Jurnal Pekan Kedua Gilang Andretti

Selasa, 13 September 2022

DPAD, sebuah nama dan gedung yang sudah tidak asing bagi saya. Mungkin setahun atau dua tahun lalu saya menyempatkan diri untuk datang ke sana dalam rangka mencari dan melengkapi arsip untuk skripsi. Kini, tempat itu sudah agak berubah terutama di lantai satu-nya. Ada dua televisi layar tipis yang diletakkan di sana, ditambah beberapa partisi yang menggambarkan peristiwa yang sepertinya agak kekinian. Kami masuk ke ruang diorama arsip sekitar pukul 13.20, dipandu oleh seorang petugas. Ruang diorama arsip dibagi menjadi 17 ruangan. Ruangan-ruangan agak lebar cermin-cermin hampir di setiap sudut, dan sebuah proyektor yang tampaknya ada di langit-langit. 

Bagian pertama dimulai dari periode 1400 atau 1500 ketika kerajaan Mataram Islam berdiri, pengunjung disuguhkan visulisasi yang menarik sekali. Misal arsitektur yang dianimasikan, sebab setahu saya masa-masa itu tidak banyak meninggalkan jejak sejarah berupa bangunan. Catatan saya pada bagian ini adalah masa berdarah Amangkurat I yang tidak banyak disebutkan. Menurut saya hal itu justru yang perlu mendapatkan banyak tempat, sebab merupakan fondasi awal dari masa diistegrasi Mataram Islam. Namun, hal ini bisa di dapatkan di buku karya H. J. De Graaf yang memiliki spesialisasi di bidang ini. Hal yang cukup menarik dari bagian ini adalah penampilan visual atau video seorang penari dari pantulan embun atau yang lainnya, saya kurang tahu. 

Bagian yang menarik perhatian saya yang lain adalah Bagian Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Bahkan saya sempatk kepikiran sebuah judul tulisan Pangeran Diponegoro: Disayang Museum, Terkucilkan Di Keraton. Hal ini berangkat dari gambar atau foto Pangeran Diponegoro yang hampir atau malah tidak ada di Keraton tapi ada beberapa di museum bahkan mendapatkan tempat yang baik. Misal di Museum Vredeburg, diorama Goa Selarong mendapatkan tempat pertama, dan di diorama arsip mendapatkan bagian tersendiri. Alasannya tampaknya saya sudah tahu, hanya pengembangannya saja yang saya tidak tahu. Selain itu, pada masa pergerakan beberapa tokoh asal Yogyakarta kurang mendapatkan tempat, misalnya Suryopranoto Si Raja Mogok.

Bagian lain yang menyita perhatian saya – mungkin paling menyita – adalah sebuah lukisan karya Djoko Pekik yang berjudul “Selokan Mataram.” Lukisan itu menggambarkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX – foto atau gambar itu sangat khas, saya pernah melihatnya beberapa kali – sedang dikelilingi para Romusha. Ya… lukisan itu tampaknya merupakan simbolik yang menceritakan Sri Sultan HB IX menyelamatkan rakyat dari sistem Romusha yang mengirim para pekerja ke luar daerah atau luar negeri dengan cara membangun Selokan Mataram. Bagian lain yang menarik perhatian saya adalah Masa Revolusi yang terlalu didominasi oleh militer, sehingga peran sipil menjadi terkucilkan. 

Bagian lain yang menarik perhatian adalah periode awal hingga pertengahan 1950-an, Yogyakarta memang pernah menjadi percontohan dari pelaksaan pemilu 1951 atau 1952. Namun, yang lebih menarik perhatian saya adalah sebuah tumpukan kertas yang berisi logo-logo partai yang maju dalam pemilu waktu itu. Pada tumpukan itu PKI mendapatkan tempat yang cukup istimewa sebab berada hampir di bagian atas dari tumpukan tersebut. Apakah ini suatu tanda perubahan pemahaman akan sejarah? 

