Halo kawan-kawan, salam kenal. Namaku Ferdinando Septy Yokit. Panggil saja, Ifan. Soal perbedaan nama lengkap dengan nama panggilanku yang jaraknya bak langit dan bumi itu, silahkan tanya kedua orang tuaku mengapa bisa demikian. Aku lahir 28 tahun yang lalu di sebuah kampung di pedalaman Papua yang jauh dari hiruk-pikuk modernism.
Mula-mula, datang ke Jogja untuk main atau, kata orang, sekadar “numpang minum.” Namun Jogja menuntunku untuk terus belajar banyak hal. Ekosistem Jogja benar-benar cocok untuk orang-orang doesoen sepertiku yang tak pernah berhenti mencari relasi dan pengetahuan baru.
Tidak banyak orang mengenal diriku dengan pasti. Ini tidak berarti aku adalah orang yang tertutup. Justru aku lebih tertarik blakblakan alias terus terang kalau lagi ngomong. Bisa jadi, itu sebabnya aku tidak terlalu pandai berdiplomasi meski aku adalah lulusan sarjana Hubungan Internasional.
Pemahamanku masih ‘angin-angin’ perihal membaca apalagi menulis. Aku tidak ingat dengan pasti sejak kapan mulai tertarik untuk membaca. Sebab, bagiku bisa membaca dan mengartikulasikannnya saja sudah istimewa. Minat bacaku pun tumbuh justru ketika berjumpa dengan individu dan sejumlah komunitas di Jogja yang sangat menghargai pendidikan. Aku termasuk orang yang percaya bahwa belajar itu tidak selalu ber-patron pada standarisasi akademik yang kaku. Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.
Keseharianku di Jogja kini tak lagi seperti sembilan tahun lalu. Saat ini, aku memilih lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar menulis sembari mengumpulkan buku untuk Rumah Baca Digoel (CIBUK) di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Sesekali mendaki gunung kalau lagi jumud.
Salam!