Dian R Basuki | Kapan Kita Punya Proyek Gutenberg Sendiri?

Naskah kuno yang jadi koleksi Museum Radya Pustaka di Solo kabarnya bakal di-digitalisasi mulai tahun depan. Meskipun terlambat, rencana ini patut disambut baik. Naskah yang ditulis dalam huruf Jawa akan dialihaksarakan ke dalam huruf Latin. Bahasanya pun akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Alih-aksara dan alih-bahasa itu memang harus dilakukan agar semakin banyak orang bisa membaca isi naskah-naskah tersebut. Jika naskah kuno itu hanya didigitalisasi tapi masih dalam Bahasa Jawa, manfaatnya hanya terbatas karena yang mampu membaca mungkin hanya bertambah sedikit.

Penyelamatan melalui digitalisasi ini penting lantaran naskah itu bakal semakin lapuk dimakan usia. Kitab Wulangreh karya Paku Buwana IV ditulis sekitar awal abad ke-19, jadi usianya hampir dua ratus tahun. Kitab ini salah satu dari sekitar 380 naskah tulisan tangan. Bila tidak segera direkam dalam bentuk digital, naskah bisa keburu rusak.
Melalui digitalisasi, bila terjadi sesuatu yang buruk pada naskah-naskah tua tersebut—dicuri, atau karena sebab lainnya—isi kandungannya masih dapat diselamatkan. Bukankah banyak orang yang berminat pada benda dan naskah kuno dan mengincar koleksi semacam yang ada di Radya Pustaka ini?

Lewat digitalisasi, akan lebih banyak orang dapat mengakses kandungan kearifan yang ada di dalam naskah-naskah tersebut. Bila naskah-naskah itu dapat diakses melalui Internet oleh siapapun dari tempat manapun, tentu merupakan kemudahan yang patut diapresiasi. Mereka yang ingin melakukan riset, mungkin tak perlu membaca naskah aslinya agar naskah asli tetap awet.

Dengan diunggah di Internet, dalam bahasa Indonesia atau Inggris, orang bisa membaca Serat Kalatidha, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang mashur itu. Atau mempelajari sejarah melalui Babad Tanah Jawi. Kearifan, kebijaksanaan, dan pemahaman historis dan sosial para penulis seperti Ranggawarsita itu teramat sayang bila hanya tersimpan di Museum dan akan jauh lebih berguna bila didigitalisasi dan dapat diakses siapapun.

Proyek Gutenberg merupakan contoh yang luar biasa dalam menyimpan karya tulis dalam format digital, sehingga orang dari belahan bumi manapun dapat mengakses karya-karya penulis di sepanjang sejarah. Kita dapat mengunduh dan membaca Republik karya Plato hingga Hamlet karya William Shakespeare.

Saya berharap, langkah mendigitalisasi ini tidak berhenti pada koleksi naskah dan bukku langka koleksi Radya Pustaka. Tapi diikuti dengan digitalisasi naskah-naskah penting lain yang merupakan buah kearifan lokal di seluruh wilayah Indonesia. Naskah-naskah kuno yang menyimpan kebijaksanaan masyarakat setempat maupun penulisnya niscaya dapat dijumpai juga di Tanah Sunda, Sulawesi, Sumatra, Padang, Bali, dan lainnya. Di Sumatara Barat, umpamanya, pernah ditemukan naskah yang diduga berasal dari masa Kerajaan Adityawarman (sekitar pertengahan abad ke-14).

Jika naskah-naskah itu digitalisasi dalam suatu proyek besar, layaknya Proyek Gutenberg, dampaknya akan sangat berarti. Bukan saja untuk menyelamatkan naskah itu dan kandungannya, tetapi langkah ini akan membuka akses yang luas bagi siapapun, khususnya orang Indonesia, untuk mempelajari kearifan bangsa sendiri seperti ditulis oleh pujangga-pujangga kita dari zaman baheula.

Sumber: blog.tempointeraktif.com | 7 November 2013


Posted

in

by

Tags: