Berkisahlah Daniel Dhakidae tentang George Junus Adtjondro. Setelah setahun di Cornell, Amerika Serikat, suatu hari Ben berkata kepadanya: "Daniel, ada lamaran aneh dari Indonesia; ini orang tidak ada ijazah secarik pun! Ijazah SMA tidak ada, ijazah sarjana muda tidak ada, apalagi sarjana, dan mau ambil program doktor di Cornell!"
Sesudah disebut nama, Daniel bilang tidak terlalu paham peraturan Cornell, tetapi ia berani mengatakan orang tersebut intelijen, tipe manusia pekerja keras, dan tidak ada masalah dengan bahasa-Inggris ataupun Belanda. Kemudian, lahirlah seorang pemegang ijazah PhD, George J. Aditjondro.
George Junus Aditjondro wafat pada 10 Desember 2016 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Nyaris seluruh media daring memberitakan kematiannya. Sebut saja tirto.id, detik.com, tempo.co, thejakartapost.com, dan beritagar.
George yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 27 Mei 1946. Sejak 2012, ia menderita stroke. Sebelum tinggal dan dirawat di Palu sejak 2014, ia dirawat di Yogyakarta. Di Palu, ia didampingi istrinya, Erna Tenge, dosen pada Fakultas Ekonomi Untad.
Penulis yang terkenal dengan buku Gurita Cikeas (2009) ini adalah cendekiawan pengembara. Ia menulis korupsi secara konsisten dan mengeritik kekuasaan Orde Baru bahkan ketika rezim ini sedang kuat-kuatnya.
Kampus Cornell, AS, tempat ia mendapatkan gelar doktor, justru memulai langkahnya untuk menjadi cendekiawan pengembara yang hidup dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota lain, dan dari satu komunitas ke komunitas lain. Para penggiat perubahan sosial yang tinggal di Aceh hingga Papua pastilah mengenal dekat George Junus Aditjondro.
Sebagai alumni pendidikan tinggi yang bonafide, George Junus punya potensi menjadi sekrup proyek pemerintah, pengajar di kampus ranking satu, atau bahkan komisaris di korporasi. Namun ia memilih jalan lain yang tidak “normal” dan “lazim”. Ia menjadi cendekiawan publik yang merawat semangat bahwa perubahan sosial mesti terus diperjuangkan dan cendekiawan tak boleh absen di dalamnya walau hidup melarat menjadi niscaya.
George Junus melawan kekuasaan korup tanpa pasukan. Ia melawan dengan buku dan tulisan-tulisan yang berserakan di majalah, brosur, dan media daring. Bukan hanya kekuasaan korup Presiden Soeharto yang disingkapnya, melainkan juga rezim penggantinya. Termasuk perlawanan terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadikannya sebagai salah satu newsmaker di pengujung 2009.
Karena komitmen pada dunia arus bawah ini Aditjondro berhadapan vis a vis dengan Raja Yogyakarta ihwal sengketa tanah Kulon Progo yang membuatnya nyaris diusir elemen pendukung raja dari kota tempat koleksi bukunya ia simpan. Bahkan ia juga disingkirkan dari tempatnya mengajar di salah satu kampus swasta dan, terutama, mata kuliah Marxisme yang diampuhnya turut serta hilang.
Di saat pelbagai teror dan ancaman itulah kita tahu bahwa Aditjondro tak memiliki tanah dan rumah untuk tempat tinggalnya. Ia cendekia pengembara par excellence bersama 2.500-an judul buku serta boks-boks berkas dan catatan lapangan, kliping laporan media dan sebagainya.
Dua kali diserang stroke yang nyaris merenggut nyawanya, Aditjondro menjalani kehidupan kedua di Kota Palu yang jauh dari ingar-bingar — dan di sanalah ia akhirnya mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Beberapa buku yang ditulis George Junus Aditjondro:
Sketsa: Andre Tanama