Hairus Salim | Khitah, Islah, dan NU

Teman saya baru-baru ini mengirim peran singkat. “Besok saya pulang ke kampung. Saya mau kembali ke khittah saja. Pamit. Mohon doanya.” Yang ia maksudkan kembali ke khittah (dengan huruf “t” ganda) adalah menjadi pedagang sebagaimana tradisi keluarganya dan meninggalkan profesi penulis yang selama beberapa tahun terakhir digeluti.

Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952) belum memasukkan kata khitah ini. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) sudah memasukkannya dengan mengartikan khitah sebagai cita-cita; langkah; rencana; tujuan dasar; garis haluan; landasan perjuangan; kebijakan. Bisa jadi kata “khitah” masuk ke perbendaharaan bahasa Indonesia atas “sumbangan” NU secara tidak sengaja melalui dinamika organisasinya yang mendapat liputan media.

Menjelang Pemilu 1982, NU–kala itu masih menjadi partai dan bagian dari fusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)-mengajukan nama-nama tokohnya sebagai calon legislator. Namun sebagian besar nama tokoh ini dicoret dan digantikan nama-nama baru dari luar NU. Terjadilah konflik antara NU dan Parmusi, dua unsur dalam fusi PPP di satu pihak. Di pihak lain, konflik yang lebih sengit pecah antara Ketua NU KH Idham Chalid dan para kiai yang dipimpin Kiai As’ad Syamsul Arifin.

Konflik ini berlangsung panjang dan lama, sehingga sangat melemahkan NU. Di tengah konflik itulah, muncul ide agar NU kembali ke hakikat pendiriannya yang awal. Ketika didirikan pada 1926, NU bukanlah partai politik, melainkan organisasi sosial-keagamaan dan berkhidmat pada masalah sosial-keagamaan. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai kembali ke “Khittah 1926”, yang artinya NU kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan. Sejak saat itu, kata khitah–dengan “t” tunggal–kondang di masyarakat.

Tapi mungkin bukan hanya kata khitah ini sumbangan NU secara tidak langsung pada perbendaharaan bahasa Indonesia ini. Ada juga kata islah yang, seperti juga kata khitah, tidak ada dalam Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952). Kembali dinamika NU tahun 1990-an penting ditengok.

Sepanjang 1980-1990, kegamangan menghadapi politik negara membuat NU terseret dalam beberapa konflik internal. Tokoh muda Abdurrahman Wahid, yang kritis terhadap negara, banyak bertentangan dengan para kiai yang cenderung menjaga hubungan baik dengan negara. Para kiai berusaha mendamaikan keduanya dengan menggunakan kata islah, “berdamai” atau “rekonsiliasi”. Kata inilah yang banyak dipakai jurnalis yang meliput saat itu.

Dalam KBBI (1994), islah merupakan kata benda yang bermakna perdamaian. Selain itu, ia merupakan kata kerja: meng·is·lah·kan/mendamaikan.

Demikianlah, sebagai bahasa yang masih muda, bahasa Indonesia terus menyerap dari bahasa asing (Arab, Inggris, dan lain-lain) atau bahasa daerah (Jawa, Melayu, dan lain-lain). Ketiga kata itu dalam KBBI diberi tanda “Ar”, artinya berasal dari bahasa Arab. Jelas ini bukan merupakan fenomena baru. Dalam periode sejarah tertentu, banyak sekali kosakata bahasa Arab masuk ke dalam bahasa Melayu, dan kemudian bahasa Indonesia. Sekarang proses itu terus berlangsung, seperti dua kata ini, menunjukkan NU memainkan peran secara tidak langsung.

Saya menggunakan kata “mungkin” atau “bisa jadi” dalam arti hal ini baru merupakan hipotesis.

Sumber: Koran Tempo, 3 Agustus 2015


Posted

in

by

Tags: