Gubuk Baca Gang Tato | Jabung, Malang, Jawa Timur

Buruh tani, pengamen, sopir, dan kuli, membangun gubuk baca. Mereka, kaum muda Gang Tato, ingin menggeser ruang yang selama ini digunakan warga untuk bermabuk-mabukan. Tujuannya satu, ingin memutus mata rantai kemiskinan dan stigma negatif yang sudah mengungkung kampung itu selama empat generasi.

Semangat itu terlihat pada Senin (22/11) malam. Gubuk Baca Gang Tato tampak ramai anak-anak. Mereka belajar Agama, Bahasa Inggris, Matematika, dan pelajaran lain, dibantu seorang guru dari kampung sebelah. Berbaur di antara mereka, beberapa pemuda mengenakan kaus obong, kalung, serta lengan penuh tato. Jauh dari bayang kengerian preman bertato, para pemuda itu justru telaten membantu anak-anak SD kelas I hingga III itu dalam belajar.

“Milk iku apa? Iku artine susu (Milk itu apa? Itu artinya susu),” ujar Febri Firmansyah alias Lukas (31), pria bertato, salah satu motor perubahan di Gang Tato. Ia membantu anak-anak belajar bahasa Inggris.

Itu hanya sebagian kecil aktivitas di Gubuk Baca Gang Tato. Gubuk baca itu dibangun di atas lahan milik mertua Lukas. Gubuk baca terbuat dari bambu berukuran 6 meter x 2 meter.

Aktivitas gubuk baca mulai terasa siang hari. Seusai sekolah, biasanya anak-anak bermain bersama di sekitar gubuk baca. Sore pukul 17.00, anak-anak mengaji. Selanjutnya seusai maghrib, mereka belajar tugas sekolah bersama guru dan para pemuda Gang Tato.

Gubuk Baca Gang Tato akan ramai pada malam hari. Para pemuda baru bisa berkumpul setelah bekerja. Mereka bekerja sebagai buruh tani, pengamen, sopir, kuli, dan serabutan lain.

“Kami membantu mengajari anak-anak untuk soal yang bisa kami bantu saja. Lainnya kami serahkan kepada guru yang memang kami mintai tolong untuk mengajar anak-anak,” kata Lukas yang bekerja sebagai sopir.

Aktivitas gubuk baca mulai ada di Gang Tato sejak enam bulan lalu. Sejak saat itu, seluruh 45 keluarga di gang itu mendukung penuh kegiatan gubuk baca. Masyarakat patungan uang sukarela, minimal Rp 5.000 per orang, untuk memberi honor guru yang didatangkan untuk mengajar. Seorang guru mengaji, didatangkan dari desa sebelah tanpa harus dibayar. Ia memilih mengajar dengan sukarela.

Selain sebagai tempat belajar, gubuk baca juga digunakan pemuda Gang Tato untuk diskusi atau berbagi pengalaman. Saat ini, mereka sedang bersemangat berwirausaha, dengan membuat kaus khas Gang Tato. Kaus dijual untuk ongkos operasional gubuk baca.

Kaos buatan pemuda Gang Tato cukup unik. Kaus bertuliskan pesan, seperti prei mblunat, wayahe manfaat (berhenti maksiat, waktunya bermanfaat), biyen minuman keras saiki kopi panas (dahulu minuman keras, sekarang kopi panas), dan beberapa kaus bertulis pesan moral lain.

“Tulisan di kaus ini menjadi semacam janji pada diri kami sendiri, untuk berubah menjadi lebih baik. Ketika kami memakai kaus ini, artinya kami harus mau menepati sesuai tulisan di kaus ini,” kata Lukas. Setiap kaus dijual Rp 75.000. Kaus dijual ke beberapa teman dan kenalan, atau dikirim sesuai pesanan.

Berubah

Ramainya aktivitas gubuk baca, secara perlahan menggeser kebiasaan pemuda Gang Tato. Dari mabuk-mabukan, kini mereka berkumpul untuk membahas kegiatan positif. Lambat laun, jalanan Gang Tato yang dahulu berserakan orang mabuk sambil memeluk botol minuman keras, kini hilang. Pemuda setempat malu mabuk-mabukan di depan anak-anak yang belajar. Bahkan teman-teman mereka yang datang untuk sekadar mabuk bersama, juga mulai enggan datang.