Ternyata hal itu bukanlah suatu tanda-tanda perubahan, peristiwa seputar Geger 65 tetap tidak mendapatkan tempat. Hal ini juga berlanjut pada periode-periode gelap lainnya di Yogyakarta, seakan-akan ada usaha untuk meloncati periode tersebut. Misal, soerang kawan tadi menyeletukkan soal Petrus (Pembunuh Misterius atau Penembak Misterius) yang sepengetahuan saya mulai muncul di Yogyakarta. Konon, masyarakat resah karena hadirnya preman yang dicirikan dengan orang-orang bertato dan mungkin berambut gondrong. Memang cara untuk meloncati periode tersebut saya rasa sudah agak rapi, dimulai dari Diorama 12 yang menceritakan tentang Penataan Pemerintah DIY. Saya nilai ini merupakan sebuah “usaha,” karena dari judulnya saja saya kira sudah cukup rancu, walaupun diawali dengan cukup baik. Proses penataan ini dimulai setelah revolusi berakhir sehingga secara kronologis masih dapat diterima, namun diakhiri hingga kapan periode tersebut? Oleh karena itu, diorama-diorama lain dapat melanjutkan periode yang rancu tersebut misal Diorama 13 yang menceritakan Yogyakarta Kota Pendidikan atau Diorama 15 yang menggambarkan Yogyakarta Kota Pariwisata

Setelah Diorama 15 itulah kronologi sejarah dimulai lagi pada periode Reformasi 1998. Periode ini menempatkan Sri Sultan HB X diposisi yang sentral. Tayangan video ini menggambarkan Sri Sultan HB X yang berada di tengah ribuan massa, mungkin untuk menenangkan. Saya jadi teringat cerita di KR, massa yang tadinya berteriak hidup reformasi dan sebagainya berubah menjadi hidup arem-arem setelah dibagikan arem-arem (makanan yang terbuat dari nasi yang diisi masakan kemudian dibungkus dengan daun pisang dan dikukus). Satu hal yang saya sangat apresiasi adalah masalah kebencanaan yang mendapatkan tempat khusus. Saya jadi merinding di diorama tersebut, sebab menampilkan erupsi Merapi 2010 dan gempa Bantul 2006. Walaupun gempa Bantul 2006 tidak terlalu dekat dalam ingatan saya. Satu hal yang mengikat kuat dalam ingatan saya soal gempa Bantul 2006 adalah isu tsunami yang akan menuju Muntilan, bahkan air sudah sampai Gremeng (gunung tempat makam-makam Tionghoa) yang ada di daerah Ngluwar. Saya jadi teringat waktu itu dijemput oleh saudara, dan seluruh sekolah menjadi panik dan histeris. Sialan memang orang yang membuat berita bohong itu. Erupsi Merapi yang membuat saya lebih merinding, sebab saya menglami langsung dan rumah saya agak dekat dengan Merapi. Mati listrik dan libur sekolah hampir satu bulan, toko-toko yang tutup, desa yang sepi karena ditinggal mengungsi, dan membersihkan rumah hampir setiap hari. Setelah dari sini saya jadi lebih mantab untuk menuliskan soal Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta, sebab peristiwa ini tampaknya terlupakan dari penulisan sejarah seputar Yogyakarta.

Rabu, 14 September 2022

Piyungan berhawa panas, mungkin seluruh Jogja hari ini. Akhirnya Google Maps mengantarkan saya sampai di tujuan, Langgar.Co setelah kesasar beberapa kali. Sebuah rumah satu lantai dengan satu pintu utama dan tampaknya satu pintu garasi menjadi tujuan saya hari ini. Saya langsung mengintip dari pintu garasi yang tak tertutup rapat. Seorang pria ya belum terlalu tua sedang tidur di sebuah kursi, disampingnya berisi tumpukan buku yang masih disegel dan disusun rapi dalam sebuah rak. Saya mengetuk pintunya pelan sambil kulo nuwun, tidur pria itu sepertinya tak tergganggu dan langsung menghampiri saya. Kami saling mengenalkan diri dan saya memanggilnya dengan sebutan “pak.” Nama pria tadi adalah Irfan Afifi. Saya kemudian dipersilahkan duduk, di ruang tamu utama sambil menunggu kawan-kawan yang lain.

Sementara menunggu, kami membicarakan beberapa hal, yang bisa saya ingat dan tangkap dari pembicaraan itu adalah banyak mahasiswa bahkan hingga tingkat atas yang “tidak dapat” menulis. Yang dimaksud tidak dapat menulis adalah ketidakmampuan untuk mengutarakan gagasannya secara langsung. Sehingga susunan karya dan tulisannya menjadi berbelit dan sulit untuk dipahami bahkan “default” seperti menulis makalah, artikel jurnah, skripsi hingg tesis bahkan disertasi. Pak Irfan mendapatkan kesan tersebut setelah meminta kawan-kawan yang berkuliah di luar negeri untuk menceritakan pengalamannya, baik di bidang akademik sampai kehidupan pribadi. Setelah menjelaskan itu, Pak Irfan memberitahu saya bahwa lebih baik dipanggil “mas” saja.

Beberapa menit kemudian kawan-kawan mulai berdatangan, sebelum acara dimulai kami menata kursi terlebih dahulu karena tempat yang terbatas. Setelah menata kursi kelas materi dimulai. Mas Irfan menjelaskan sejarah singkat dari rumah yang digunakan sebagai base camp dari Langgar. Co. Pencatatan waktu berdirinya rumah itu unik sekali dan dapat dijadikan inspirasi. Pada sebuah usuk reng utama rumah itu ditulis tebal-tebal dengan spidol, kami menengok ke atas semuanya. Tampak bahwa rumah itu selesai dibangun pada 1 Mei 2015. Materi yang dibicarakan kurang familiar bagi saya, sehingga saya hanya banyak mengangguk dan mengiyakan saja. Tema yang dibicarakan sebagian besar tampaknya adalah filsafat Timur bahkan lebih spesifik lagi Jawa. Menarik sekali gagasannya yang dapat saya tangkap, bahwa filsafat Jawa atau mungkin Indonesia secara umum tidak banyak diajarkan dalam institusi pendidikan sekarang ini. Mereka lebih condong untuk menggunakan filsafat Barat. Mas Irfan hendak menolak itu dan menggunakan filsafat Jawa yang tampaknya dimulai dari Sunan Kalijaga hingga tokoh-tokoh lain yang saya tidak ketahui namanya. Sisanya, jujur saja saya tidak banyak memahaminya, tampaknya harus ada pengalaman terlebih dahulu ditambah dengan bacaan-bacaan yang cukup banyak untuk memahami materi dan jawaban Mas Irfan atas pertanyaan dari kawan-kawan. 

Mas Irfan ternyata sosok yang humoris dan suka guyon. Satu lagi kebiasaan yang saya perhatian adalah suka mematikan rokok yang dihisapnya walaupun masih setengah batang. Tampaknya kebiasaan ini dimulai ketika ia antusias hendak menjawab pertanyaan atau memberikan materi yang menurutnya menarik. 

Kamis, 15 September 2022

Sekitar 34 km dari Sedayu di sebelah utara terdapat kantor Mojok. Perjalanan ke sana ini tidak terasa berat, awan mendung melindungi diri dari sengatan matahari. Ya hari ini kawan-kawan volunteer Radio Buku Batch #8 berkunjung dan belajar bersama di Mojok. Acara dimulai sekitar pukul 15.15, kami disambut oleh Mbak Auk dan Mas Ipang, namun saya lupa posisi mereka di Mojok. Acara dibuka dengan cerita berdirinya Mojok yang dimulai pada 2014, saya sempat terkejut bahwa Mojok sempat menerbitkan satu tulisan saja setiap hari hingga berkembang hari ini menjadi 14-15 tulisan setiap harinya. Pembicaraan menarik datang dari pertanyaan seorang kawan yang bertanya bagaimana “prosedur” Mojok jika sebuah tulisan dari kontributor diprotes atau diminta untuk diturunkan. Kedua perwakilan dari Mojok tersebut menjelaskan bahwa jika tulisan berasal dari Terminal maka kontributor yang harus meminta diturunkan tulisannya. Biasanya tulisan-tulisan yang menyinggung kampus yang seringkali mendapatkan protes. Kontributor yang menurunkan tulisannya biasanya mendapatkan ancaman DO dari kampus atau yang lainnya. Sedangkan tulisan yang tidak berasal dari Terminal dapat diturunkan oleh Mojok, selain itu akan ada permintaan maaf dari kontributor beserta alasan penurunan tulisan tersebut. Masih dari kawan yang sama, ia bertanya apakah tulisan-tulisan yang menyinggung PKI (Partai Komunis Indonesia) banyak mendapatkan protes. Jawaban yang mengejutkan dari perwakilan Mojok yang menyatakan bahwa tulisan yang menyinggung PKI jarang mendapatkan protes karena tokoh yang ditulis biasanya sudah meninggal atau tidak diketahui banyak orang. 

Di sela-sela obrolan tersebut, turunlah dari tangga seorang yang tidak asing bagi saya, Didik Nini Thowok yang tampaknya menjadi tamu Putcast. Setelah Pak Didik, menyusullah Mas Puthut yang turun, ia langsung bergabung dengan diskusi kami. Saya merasakan diskusi menjadi lebih hidup dan ramai. Mas Puthut mendapatkan “hak khusus” di kantor Mojok tersebut dan ini unik sekali. Ia adalah satu-satunya orang yang diperbolehkan merokok di kantor. Sementara itu, saya bertanya soal tulisan tulisan di Malam Jumat yang layak muat, sebab saya pernah mengirim tapi tidak tembus. Sayang, orang yang menangani rubrik tersebut tidak hadir, namun Mas Puthut menjelaskan bahwa yang terpenting adalah alur cerita yang menarik.

