Jurnal Pekan Pembukaan Aloysius Gilang Andretti

Kamis, 1 September 2022

Tanggal ini merupakan permulaan dari seluruh rangkaian acara yang akan diselenggarakan oleh RB (Radio Buku) selama tiga bulan mendatang. Tanggal ini pula dimulai dengan kegiatan perkenalan antar peserta dan “pembimbing.” Acara berlokasi di Iniseum yang dimulai pada pukul 15.00-21.00. Pembukaan acara ini cukup meriah, dimulai dengan games “pilihan ganda”, peserta dibagi berdasarkan kelompok, saya tergabung dengan Mas Ivan, Mbak Catherine, dan Mas Guffron. Kami menamai tim kami “Lodjie99.” Game berlangsung seru dan meriah walaupun kelompok kami menempati posisi terakhir.

Tampaknya setelah itu acara menjadi serius, yaitu pembahasan kegiatan yang terdiri atas manajemen arsip, podcast, dan esai. Masing-masing dari kegiatan ini masih memiliki pembagian lagi, yang saya tidak hafal. Setelah pemaparan jadwal, acara menjadi sedikit lebih cair, karena diisi dengan pemilihan jadwal kerelawanan di RB. Setelah itu, acara kembali serius yang ditandai dengan materi yang diberikan oleh Gus Muh. Gus Muh menceritakan soal sejarah RB yang memiliki kaitan erat dengan pelukis-pelukis yang berasal dari Yogyakarta. 

Setelah pemaparan itu, acara dilanjutkan dengan games yang saya nilai cukup unik. Permainan ini sangat sederhana, kami diminta untuk menulis deskripsi diri dalam sebuah kertas buram. Setelah deskripsi dinilai cukup, kertas dilipat sedemikian rupa hingga berbentuk pesawat. Permainan ini dilaksanakan di dalam gedung Iniseum. Kami diminta untuk berbaris hingga membentuk lingkaran. Selain itu, kami diminta untuk menutup mata dan berjalan memutar sebentar dan melempar pesawat kertas itu. Tentu saja pesawat terbang tak karuan, dan saya mendapatkan kertas yang berisi deskripsi diri yang menyatakan bahwa “sosok” itu merupakan penggemar topik-topik seputar feminisme dan suka berpakaian seadanya. Saya sudah dapat menembak karena “sosok” ini  berada persis di samping saya. Tebak-tebakan “sosok” menjadi sangat meriah, kertas deskripsi saya jatuh ke tangan Mbak Monik dan berhasil langsung dijawab dengan mantab dan benar. Setelah itu, tiba giliran saya dan saya menebak sosok itu adalah Mbak Catherine, ternyata benar tebakan saya. Setelah itu acara ditutup dan berakhirlah acara pertama di hari pertama.

Jumat, 2 September 2022

Kegiatan hari kedua berlokasi di RB yang dimulai pada pukul 15.00. Pada kesempatan ini kami diminta untuk menuliskan sebuah tema yang telah dituliskan pada sebuah kertas. Saya mendapatkan tema perjalanan. Saya memberi judul tulisan saya “Antara Sedayu-Panggungharjo.” Saya bercerita hal-hal yang saya temui dan rasakan selama berada di perjalanan menuju ke RB. Setelah selesai membacakan dan membahas tulisan dari teman-teman, kegiatan menulis berlanjut. Tetapi, modelnya berbeda, kami diminta untuk memilih tema tulisan berdasarkan 31 pertanyaan yang sudah dibuatkan. Entah mengapa saya memilih “Nasihat apa yang akan kamu berikan kepada dirimu 5-10 tahun yang lalu?” Tulisan saya lebih berkisar pada nasihat untuk lebih banyak membaca dan menaati saran yang diberikan oleh penjual buku di Shopping untuk mulai membaca Tetralogi Buru. 

Setelah pembacaan tulisan dari kawan-kawan kami masuk pada materi pembahasan. Ternyata apa yang kami kerjakan dapat digunakan untuk melihat model dan kesukaan dalam menulis. Apakah kami gemar menulis “ke dalam” atau “ke luar,” karena soal kegemaran, maka pendapat kami berbeda-beda. Saya lebih suka untuk menulis “ke luar” atau hal-hal yang berada di luar diri saya. Sebab, menulis dengan kecenderungan “ke dalam” paling tidak harus mampu untuk membuka diri terlebih dahulu dan saya belum mencapai titik itu. Setelah pembahasan tersebut acara berakhir. 

Sabtu, 3 September 2022

Pada hari ketiga, materi dibawakan oleh Gus Muh yang langsung menuju RB selepas mengisi acara soal payung di Solo. Pada kesempatan itu, Gus Muh menjelaskan soal kepekaan sejarah terhadap lingkungan sekitar. Misalnya, sewaktu ia berada di Prambanan memorinya langsung terhubung ke perencanaan pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang gagal pada 1926/1927. Berada di tempat lain, memorinya membawa ke peristiwa yang berbeda di Kanigoro misalnya. Ia langsung teringat akan pembukaan film “Pengkhianatan G30S/PKI.” Pembukaan film itu menggambarkan penyerangan sebuah masjid oleh simpatisan atau anggota PKI ketika orang-orang sedang menunaikan Sholat Subuh. Gus Muh sempat bertanya, apakah ada kawan-kawan yang berasal dari Magelang, saya mengangkat tangan karena paling tidak saya berasal dari Muntilan.

