan untuk berbuat sewenang-wenang.

Di sisi lain, pesan yang ingin disampaikan Ashadi adalah fungsi dari sebuah novel. Menurut Ashadi, novel harus menjadi alat integrasi sosial. Hal ini dicoba Ashadi dengan menggunakan tokoh-tokoh dari etnis tertentu dengan kepribadiannya sendiri. Dengan demikian, dalam proses integrasi akan tumbuh suatu pengertian-pengertian antar etnis di Indonesia. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa cara ini lebih murah daripada membangun Taman Mini yang hanya mengumpulkan benda-benda dari berbagai etnis di Indonesia. Selain itu, ia menilai jika tidak semua rakyat Indonesia dapat menikmati Taman Pintar karena biaya ke Jakarta waktu itu tidaklah murah.

Ashadi Siregar juga mengaku bahwa memberikan pelajaran politik dalam novel-novelnya. Namun, Ashadi mengaku tidak berpegang pada konsepsi politik suatu pihak atau golongan. Oleh karena itu, ia tidak mengakui konsepsi politik pihak dan golongan manapun. Selain itu, ia menyatakan bahwa politiknya manusiawi dan kemanusiaannnya tidak humanisme universal ataupun humanisme kelas. Di sisi lain, novel yang memasukkan berbagai unsur politis ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan Ashadi pada awal 1970-an. Pada 1970 -1974 bersama dengan Daniel Dhakidae dan Parakitri, Ashadi sering berdemontrasi dan melakukan gerakan anti pemerintahan, anti Taman Mini, hingga puncaknya Malari 1974. Ia mengatakan bahwa, “Jelek-jelek gini begini saya mantan aktivis”. Bahkan Ashadi sempat mengasuh sebuah mingguan yang bernama “Sendi,” yang mulai terbit pada akhir 1971. Namun, mingguan tersebut hanya berumur singkat, dan hanya terbit sebanyak 13 kali.

Di samping itu, bila dicermati lebih lanjut Ashadi mulai aktif di bidang sastra sesudah perkaranya dengan mingguan yang diasuhnya, Sendi. Mingguan ini terkenal sangat kritis terhadap Orde Baru. Pada 1972, Sendi muncul dengan sebuah tulisan yang menggemparkan. Tulisan tersebut berjudul Mukaddimah yang isinya sebuah parodi dari pembukaan UUD 1945. Akibatnya, mingguan Sendi diberhentikan, dan Ashadi dipersidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Setelah itu, Ashadi mengajar seperti biasa, untuk melepaskan seluruh pemikirannya yang kritis ia menuliskan novel trilogi Cintaku di Kampus Biru. Selain itu, alasan serupa mengapa Ashadi menulis novel juga diungkapkan oleh mahasiswanya. Oleh karena pencekalan mingguan Sendi ia menjadi aktif menulis novel bahkan salah satu novelnya sempat difilmkan, dibintangi oleh Roy Marten.

Selanjutnya pengalaman masa kecil Ashadi yang dicap sombong dan sok pintar oleh kawan-kawannya karena tak mampu berbahasa Batak membuatnya dikucilkan dari pergaulan oleh kawan-kawannya. Pada saat memasuki usia dewasa ia menjadi pribadi yang kritis terhadap ketidakadilan, ia menyaksikan korupsi di awal kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itu, bersama-sama dengan orang-orang dari berbagai golongan ia menandatangai sebuah Manifes Anti Korupsi. Sikapnya yang kritis tidak berhenti sampai disitu, ia menerbitkan sebuah mingguan bersama dengan mahasiswa yang lain. Mingguan tersebut bernama Sendi, mingguan tersebut tidak bertahan lama hanya 13 edisi. Hal ini terjadi karena Sendi menerbitkan sebuah tulisan yang isinya merupakan parodi dari pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, mingguan ini dibredel oleh pemerintah dan Ashadi harus menerima hukuman. Menurut pendapat seorang sahabatnya dan mantan mahasiswanya, hal ini menyebabkan fokus Ashadi beralih ke dunia sastra dan turut mengkritik ketidakadilan.