Jumat, 16 September 2022

Sedari pagi saya sudah berada di UGM, tepatnya di perpustakaan pusat. Setelah mendekati pukul 14.00, saya langsung beranjak ke Wisdom Park, tempat parkir saya jauh dari stand buku, jadi saya harus jalan agak jauh dan itu melelahkan juga. Stand Radio Buku sudah rapi dan ditunggui oleh beberapa kawan. Tidak lama kemudian gerimis, dan kami harus merapikan stand, maka setelah selesai merapikan saya pindah tempat ke stand seorang kawan penjual buku bekas, nama stand itu Massa Aksi. Ketika acara hendak dimulai dan ada wawancara, malah ia pergi dan saya menggantikannya sebentar. Sehabis itu, acara materi atau bincang-bincang dimulai, saya tidak dapat memahaminya karena acara tersebut diadakan di sebuah angkringan yang di tempatkan di tengah stand-stand buku. Mungkin bisa saja saya ikut nyimak tapi malas saja, sudah bertemu dengan kawan-kawan yang lainnya. 

Sabtu, 17 September 2022

Radio Buku mendapatkan kunjungan yang sepsial hari ini, berhubung akan masuk dalam minggu podcast. Oleh karena itu, diundanglah orang-orang yang sudah berkecimpung terlebih dahulu dibidang podcast dan radio. Acara dimulai pukul 13.00, acara pertama materi diisi oleh Mas Solahuddin Ningrat yang pernah mengelola podcast filsafat kaki lima. Beliau pernah mengenyam pendidikan di Filsafat UGM, sehingga pembicaraan yang mendominasi adalah seputar nilai dan sebagainya. Bahkan beliau mampu “menggoyang” fondasi dari volunteer batch #8, sederhananya ia bertanya apakah tujuan dari diadakannya volunteer kali ini, apakah sekedar menjawab tantangan dari pengurus Radio Buku generasi awal atau ada hal lainnya. Setelah itu saya baru menyadari bahwa tujuan dari volunteer kali ini tidak hanya hal itu, tetapi lebih dari itu. Selain itu, saya juga bertanya, apakah sandiwara radio untuk saat ini masih mendapatkan tempat atau sudah “mati’? Saya bertanya hal itu karena memang saya memiliki ketertarikan terhadap sandiwara radio, terutama pembacaan cerpen. Tujuan saya sederhana saja, saya ingin membumikan lagi cerpen-cerpen lawas karya penulis-penulis kondang di masa lalu. Saya sebenarnya terinspirasi dari Titimangsa (tampaknya) yang sempat mengudarakan lagi sandiwara radio beberapa waktu yang lalu. Mas Solahuddin menjawab bahwa untuk menjawab hal itu diperlukan survei terlebih dahulu. Apakah sandiwara radio masih relevan untuk masa kini.

Acara materi selesai pukul 15.00 dan langsung dilanjutkan pemberian materi oleh narasumber yang kedua, Mbak Endah. Mbak Endah adalah seorang mantan peyiar radio yang karirnya sudah malang melintang di Yogyakarta. Gaya berpakaian Mbak Entah menarik sekali, ia menggunakan kebaya dan jarik, dengan rambut yang tak disanggul. Mbak Endah banyak membicarakan masalah teknis yang harus dihadapi penyiar radio. Penyiar radio memiliki tuntutan yang lebih berat daripada penyiar podcast, sebab acara yang dibawakan secara langsung. Sedangkan untuk podcast acaranya dibawakan tidak secara langsung, sehingga masih dapat diedit. Saya bertanya, bagaimana cara menyikapi jika malu mendengar suara sendiri di rekaman. Sebab, saya pernah membuat semacam sandiwara radio untuk program KKN, isinya terkait dengan Covid-19. Saya berperan sebagai narator, sedangkan beberapa kawan saya minta untuk mengisi suara beberapa tokoh yang saya tuliskan. Namun, hingga saat ini saya tidak pernah mendengarkan sandiwara radio itu. Mbak Endah menjawab bahwa untuk menyikapi hal itu, saya harus meminta pendapat teman-teman terhadap rekaman dari suara saya, apakah terdengar aneh, lucu, biasa saja, atau menarik. Saya baru menyadari bahwa saya belum pernah melakukan hal itu, dan saya akan meminta pendapat kawan-kawan yang lain terkait dengan suara saya. 


Posted

in

by