Jurnal Pekan Pembukaan Langit Gemintang M. Hartono

Saya menulis tulisan ini ketika insomnia mengoyak hancur jam tidur yang telah lama saya pertahankan. Hidung mampet bikin napas saya kempas-kempis. Lalu pikiran bepergian secara acak menjamah banyak hal, baik yang saya resahkan maupun yang saya senangi.

Sekarang pukul 3.14 pagi tepat saya sampai pada paragraf ini. Tak ada kerjaan selain glundang-glundung di kasur dan memeluk hangat guling yang telah kempes kapasnya. Lantas datanglah saya pada ide untuk menulis jurnal tentang pengalaman akhir pekan Saya di Radio Buku (tentu agar kerjaan ini lekas selesai juga).

Saya menjadi sukarelawan di komunitas literasi tersebut pada dasarnya merupakan berkah. Semenjak berkuliah daring, saya kehilangan ruang mengembangkan minat di kampus. Bertemu teman sukar, apalagi waktu covid masih terasa seram-seramnya. Saya kesepian. Sekali bertemu teman, seperti waktu KKN, tak ada yang seminat dengan saya. 

Minat yang purna dari pergaulan itu tentu saja adalah diskusi perihal isu sosial dan dunia kepenulisan. Syahdan, terlemparnya saya sebagai anak volunteer di Radio Buku membunuh kepurnaan itu. Saya merasa kembali hidup.

Kelas esai adalah favorit saya. Tentu, karena esai telah menjadi pacar yang saya cintai sejak masuk persma LPPM Sintesa. Cinta saya pada sang pacar bukan dibenihi Eros Sang Dewi Cinta, melainkan oleh Apollo Sang Dewa Pengetahuan. Karenanya, kelas-kelas esai saya datangi dengan penuh spirit. Saya kagum pada diri saya sendiri. Tepat semester lalu saya suka tidur waktu kelas daring. Kamera mati dan mata memejam. Namun saya sekarang rela motoran  sampai Sewon untuk mengikuti kelas.

Tiga kelas saya lalui secara berturut-turut sejak 3 September 2022. Kelas pertama tentu adalah perkenalan. Semacam  warming up. Sesi warming up ini saya mulai dengan kebablasan ke rumah Radio Buku di Sewon yang secara PD saya pikir sebagai tempat pertemuan. Memang tolol mahasiswa ini. Tepat di depan pagar hitam yang mengunci sang gedung, saya melihat alamat yang benar di email. Lantas saya resmi ngalang dan pergi menuju Iniseum di Umbulharjo.

Saya datang terlambat, tapi acara belum dimulai. Saya sudah menebaknya. Peter Berger si sosiolog yang mahsyur dari Amerika Serikat menyebut budaya negara selatan sebagai slow culture. Lantas molor adalah lumrah dan itu tak apa.  Sungguh benar, saya mendapati acara belum dimulai walau saya sudah terlambat 30 menit lebih. 

Saya berkenalan dengan banyak kawan baru. Sebagian dari kampus saya sendiri, UGM. Saya senang dengan keberadaan mereka, terlebih saya adalah introvert sekaligus social butterfly.

Kelas pertama ini kurang lebih membahas garis besar program, kontrak belajar, permainan untuk menabur keakraban, dan cerita perihal asal-usul Radio Buku. Kelas yang menyenangkan walau masih warming up. Terlebih, saya senang mendengar nilai voluntarism komunitas yang bisa disingkat menjadi “membantu dan dibantu”. Nilai tersebut membikin saya merenungkan kondisi teman-teman kampus yang sangat individualistis. Lantas di Radio Buku saya diingatkan oleh nilai yang lama membatu jadi fosil itu. 

Ya, nilai di atas sama seperti absurditas yang diusung Albert Camus. Walau tiap manusia menghadapi absurditas sendirian, mereka masih bisa menghadapinya bersama-sama. Memang absurditas menjadi unik dan sangat intim pada diri manusia per subjek. Namun, marwah kita sebagai spesies sosial menempatkan absurditas sebagai fenomena sosial yang intim secara kolektif. Kita memiliki pengalaman kolektif yang menjadi common ground masing-masing manusia. Dalam menghadapi absurditas kehidupan yang sama sekaligus berbeda, kita bisa saling membantu. Konsep solidaritas ala Camus itu dapat dibaca pada novel La Peste (Sampar) yang mengangkat nama sang filsuf cum sastrawan itu untuk ramai dibicarakan lagi selama pandemi covid-19.  

Kelas kedua diadakan pada hari Sabtu dengan topik teknik kepenulisan esai. Bintang kita kali ini tak lain adalah Muhidin M. Dahlan atau yang biasa disapa Gus Muh. Gus Muh adalah seorang penulis yang bukunya, Inilah Esai, tak sadar sudah saya beli tahun lalu di Togamas. Bisa dibilang, semacam kecanduan yang menyenangkan walau kadang melelahkan sebab beberapa media memintanya menghias waktu dengan tulisan yang memperingati hari khusus.

  Tulisan Gus Muh adalah perihal menembus waktu: datang ke masa lalu untuk membawanya sebagai oleh-oleh ke masa kekinian.  Tentu, ini tak lepas dari sosoknya sebagai sejarawan, terutama lagi sebagai pakar September: sosok yang fokus meneliti perihal Gestapu dan peristiwa di sekitarnya.

Saya banyak mempelajari ajaran beliau tentang menulis esai. “Esai adalah seni berpikir”, kata Gus Muh. Premis utama tersebut yang membuka mata pengetahuan saya dalam mengotak-atik bahasa dalam menulis esai. Bagi saya, esai kini bukan semata soal argumen kuat dan referensi yang banyak, melainkan lebih bagaimana gagasan kita orisinil dan dapat tersampaikan dengan baik.

 Hari minggu yang senjanya terasa datang mendadak bagi saya diisi dengan menghadiri kelas menulis esai kedua. Kelas ini berfokus pada struktur kata esai terbaik sepanjang masa yang para peserta ajukan pada pertemuan sebelumnya. Esai pilihan saya berjudul Politik dan Bahasa Inggris karya George Orwell. Ternyata tak mudah mengidentifikasi jenis-jenis kata dalam esai, apalagi saya memakai esai berbahasa Inggris.

Tiap jenis kata ditandai dengan warna tertentu sehingga sesi ini terasa seperti sedang mewarnai esai. Ada warna merah, kuning, biru, hijau, dan abu-abu. Saya termasuk yang cepat  mengerjakan tugas ini dalam hal rasio panjang tulisan, tetapi banyak yang bolong. Tidak akurat. 

Pada sesi terakhir kami saling membagikan ide esai yang akan kami tulisan sebulan kedepan. Saya ingin membahas isu harga rumah yang kelewat mahal di Jogja dan keresahan mahasiswa kawan-kawan saya.


Posted

in

by