Di samping itu, salah satu novelnya yang cukup kritis terhadap tulisan sejarah masa Orde Baru adalah Jentera Lepas: Sebuah Novel. Novel ini dengan berani mengangkat masalah keterlibatan UGM pada masa geger 65, mulai dari hubungan mahasiswa dengan militer hingga aksi-aksi mahasiswa yang dilakukan tanpa kekerasan. Keterlibatan UGM dalam geger 65 baru mendapatkan perhatian belakangan ini, bahwa ribuan mahasiswa harus diberhentikan sementara hingga diberhentikan permanen dan mengalami penahanan. Selain itu, keterlibatan mahasiswa dalam aksi-aksi penumpasan dengan kekerasan walaupun tidak dijelaskan secara gamblang oleh Ashadi, namun tetap disebutkan bahwa seorang mahasiswa dapat memiliki sebuah pistol.

Selain itu, Ashadi juga menjelaskan apa yang terjadi setelah geger 65, kondisi penjara Wirogunan yang buruk hingga orang-orang yang harus hidup dengan sebuah stigma “PKI” yang bertahan cukup lama dalam hidup mereka. Mengenai kondisi penjara Wirogunan sebenarnya berbanding terbalik dengan penjelasan Mia Bustam. Mia menjelaskan bahwa kondisi Wirogunan lebih baik dari penjara Vredeburg. Namun, Ashadi melihat kondisi tersebut dari sudut pandang orang bebas, tentu saja dia ia kesulitan membedakan kondisi antar penjara dengan jelas. Mengenai stigma, Ashadi tidak banyak menceritakannya, namun pesan yang ingin disampaikan cukup jelas. Bahwa banyak orang-orang yang berusaha untuk kembali hidup dalam masyarakat tetapi dipersulit dengan stigma yang dilekatkan pada mereka. Cara-cara untuk mempersulit mereka untuk kembali ke masyarakat dilakukan dengan banyak cara, mulai dari dipersulit mencari pekerjaan hingga tanda khusus dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Di samping itu, pengalaman Ashadi yang mencoba beralih dari dunia jurnalistik ke dunia tidak jauh berbeda dengan Seno Gumira Ajidarma. Seno dipecat dari majalah Jakarta Jakarta karena beritanya mengenai Pembantaian Santa Cruz 1991. Apa yang dialami oleh Ashadi dirumuskan oleh Seno pada sebuah tulisan yang terbit di Kompas pada 3 Januari 1993. Tulisan tersebut berjudul “Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran,” Seno menjelaskan bahwa ketika jurnalistik dibungkam, sastra harus bicara. Bila jurnalistik berbicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalistik terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri.

Referensi

 Bakri Siregar, “Kisah Budiman dan Mbakyu Sinto”, dalam Tempo, No. 14, Mei 1980, hlm. 33.

 Alfons Taryadi, “Berharga Meski Porak-Poranda”, dalam Kompas, 2 Maret 1980. Diakses melalui https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2011/07/alfonstaryadi-jenteralepas2.pdf pada 17 Desember 2021, pukul 13.39 WIB.

 Yant Mujiyanto dan Amir Faudy, Kitab Sejarah Sastra Indonesia: Prosa dan Puisi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hlm. 145.

 Bakri Siregar, “Telah Lahir Suatu Angkatan: Sebuah Tinjauan Sastera”, dalam Prisma, No. 2, 1980, hlm. 45-46. Bakri Siregar menjelaskan bahwa sifat dari novel populer adalah menolak otoritas total, penulis novel tersebut berpegang pada ukuran-ukuran demokratis dan pemerintahan yang rasional. Perwujudan dari perlawanan terhadap kekuasaan total dimulai dari rumah. Orang tua yang digambarkan sebagai pihak pertama dalam perlawanan tersebut karena sifatnya yang sewenang-wenang dan mengakibatkan penderitaan pada anak-anaknya. Oleh karena itu, basis masa dari novel populer adalah remaja, siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Bakri menggunakan contoh novel-novel karya Ashadi Siregar mulai dari Cintaku di Kampus Biru hingga Jentera Lepas.

David T. Hill, “Seks dan Politik: Pembahasan ‘Jentera Lepas”, dalam Horison: Majalah Sastra, No. 3-4, Maret – April 1982, hlm. 55.

 Soehadi Soekarno, “Ashadi Siregar, Dosen Teladan”, dalam Candra Gautama, Nanang Junaedi, Muhammad Taufiqurohman, dan Ana Nadhya Abrar, Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 56 – 57. Lebih jauh, Ashadi juga memiliki pergaulan yang sangat luas mulai dari pelukis, sastrawan, budayawan, dan dramawan. Bahkan ia juga akrab dengan aktivis politik, politisi hingga intelijen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila di dalam salah satu bagian novelnya ia berani menceritakan mahasiswa memiliki pistol untuk ikut menumpas tertuduh G30S. Sehingga, tidak menutup kemungkinan ia memiliki sumber-sumber sejarah yang menjelaskan peran aktif mahasiswa untuk ikut menumpas tertuduh G30S.

 Alex Supartono, Politik Pembebasan Tapol, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998), hlm. 29. (Golongan C merupakan mereka yang tidak terlibat langsung, biasanya anggota ormas yang berafiliasi dengan PKI). Pembebasan tapol ini kaitannya sangat erat dengan kondisi hubungan internasional Indonesia. Mulai meredupnya oil boom dan perlunya bantuan ekonomi dari Amerika Serikat membuat Indonesia terpaksa mengendurkan kebijakannya terhadap tapol. Sebab, Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter mengkampanyekan pengurangan bantuan kepada negara-negera yang melanggar HAM dalam skala besar.  

 Bambang Purwanto, Djoko Suryo, dan Soegijanto Padmo, Dari Revolusi Ke Reformasi: 50 Tahun Universtias Gadjah Mada, (Yogyakarta: Universitas Gadjah mada, 1999), hlm. 46.

 Goenawan Mohamad, “Peristiwa ‘Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an”, dalam Tempo: Refleksi, Mei 1988, hlm. 4. Pernyataan sikap itu dianggap bertentangan dengan arus politik waktu itu. Bahkan serangan-serangan terhadap pendukung Manifes Kebudayaan sudah terjadi sejak September 1963 hingga pelarangannyya pada awal Mei 1964. Serangan-serangan tersebut berupa pidato, tulisan, dan pernyataan sikap. Serangan-serangan yang sistematis tersebut dilancarkan oleh mereka yang memiliki relasi dengan PKI dan PNI (Partai Nasional Indonesia).

 Edisi Khusus Tempo: Lekra dan Geger 1965, 30 September – 6 Oktober 2013, hlm. 108 – 109. Alasan Sapardi mendukung Manifes Kebudayaan karena merasa tidak setuju bila kesenian dikaitkan dengan kepentingan politik. Dampak dukungan Sapardi terhadap Manifes Kebudayaan berbuntut panjang, bahkan ia sempat kesulitan mencari kerja setelah lulus dari Fakultas Sastra UGM.

 Sori Siregar dan Dody Mardanus, 50 Tahun UGM: Di Seputar Dinamika Politik Bangsa, (Jakarta: LP3S, 1999), hlm. 29 – 34. Bahkan universitas lain tertarik untuk mengikuti langkah UGM hingga mengadakan kerjasama terkait dengan pembelajaran Manipol, USDEK, dan Pancasila tersebut. Bahkan, pada 1962 indoktrinasi Manipol, USDEK, dan Pancasila dilakukan kepada pegawai tata usaha UGM, dosen Fakultas Kehutanan, Pertanian, Teknik, Sastra dan Budaya. Oleh karena itu, menjelang 1965 jargon-jargon semacam itu menjadi bahasa sehari-hari. Hampir semua kalangan intelektual kampus terseret arus revolusi.

 Julianto Ibrahim, “Goncangan pada Keselarasan Hidup di Kesultanan”, dalam Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan, Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II: Konflik Lokal, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 109 – 112. Pada 1964, Dema (Dewan Mahasiswa) UGM dikuasai oleh GMNI dengan 12.548 suara, disusul PMII dengan 6.395 suara, dan CGMI dengan 2.638 suara. Namun, konflik paling kentara terjadi antara CGMI dan HMI pada 1964, ketika CGMI tidak mengikutsertakan HMI dalam pemilihan Dema.

 David. T. Hill, op.cit., hlm. 56.

 Liputan Khusus Tempo: Pengakuan Algojo 1965, 1 – 7 Oktober 2012, hlm. 74. Burhan mendapatkan pistol sejak November 1965 ketika RPKAD sedang gencar melakukan pembersihan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia mendapatkan pelatihan penggunaan pistol di Kaliurang dan sering meminta peluru tambahan di Gedung Wanitatama yang merupakan markas Kostrad. Bahkan, tempat operasi pembersihan yang dilakukan Burhan tidak hanya terbatas di Yogyakarta, ia jug melakukan pembersihan di daerah Jawa Tengah juga.

