Tidak ada (kegiatan sukarelawan) Radio Buku hari ini. Dan hari-hari selanjutnya di pekan ke-2. “Ngapain kita di Radio Buku melulu. Yogya ini luas, dan luas pula khazanah literasinya. Mending kita dolan kesana-kemari, tho?” demikian dalih Berryl ketika menjelaskan alasan penggantian agenda di pekan ke-2 ini jadi macam darmawisata bocah sekolah menengah. Tapi, enak juga memang jadi bocah sekolah menengah.
Bila ini adalah darmawisata, jelas ini adalah darmawisata paling intelectuill dan asyik yg pernah saya jalani. Tentu terlepas dari darmawisata sekolah menengah yg jadi asyik hanya sebab bisa curi pandang ke siswi-siswi incaran. Maklum, saya di asrama saat sekolah menengah jadi agak norak ketika papasan dengan pelajar lawan jenis.
Pada pekan ke-2 ini, kami diajak berkeliling ke penjuru literasi di Yogya. Mulai dari Diorama Arsip pada Selasa; berjumpa Irfan Afifi di Kantor Langgar.co pada Rabu; bertamu ke Kantor Mojok dan bersua Kepala Suku-nya, Puthut EA; dan berkunjung ke Peristiwa Sastra FKY di Wisdom Park UGM pada Jumat. Di antara semuanya, saya hanya absen di hari Rabu. Saat itu, saya ada agenda yg tdk bisa ditinggal, yg saya juga lupa apa agendanya.
Diorama Arsip
Selasa siang (13-09), kami ke Diorama Arsip. Ini adalah kunjungan kedua saya kemari. Seperti kunjungan pertama, saya kembali berusaha menyelamatkan lingkungan dengan naik transportasi umum, TransJogja. Itung-itungan ekonominya kian masuk akal sekarang: BBM naik, isi BBM antre setengah mati, dan macet. Jelas 2.700 tarif TransJogja sangat murah ketimbang saya mesti menelan tiga implikasi yg saya sebutkan sebelumnya.
Masuk ke Diorama Arsip, saya bertekad untuk menuntaskan pembacaan terhadap teks-teks informasi di sana. Maklum, kunjungan di Diorama Arsip dibatasi waktunya per ruangan sehingga seringkali belum rampung kita menyimak isinya, lampu sudah padam dan pengunjung sudah diarahkan untuk geser ke ruang lain.
Akibatnya, pada kunjungan kedua ini seringkali saya tertinggal dari rombongan. Biar saja, toh saya tidak akan tersesat dan tidak akan tertinggal informasi sebab yang dikatakan pemandu sudah saya tuntaskan di kunjungan sebelumnya. Usai tayangan asal muasal Yogyakarta sejak Alas Mentaok hingga kalahnya Sultan Agung di Batavia, saya menyisir teks-teks informasi perlahan. Juga panel-panel cerita tentang gejolak di Mataram Islam mulai dari Untung Surapati, Trunojoyo, hingga intrik-intrik lainnya yang diperkeruh oleh VOC, saya lumat pelan-pelan. Terlihat, kawan-kawan saya sudah beranjak ke ruang “Keraton” tapi saya tetap berkacak di ruang konflik raja-raja.
Memang benar apa yang dikata Berryl saat kami mengaso di pinggir rel. Tepatnya, di pinggir diorama rel. “Tidak akan cukup kalau hanya sekali kemari, harus berkali-kali”. Saya tidak bisa lebih sepakat lagi dengannya kala itu. Sebab, pada kunjungan kedua ini, banyak hal yang saya baru temukan setelah membaca ulang secara saksama diorama-diorama dan teksnya ini.
Salah satunya adalah soal stereotipe kebatinan pada budaya Jawa. Seolah-olah, selama ini kita diberikan pengetahuan bahwa Jawa sejak dulu memang berkisar di dunia metafisik. Namun, setelah kunjungan kedua kemari, saya yakin untuk mengajukan praduga bahwa Jawa=Metafisik ini tidak given. Bukan dari sononya. Alih-alih, dugaan saya, kebatinan adalah pelarian “Jawa” dari dunia materiil yang tak kunjung bisa mereka taklukkan. Konteksnya adalah dua kali kegagalan mereka, Mataram Islam di bawah Sultan Agung, untuk menggilas VOC di Batavia. Sebab, seperti yang ada di tayangan video di Ruang Pertama, Sultan Agung langsung ziarah ke Makam Sunan Bayat setelah kekalahannya tersebut. Sesaat setelah ziarah, Sultan Agung pun memutuskan bahwa alam batin adalah masa depan Mataram Islam, masa depan Jawa. Disusunnya kalender Jawa, paduan antara Saka dan Hijriah. Dibukukannya kitab-kitab budaya Jawa yang berunsur kebatinan. Sejak itulah kita mengenal Jawa sebagaimana yang dilabelkan kepadanya: metafisik.
Selain pemahaman yang lebih utuh atas pengetahuan di dalamnya, saya juga lebih adil dalam menilai Diorama Arsip itu sendiri. Sebelumnya, pada kunjungan pertama, saya misuh-misuh kepada pacar saya. “Ini ngomongin sejarah ini-itu tapi sok-sokan lupa sama tragedi ’65. Gak kaffah!”. Tapi yang kaffah selamanya hanya ada di pikiran. Sementara, Mbah Marx sendiri yang menganjurkan, bahwa yang terpenting itu bukan memikirkan kenyataan (dan yang ideal dari kenyataan), tapi mengubahnya. Menciptakan kenyataan seideal yang dimungkinkan lewat kerja. Dan itulah yang dilakukan Tim Diorama Arsip.
Berryl-lah yang pertama kali menyadarkan saya tentang penilaian yang lebih adil ini. Memang, katanya, kritik itu harus terus dilontarkan. Tapi apresiasi juga perlu dilakukan. Sebab, daerah mana yang Dinas Arsipnya punya itikad untuk menghidupi api-api arsip dengan cara se-mengasyikkan ini. Ditambah, narasinya yang cukup kritis atas fenomena dan peristiwa sejarah di Yogyakarta seperti kolonialisme dan kesetaraan gender, perlu diacungi jempol. Patut dijadikan tauladan soal perlawanan-perlawanan kecil yang bisa dilakukan di dalam instansi pemerintah, dan saya sepakat dengannya. Lagi-lagi.
Mojok
Setalah absen pada Rabu, saya lanjut darmawisata pada Kamis (15-09). Kali ini, agendanya adalah berkunjung ke Kantor Mojok di Ngaglik. Banyak yang mengeluh sebab Radio Buku ke Kantor Mojok itu ujung ke ujung. Tapi saya, dan beberapa teman dari Utara, tidak ambil pusing. Inilah momen kami sebab tidak lagi mesti berkilo-kilo turun ke Selatan.
Hari ini saya ber-TransJogja lagi. Tepatnya Teman Bus, sebab trayek ke arah Sleman bagian utara memang di-cover oleh armada dari Kementerian Perhubungan. Dan untuk pertama kalinya, saya mengombinasikan layanan bus kota dengan sepeda lipat. Naik dari Halte Dunkin Donuts, turun di Halte Yakkum. Mengayuh sedikit, yang sebenarnya tidak sedikit yaitu sekitar 3 km, sampailah saya di Kantor Mojok.
Di sana, kami disambut oleh Mbak Au (Operasional) dan Mas Ipang (Redaktur Pelaksana). Disuguhi piring-piring penuh gorengan dan Teh Kotak, kami mulai berbincang ringan. Berryl yang jadi moderator membuka dengan pertanyaan paling dasar, “Mojok itu apa sih?” Dari sini, terkuaklah alasan di balik pergantian sifat organisasi (dari komunitas ke media) dan slogan (dari “Sedikit Nakal Banyak Akal” ke “Suara Orang Biasa”).
