Cek Style

Ini Heading 1

Ini Heading 2

Ini Heading 3

Ini Heading 4

Ini Heading 5

PERHELATAN akbar Frankfurt Book Fair (FBF) sudah usai. Lampu sorot yang menerangi panggung utama tempat Indonesia tampil sebagai tamu kehormatan telah dipadamkan. Properti pertunjukan telah dikemas.

Buku-buku yang mendandani penampilan Indonesia di panggung pentas dunia itu kembali ke tempatnya semula di negeri ini. Mereka (buku-buku) meng huni sudut-sudut sunyi.

Kesempatan tampil dan menjadi pusat perhatian di ajang seperti Frankfurt Book Fair ialah kemewahan bagi bukubuku produksi dalam negeri.

Realitas bagi buku-buku karya anak negeri ini ialah menghadapi kenyataan bahwa buku masih merupakan komoditas industri. Dengan tingkat minat baca dan daya beli masyarakat yang rendah, harga kertas yang terus melonjak, masalah pembajakan, dan pajak pertambahan nilai (PPN) buku, produksi buku-buku di dalam negeri masih berjuang untuk memenuhi target penjualan yang sering begitu sulit diraih. Buku anak Indonesia, terutama, masih belum menjadi produk budaya.

Realitas buku anak Indonesia tak seindah logo 17 ribu Pulau Imaji (17.000 Islands of Imagination) bernuansa monokrom yang menjadi slogan Guest of Honour tahun ini.

Dengan merepresentasikan kemajemukan Indonesia, logologo ini merupakan rangkaian titik-titik piksel yang secara imajinatif membentuk gambar candi, reog, gunungan wayang, dan artefak lain yang sangat Indonesia. Saat tersebar di pusat-pusat keramaian dan Terminal S-Bahn, logo-logo ini mengundang pengamatan multiperspektif dan imajinasi kreatif.

Imaji ini mengingatkan kita bahwa Indonesia, sebagaimana tutur Benedict Anderson (1991), ialah sebuah imagined community. Meskipun mungkin tak mengenal atau bahkan bertemu satu sama lain, kita mengembangkan ikatan kebangsaan dengan membayangkan Indonesia sebagai komunitas yang kohesif. Melalui logo-logo itu, Indonesia tampil dalam wajahnya yang majemuk, terbuka, dan kreatif. Sayangnya identitas itu kurang tecermin dalam bukubuku anak Indonesia yang dipajang di pentas Frankfurt Book Fair.

Buku bacaan ialah buah pikir yang merefl eksikan perjalanan sebuah bangsa dalam berproses memaknai jati dirinya yang unik. Melalui buku, sebuah bangsa membuka dirinya untuk dipelajari dan dimengerti bangsa lain. Buku ialah karya intelektual yang merekam jejak pemikiran seseorang yang dibesarkan dalam konteks budaya tertentu.

Dengan demikian, buku ialah produk budaya yang merekam proses pencarian jati diri bangsa. Bagi pembaca anak, buku bacaan membantunya untuk memahami identitasnya, siapa dia dan di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Sebuah buku akan membantu anak untuk memahami lingkungan sosial dan bangsanya.

Identitas kebangsaan memang seharusnya tidak dipahami secara stagnan. Indonesia tumbuh secara dinamis sebagai bangsa, begitu pun anak-anak Indonesia. Anak tumbuh dalam lingkungan sosial yang menghadirkan tantangan demi tantangan.

Kemiskinan struktural, bencana alam akibat menurunnya kualitas lingkungan, dan sistem pendidikan yang semakin kompetitif ialah realitas modern yang mereka akrabi. Di samping itu, keragaman budaya menuntut anak-anak untuk piawai menyesuaikan diri.

Adakah multikulturalisme, isu sosial, dan lingkungan terartikulasikan dengan baik dalam bacaan anak kontemporer? Sayangnya tidak.