“Ya, memang tantangannya berat. Banyak teman-teman protes dan mengatakan kami enggak asyik lagi. Tapi bagaimana lagi. Ini demi anak-anak kami juga. Kami tidak ingin anak-anak kami mengalami susahnya hidup seperti kami,” kata Agung Prasetyo alias Delek (30), yang bekerja sebagai pengamen. Delek pun punya keahlian membuat tato.

Gang Tato memang dikenal sebagai kampung menakutkan sejak zaman kakek buyut Lukas dan Delek. Kampung itu lekat dengan segala stigma negatif yang pernah ada. Urusan berkelahi, mereka jago. Bahkan saking menakutkannya kampung itu, pada malam hari orang lain tidak ada yang berani lewat di depan gang mereka. Menato tubuh menjadi hal lumrah. Gang Tato dihuni 45 keluarga. Rata-rata warga hanya lulusan SD.

“Kami dulu tidak pernah punya teman anak baik-baik. Saat orangtuanya bertanya asal kami, raut muka mereka langsung berubah. Ujung-ujungnya kami tidak diizinkan berteman. Kami juga tidak bisa melamar kerja formal. Mana ada perusahaan mau menerima anak bertato lulusan SD,” ujar Lukas, tertawa. Mereka pun lekat dengan kemiskinan.

Lambat laun mereka berpikir apa hal itu harus juga dirasakan anak cucu? Mereka tidak ingin anak-anak seperti mereka. Mereka memilih untuk berubah.

Pemuda Gang Tato lalu mencari informasi bagaimana cara agar bisa bangkit. Lukas mulai mencari info di media sosial. Ia berkumpul dengan Komunitas Jabung Bersatu, dan beberapa komunitas lain di media sosial.

Pustaka keliling

Bak gayung bersambut, Lukas dan teman-temannya akhirnya berkenalan dengan Fachrul Alamsyah (Irul), penggagas Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) ke kampung itu. GBLN merupakan komunitas baca bagi anak-anak kampung.

Irul masuk ke Gang Tato mulai Mei 2016. Ia mengawali langkah dengan membuka pustaka keliling, menyasar anak-anak sekolah. Pustaka keliling dilakukan dari teras rumah warga ke rumah warga lainnya. Hingga akhirnya, Agustus 2016, warga Gang Tato bekerja bakti bersama Irul, mewujudkan gubuk baca yang seperti ada saat ini.

“Sejak awal saya hanya ingin membantu anak-anak kecil di sini, dengan mencukupi kebutuhan bacaan mereka. Saya ajak mereka bermain dan membaca. Lama-lama, orangtua dan keluarga mereka mendukung. Di sini, kami belajar dan berjuang bersama-sama untuk menjadi lebih baik,” ujar Irul.

Hingga saat ini, Gubuk Baca Gang Tato terus didukung oleh beberapa komunitas sosial. Mulai dari mendapatkan buku-buku, memperluas jaringan, bahkan mengadakan aneka pelatihan.

“Warga sini sangat kompak. Tidak ada konflik seperti yang dibayangkan orang. Semua orang kompak untuk bangkit bersama-sama menjadi lebih baik. Nilai sekolah anak-anak juga terus membaik,” kata Saad (50), Ketua RT 004, Gang Tato.

Stigma negatif Gang Tato terus berkurang. Kini, mahasiswa pun datang, untuk kuliah kerja nyata atau melakukan penelitian.

Semangat para pemuda Gang Tato pun menular ke adik dan anaknya. Siswa SD juga membuka pustaka keliling bagi teman-teman di kampung sebelah yang butuh buku bacaan.

Setiap Jumat hingga Minggu, mereka mengangkut buku bacaan dari gubuk baca dengan menggunakan truk mini. Truk mini itu ditarik ke kampung sebelah. Anak-anak itu pun semangat berbagi ilmu. Mereka paham, mereka harus sama-sama berjuang untuk masa depan lebih baik.

Disalin dari Harian Kompas, 18 Desember 2016.


Posted

in

by