Kemudian Gus Muh menjelaskan secara panjang lebar, terkait hal-hal bersejarah yang ia ketahui soal Muntilan, mulai dari stasiun-stasiun kereta api lawas yang menghubungkan Yogyakarta-Muntilan hingga hubungan pematung di Taman Agung dan Candi Borobudur. Selain itu, saya mengajukan pertanyaan mengenai cara untuk menulis esai agar enak dibaca dan tidak kaku terhadap sumber. Gus Muh menjelaskan bahwa sumber itu hanya pendukung dari gagasan saja, bukan sebagai acuan. Oleh karena itu, gagasan besar yang ada di kepala harus diselesaikan terlebih dahulu. Ia juga menjelaskan bahwa sumber yang bagus atau menarik itu hanya bonus saja.

Setelah sesi materi selesai, saya memberanikan diri untuk bertanya terkait tema yang ingin saya tuliskan. Ada beberapa tema yang saya ajukan, tapi Gus Muh lebih condong ke tema saya terkait dengan Jalan Colombo. Saya menjelaskan soal keresahan saya – yang belum terbukti, karena harus melakukan survei terlebih dahulu – terkait dengan orang-orang yang tidak mengetahui sejarah dari Jalan Colombo tersebut. Saya menjelaskan ingin melakukan survei di lampu merah pertigaan Jalan Colombo terkait dengan keresahan saya. Gus Muh menyetujuinya dan mengatakan paling tidak harus melakukan wawancara terhadap 100 orang plus menggunakan kalung bertuliskan “peneliti.” Tema saya ini sebenarnya akan mendapatkan momentum yang bagus, karena sebentar lagi adalah peringatan Konferensi Komite Konsultatif Colombo Plan di Yogyakarta ke-63.

Minggu, 4 September 2022

Hari keempat merupakan materi yang menarik sekali tapi melelahkan. Kami diminta untuk memilah-milah kata benda, kerja, sifat, hubung, dan lainnya dalam esai terbaik sepanjang masa yang telah kami serahkan beberapa hari sebelumnya. Saya mengirimkan esai karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Kehidupan Sastra Di Dalam Pikiran” yang sebenarnya terbit terlebih dahulu dalam koran Kompas pada 3 Januari 1993. Namun, tulisan itu juga dapat ditemui dalam kumpulan esai Seno Gumira yang berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.” 

Pertama, kami diminta untuk mencari kata benda, kemudian di “stabilo” warna biru muda, lalu dilanjutkan kata kerja dengan warna kuning, dan sebagainya. Saya hanya mengerjakan tiga paragraf saja, setelah itu saya melihat bahwa tulisan karya Seno Gumira menggunakan berbagai jenis kata yang beragam. Sehingga, membentuk susunan warna yang menarik dan apik sekali.

Kemudian materi dilanjutkan dengan sharing tema yang hendak kami tuliskan. Setiap kawan diberikan kesempatan untuk berbicara dan mendiskusikannya bersama-sama. Tema yang saya angkat untuk esai kira-kira akan saya beri judul begini “Saya Mulai Dari Affandi, Kamu Selesaikan Di Colombo.” Judul ini saya angkat setelah melakukan pembicaraan singkat dengan Gus Muh sehabis materi pada 3 September 2022. Gus Muh menceritakan bahwa ia pernah menulis untuk Jawa Pos pada Mei 2007 soal Jalan Affandi. Lalu terceletuk lah “mandat” tersebut yang menginspirasi untuk judul esai saya. Premis saya sebetulnya belum ada, tetapi kira-kira begini. Sewaktu ngobrol dengan Gus Muh itu saya mengajukan ide untuk melakukan “wawancara di lampu merah,” jadi saya akan mengajukan pertanyaan singkat, mengenai pengetahuan orang-orang terkait dengan Jalan Colombo yang sedang mereka lewati. Gus Muh menyetujui ide itu, dan saya diminta untuk melakukan wawancara kepada 100 orang plus dengan kalung bertuliskan “peneliti.” Saya menyanggupinya dan ini akan menjadi pengalaman yang unik dan menarik. 

Tema untuk podcast sebetulnya belum kuat, masih sekitar Jalan Colombo, tetapi saya mengambil sejarah dari konferensi itu atau “warisan” dari konferensi ini berupa restoran. Namun, saya tidak mengambil ide lebih jauh karena restoran tersebut belum tentu “warisan” dari Konferensi Colombo, tetapi hanya pernah terletak di Jalan Colombo. Lalu pagi harinya, sehabis bangun tidur saya mendapatkan ide untuk menulis esai dengan judul “Perumahan Colombo Nasibmu Kini.” Tema ini berangkat dari keresahan saya setahun lalu kira-kira. Waktu saya mengerjakan skripsi, saya ingin merasa lebih dekat dengan peristiwa yang saya tulis itu. Maka saya memutuskan untuk menyusuri Jalan Colombo sampai ke perumahan itu. Sewaktu masuk ke perumahan saya dikejutkan dengan tulisan atau spanduk “rumah di jual.” Saya terkejut bukan main, saya mengira rumah-rumah itu adalah cagar budaya. Lalu saya tersadar bahwa saya pernah mendapatkan sebuah arsip yang menjelaskan masalah jual-beli rumah di Perumahan Colombo tersebut bahkan kolam . Jadi pertanyaan saya adalah bagaimana status perumahan tersebut dari dahulu hingga kini. Sebab berita terakhir yang saya dapatkan adalah status rumah tersebut belum jelas pada oktober 1959 karena masih harus dibicarakan dengan pemerintah pusat. Namun, DPRD meminta sebagian rumah tersebut untuk kenang-kenangan, tapi statusnya tetap belum jelas. 


Posted

in

by