 Mia Bustam, Dari Kamp ke Kamp: Cerita dari Plantungan, (Jakarta: Spasi & VHR Book, 2008), hlm. 94. Menurut Mia, dosen-dosen tersebut juga menggunakan seragam berwarna hijau, namun tidak memiliki tanda pangkat.

 Liputan Khusus Tempo: Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, 7 – 13 November 2011, hlm. 66. Bahkan seorang narasumber yang pernah mengikuti latihan tersebut mengaku pernah dilatih menggunakan pistol hingga AK-47. Tetapi, mereka tidak diberi seragam. Sebulan sesudah latihan di kampus, mereka akan dilepaskan ke desa-desa dengan membawa daftar orang-orang yang harus ditangkap.

 Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 132. Bahkan rumah pribadi Hartini (Istri Presiden Soekarno) tidak luput dari aksi vandalisme mahasiswa. Coret-coretan bernada kasar seperti, “Sarang Sifilis”, “Lonte Agung Istana”, dan “Lonte Gerwani Agung.” Hal ini tentu saja membuat Presiden Soekarno sangat berang.

 Tempo: Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi, 10 – 16 Oktober 2016. Tritura berisi tuntutan agar harga bahan pokok diturunkan, pembubaran PKI dan organisasinya, serta perombakan kabinet.

 Annie Pohlman, “Janda PKI: stigma and sexual violence against communist widows following the 1965–1966 massacres in Indonesia”, dalam Indonesia and Malay World, Vol. 44, No. 128, 2016, hlm. 2.

 Ibid., hlm. 4-6. Stigma negatif masyarakat terhadap janda ditambah dengan stigma yang diberikan Orde Baru terhadap perempuan-perempuan anggota, simpatisan atau tertuduh PKI dan perempuan yang tergabung dalam Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perempuan ini, dalam narasi-narasi surat kabar yang berafiliasi dengan Orde Baru digambarkan memiliki peran sentral dalam proses penyiksaan di Lubang Buaya. Mereka digambarkan sebagai anggota Gerwani yang membelai kemaluan para jendral sambil menunjukkan kemaluannya. Hal ini menunjukkan bahwa wanita-wanita yang berafiliasi dengan Gerwani dan PKI, tidak hanya “tersedia secara seksual” tetapi aktif mencari pria. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika umpatan-umpatan terhadap Gerwani seringkali diakhiri dengan kata “lonte” (pelacur).

 Ibid., hlm. 7 – 9. Orang-orang yang merasa memiliki kuasa atas perempuan ini biasanya mereka yang terlibat aktif menangkap maupun mengeksekusi tertuduh PKI dan organisasinya, seperti, tentara, polisi, hingga milisi sipil.

 Mia Bustam, op.cit., hlm. 79 – 80 & 107. Menu makan di Wirogunan adalah grontol (butir-butir jagung ukuran besar), nasi jagung, sayur kubis sapon (kubis busuk yang telah disapu oleh petugas pasar). Namun, dihari Senin dan Kamis ada ikan asin walau warnanya sudah berubah, Selasa dan Ju’mat diberikan separuh telur asin dan bubur kacang hijau encer.

 Abdul Wahid, “Counterrevolution in a Revolutionary Campus: How Did the ‘1965 Event’ Affect an Indonesian Public University?”, dalam Katharine McGregor, Jess Melvin, dan Annie Pohlman, The Indonesian Genocide of 1965 Causes, Dynamics and Legacies, (London: Palgrave Macmillan, 2018), hlm. 163 & 169 – 171. Bahkan UGM mendapatkan sebuah plakat dari RPKAD karena perannya dalam pembersihan terhadap komunisme pada 1965. Plakat tersebut berada di Museum UGM.

 Kedaulatan Rakjat, 27 Juli 1970. Isi dari manifes tersebut adalah, Pertama, menuntut generasi yang menguasai birokrasi untuk membersihkan diri dari korupsi sebelum keresahan jiwa disekap oleh kebencian. Kedua, meminta supaya teman-teman segenerasi untuk tidak larut dalam korupsi yang mencekam di masa kini. Ketiga, percaya bahwa dengan pemberantasan korupsi, maka pembangunan akan berhasil. Keempat, menolak warisan sebuah negeri yang telah dirusak oleh generasi sebelumnya.