Soal perubahan wujud ke media, Mas Ipang menyampaikan bahwa alasannya adalah untuk membuat Mojok semakin jelas “ jenis kelaminnya”. Bukan maksud mengerdilkan komunitas, hanya saja orang-orang di Mojok saat itu merasa bisa berbuat lebih banyak bila menekankan pada produksi serta distribusi konten yang lebih intens. Untuk itu, dibuatlah Mojok jadi media. Seiring berjalannya waktu, bentuk medianya pun terus berinovasi. Terakhir, Mojok bukan lagi sebagai portal opini, melainkan sudah didapuk sebagai media jurnalistik dan terdaftar dalam Dewan Pers. Hal ini bisa dilihat dari konten-konten jurnalistiknya sepeti Sungguh-sungguh Liputan (Susul) dan Kilas (straightnews).
Terkait jargon yang berubah, begini penjelasan Mbak Au:
“Memang, jargon sebelumnya (Sedikit Nakal Banyak Akal) itu sangat melekat di Mojok. Selaras dengan gaya tulisan-tulisannya yang senggol sana-sini. Bahkan, beberapa penulis Mojok yang kemudian kerja di media lainnya sering diminta untuk menulis dengan ‘gaya Mojok’. Tapi, kemudian kami sadar, pembaca baru terus bermunculan. Dan untuk menampung para pembaca baru ini, tidak bisa kami gunakan cara lama. Cara Sedikit Nakal Banyak Akal ini. Untuk itu, kami coba telisik, wadah apa yang paling potensial ke depannya, sesuai dengan semangat Mojok, dan mampu mewadahi para pembaca yang baru kenal dengan kami. Didapatilah slogan ‘Suara Orang Biasa’. Orang biasa ini ya kita-kita ini. Punya privilese tapi ya sudah, biasa saja. Ini proporsi populasinya sangat besar di Indonesia. Ditambah, Mojok sejak dahulu memang sering membahas hal-hal yang remeh, hal-hal yang lekat dengan hidup orang biasa.”
Mas Puthut yang menyusul, sebab ada rekaman Put-Cast, turut menjelaskan perihal “Suara Orang Biasa” ini. Dia bercerita, jargon ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Majalah On/Off yang dihidupinya sebelum Mojok. Jargon majalah tersebut, “Majalah Orang Biasa”. Pernyataan ini sekaligus mengonfirmasi Beryl yang bertanya soal hubungan Mojok dan Majalah On/Off.
Selain itu, Mas Puthut pun bercerita tentang mojok sebagai komunitas. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia Buku/Radio Buku, semangatnya adalah kolaborasi dan memberi. Kolaborasi dengan jejaring pertemanan, terutama penulis, untuk menciptakan ruang kreatif. Sementara memberi ini adalah kepada Yogya. Bukan kepada pejabat atau pembesar, melainkan kepada masyarakatnya yang sudah menyediakan atmosfer dan ekosistem kreatif sehingga mampu membesarkan komunitas-komunitas kecil seperti Mojok.
Terakhir, pertanyaan yang benar-benar ingin saya tanyakan namun disikat duluan oleh Berryl adalah soal Mas Puthut sendiri. “Apakah Mojok ini sebagai saluran aktivisme Anda? Mungkin, soal gagasan daulat rakyat di media,” tanya Berryl. Mas Puthut mengiyakan, meski tidak persis. Dirinya merasa terlalu berat bila gunakan terma daulat rakyat. Hal yang paling mendekati adalah upaya menantang “pusat”. Upaya yang sudah dilakukan bersama teman-temannya sejak di Majalah On/Off. Lalu berlanjut di Mojok yang sekarang berslogan Suara Orang Biasa. Bahwa, orang biasa pun perlu diperhatikan. Tidak melulu yang besar-besar, ataupun yang kecil-kecil sekali.
Peristiwa Sastra – FKY
Tidak seperti dua kunjungan sebelumnya, kali ini lokasi kunjungan ada di “kandang” saya. Jumat (16-09), kami mengikuti Peristiwa Sastra, salah satu agenda dari Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2022, yang diselenggarakan di Wisdom Park UGM. Meski main di kandang, ironisnya, justru hari ini lah saya gunakan kendaraan pribadi.
Saya pikir, hari Jumat adalah sesi “Di Persimpangan Rural dan Urban”. Diisi oleh Mahfud Ikhwan yang akan bicara soal mengisahkan desa, dan koleganya akan bicara kisah-kisah urban. “Wah itumah besok mas!” ujar Farah, kawan saya di Balairung, saat papasan di setapak menuju lokasi gelaran. Tapi ya tetap saya lakoni juga. Mendengar dan bertemu langsung kritikus sastra beken Yogya (bahkan dua org ini sdh level nasional!) Sunlie Thomas Alexander dan Katrin Bandel sama sekali bukan kesialan salah jadwal.
Berdua, mereka bicara tentang sejauh mana identitas bisa jadi otoritas dalam berkisah. Bincang yang menarik. Satu poin, Sunlie bilang, kalau hanya orang dengan identitas yang sama persis yang punya otoritas untuk berkisah tentang hal tersebut, maka mandeklah sastra. Sulit berkembang sebab perkaranya melulu soal otoritas identitas yang, nanti dijelaskannya, tidak setunggal itu masalahnya.
Begitupun Katrin yang bilang, “Kalau identitas diri jadi satu-satunya otoritas kepenulisan, maka siapa yang bisa mengisahkan identitas saya? Seorang Perempuan, Jerman, Migran ke Indonesia, dan Mualaf. Tidak ada selain diri saya sendiri. Kan tidak begitu tapi cara kerja otoritas kepenulisan. Sunlie menengahi, bahwa yang penting bukan soal identitas, tapi posisi dan keterlibatan penulis terhadap subjek/objek kisah.
Penulis Madura bisa berkisah tentang Dayak selama dia punya keterlibatan yg mendalam dengan subjek hidup masyarakat setempat. Tinggal di sana, riset partisipatoris, dll. Posisi penulis juga penting, yaitu berkaitan dengan tujuan penulisan. Apakah hanya untuk menjualnya ke pasar? Atau untuk memberi ruang bagi suara orang-orang Dayak? Sebaliknya, Penulis Tionghoa pun tidak selalu tepat sasaran ketika bicara tentang ke-Tionghoa-annya. Bisa jadi karena kurang terlibat dalam dinamika Tionghoa yang hendak dia kisahkan. Bisa juga karena posisi kepenulisannya yg eksploitatif semata. Hanya untuk mengasong identitasnya.
Usai wicara, saya berkeliling dengan pacar saya. Dia minta dicarikan buku cinta-cintaan. Baiklah, pikir saya. Akan saya carikan kisah-kisah romansa yang tidak murahan. Tapi tidak kunjung ketemu. Sempat berhenti sebentar di kios Radiobuku, melihat-lihat “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!” milik Gus Muh. Tapi urung jadi, sebab sampulnya terlalu gelap. Dia cari yang ringan-ringan. Dan yang ringan-ringan “biasanya” dicitrakan lewat sampul berwarna terang atau pastel.
Lelah berkeliling, dan lelah mencari. Agaknya Bazaar Sastra kurang sediakan sastra yang kami kehendaki. Wabilakhir, dia akhirnya jatuhkan pilihan pada “Memaksa Ibu Jadi Hantu”. Agak aneh, sebab dia sangat alergi film hantu. “Yah, yang penting wacana gendernya, sih.” Baiklah, meskipun saya masih ngganjel. Ibarat membaca sejarah sepakbola, suka sejarahnya tapi tidak pernah doyan bal-balan.