Jurnal Pekan Keempat Langit Gemintang

Akhir September dan awal Oktober 2022 adalah bulan di Radio Buku. Saya dan kawan-kawan masih berkutat dalam kelas pengarsipan di mana kami diminta untuk mengscan dan mengkronikkan peristiwa-peristiwa sejarah dalam majalah yang tersedia di lantai dua Radiobuku.

Saya pun datang pada hari kamis dan jumat seperti minggu lalu, kali ini saya mengscan majalah Suluh terbitan tahun 2008. Suluh adalah majalah agama antar iman di Indonesia. Wacana yang digagas dalam majalah tersebut adalah toleransi dan solidaritas antar umat beragama di Indonesia. Ia datang di antara kekerasan-kekerasan antar umat yang merajalela di tahun-tahun tersebut, sebut saja kekerasan Poso dan pengrusakan berbagai rumah ibadah oleh ormas-ormas yang akalnya pendek. Membaca tiap tulisan majalah tersebut lewat layar scan membikin hati saya merasa damai melihat empati yang dicitrakan dalam majalah tersebut sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi jembatan umat-umat agama. 

Lalu di hari Jumat saya menunaikan ibadah podcast saya setelah menunggu kurang lebih satu jam mati listrik di Radiobuku. Saya mengulas buku pertama saya dengan membahas bagaimana saya suka buku, perjalanan intelektual saya, dan novel 1984 karya George Orwell sebagai buku yang berpengaruh pada kehidupan saya. Singkatnya, perjalanan saya mengolah kata selama 30 menit itu terasa asyik dan lancar. Saya merasa mantab dengan monolog saya, seakan sedang berbicara di depan banyak orang. Karenanya, setelah sekali take gagal, saya tidak memerlukan pengulangan take lagi. Dan ya, saya bablas sampai 30 menit durasi bermonolog.

Lalu pada hari Sabtu dan Minggu kami mendapatkan kelas-kelas rutin yang diadakan dua minggu sekali. Pada hari Sabtu saya izin karena terlanjur parno banyak kawan Radiobuku yang sakit. Saya khawatir menulari keluarga dan adik saya yang sedang UTS secara luring. Akhirnya saya menyelesaikan malam dingin itu di zoom dengan melihat pemaparan materi tentang pentingnya pengarsipan oleh Mas Safar Banggai. Mengarsip itu penting, yaitu sebagai proses sejarah itu sendiri. Mengarsip adalah merawat sejarah dan merapikan pengetahuan kita tentang masa lalu agar lebih mudah diakses dan diingat. Pram misalnya, ia menulis Tetralogi Pulau Buru-nya dengan arsip-arsip yang ia ambil dari koran. Bagi sastrawan kondang itu, koran adalah surat rakyat dan narasi sejarahnya adalah narasi rakyat: mereka yang ada di bawah dan berjuang melawan tuan-tuan yang di atas. Lalu kawan-kawan Radio Buku mengadakan kompetisi kecil-kecilan menulis cepat dalam waktu lima menit dengan tema “laut”, sebagaimana tema yang didalami oleh Mas Safar dan menjadi tema buku kumpulan cerpennya, Nelayan Itu Berhenti Melaut. Saya menuliskan hubungan antara misteriusnya laut dengan absurditas pada kehidupan manusia. Alhamdulillah, saya dipilih menjadi pemenang dan mendapatkan buku cerpen tersebut. Terima kasih atas hadiahnya!

Pada hari minggu kami belajar selingkung di sesi awal. Selingkung sempat menjadi keresahan saya yang waktu tidak paham tentang style kepenulisan ini. Misal, saya sering bertanya-tanya kenapa Kompas selalu memakai kata “China” daripada “Cina” yang sesuai KBBI. Ternyata itu adalah selingkung, yaitu ejaan khas institusi tertentu. Bahkan APA dan AMA yang biasanya sekadar kita pahami sebagai sitasi akademis ternyata juga punya selingkung. Bagi saya, selingkung adalah ejaan yang melampaui keformalan KBBI. Di sinilah, keberagamaan bahasa mendapatkan tempat berekspresinya.

Adapun kita membahas tentang riset untuk mendukung proses pencarian data kita dalam menulis esai. Kita diajarkan tentang banyak cara penggunaan aplikasi pengumpulan dan penyusunan data. Yang tak kalah menarik, kami membahas banyak tentang riset kenakalan remaja yang tentu saja merupakan hasil dari permasalahan pendidikan kita.

Dan yang terakhir adalah pelajaran yang diberikan oleh Mas Faiz tentang participatory action research (PAR) yang sudah ia geluti sejak lama di berbagai desa. Teknik PAR dikembangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan yang mahsyur.  Dalam PAR, kita tak menjaga jarak dengan subjek penelitian, melainkan melebur ke dalamnya. Hidup dalam kehidupan sehari-hari dan membiarkan semua realita mengungkapkan dirinya pada kita. Pikiran dikosongkan, judgement hilang, dan teori-teori disingkirkan dulu, biarlah masyarakat yang bicara tentang kehidupan mereka. Tentu ini adalah teknik yang tak pernah diajarkan di sosiologi yang cenderung positivis dengan menjaga jarak terhadap para subjek riset. PAR tidak hanya berakhir dengan memahami masyarakat, melainkan dengan mengubahnya. Ya, ini senapas dengan Karl Marx dan melampaui batas-batas pencarian kebenaran yang kering dan impoten.


Posted

in

by