 Kedaulatan Rakjat, 28 Juli 1970. Pada pertemuan ini, Imam Yudotomo menyangkal semua tuduhan terhadap Generasi Muda Indonesia. Tuduhan tersebut menyatakan bahwa kampanye menentang korupsi ini ditunggangi oleh kepentingan politik dari golongan tertentu dan terpengaruh unsur-unsur PKI. Menurut Imam, tuduhan-tuduhan semacam itu sering dilontarkan oleh penguasa, sebab posisi mereka takut digeser.

 Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespongoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 119 – 121. Pada bagian ini belum diceritakan secara detail mengenai kekerasan yang dilakukan di Lubang Buaya. “…para perwira yang masih hidup dianiaya dengan senjata tajam dan popor senapan untuk akhirnya dibrondong dengan tembakan…” Setelah itu, tidak diceritakan lebih lanjut mengenai proses penumpasan simpatisan PKI dan organisasinya. “…Dalam hari-hari berikutnya Jenderal Soeharto mengirimkan pasukan RPKAD ke Jawa Tengah dan juga disana kekuasaan G30S/PKI runtuh…”

 Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2008), hlm. 133-134.

 Laporan Khusus Tempo: Umi Sardjono dan Stigma Gerwani, 4 – 10 Oktober 2021, hlm. 64 – 65. Proses penangkapan besar-besaran tersebut seringkali dijalankan tanpa prosedur hukum yang berlaku. Jangankan prosedur hukum, bukti yang dituduhkanpun sangat minim bahkan terdengar mengada-ada. Misalnya, kasus seorang pemudi bernama Jamilah yang dituduh mencukil mata dan menikam alat vital seorang jenderal menggunakan pisau lipat. Sesudah itu, ia dituduh bergabung dengan Gerwani. Hal ini tidak dibenarkan oleh Umi Surdjono yang merupakan pemimpin Gerwani, ia mengaku tidak mengenal Jamilah. Belakangan diketahu bahwa Jamilah adalah seorang pekerja seks yang terus disiksa selama di penjara agar mengaku bersalah.

 Katharine E. McGregor, op.cit., hlm. 94 – 95.

 Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespongoro, dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 59.

 Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 264 – 265.

 Intisari: Ketika Surabaya Terbakar Angkara, November 2021, hlm. 100.

 Ashadi Siregar, “Untuk Siapa Saya Menulis (Melihat Novel sebagai Medium Komunikasi Sosial)”, dalam Budaya Jaya, No. 117, 1978, hlm. 99 dan 103.

 Ibid., hlm. 104.

 Bakri Siregar, op. cit., hlm. 47.

 Ichlasul Amar, Teuku Jacob, Ibrahim Alfian, dkk, Apa dan Siapa Sejumlah Alumni UGM Jilid II, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 507-508.

 Surabaya Post, 4 Juli 1995. Diakses melalui https://ashadisiregar.com/2010/07/04/dari-kolega/ pada 17 Desember 2021 pukul 11.12 WIB,  dan Ashadi Siregar, Orang-orang Malioboro, diakses melalui https://ashadisiregar.com/2016/05/ pada 17 Desember 2021 pukul 11.15 WIB.  Mingguan Sendi hanya berumur pendek karena dibredel oleh Orde Baru. Sendi dituduh menyebarkan kebencian pada pemerintah, dan penghinaan terhadap Presiden Soeharto. Hal ini terjadi karena sebuah tajuk rencana yang dimuat oleh Mingguan Sendi tentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia bahkan divonis hukuman percobaan satu tahun penjara.

 Daniel Dhakidae, “Keping-keping Kenangan Gerakan Mahasiswa Bersama Ashadi Siregar”, dalam Candra Gautama, Nanang Junaedi, Muhammad Taufiqurohman, dan Ana Nadhya Abrar, Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 154 – 160.

 Hasan Bahanan, “Misteri Editorial Mingguan Sendi”, dalam Ana Nadhya Abrar, Ani Gorrell, Bambang Sumarley, dkk, Ashadi Siregar Legenda Kampus Biru: Testimoni para Mahasiswa, (Yogyakarta: Keluarga Alumni Komunikasi UGM, 2010), hlm. 154.

 Seno Gumira Ajidarma, “Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran”, Kompas, 3 Januari 1993.

,