Zaman sudah berubah, menerbitkan buku tidak lagi susah. Penerbit makin banyak bermunculan. Banyak orang dan kalangan berlomba-lomba menerbitkan buku. Komunitas-komunitas sastra menerbitkan antologi puisi atau cerpen. Para dosen menerbitkan buku-buku teks atau panduan bagi mahasiswa, sekalian menambah poin angka kreditnya. Para pembicara seminar menulis buku yang berisi materi-materi seminarnya, sekalian dijual saat mengadakan seminar di berbagai tempat. (lebih…)
Arsip Esai Toggle
Pradewi Tri Chatami | Surat untuk Tuan Penyair
Akhir-akhir ini, saya sedang tidak bisa menulis puisi. Memang sebagian besar karena pusing memikirkan judul skripsi, tapi selain itu, ada juga alasan lain. Alasan yang barangkali seperti mengada-ada, tapi demi apapun yang bisa dipercaya dalam pertaruhan sumpah, benar adanya.
Leon Agusta | Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai
* Tanggapan untuk Maman S Mahayana
Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi. (lebih…)
Muhidin M Dahlan | Jurnalisme Pamflet
Ketika menerima bundelan utuh djoernal sastra boemipoetra (2012), yang terbayang adalah jurnal yang isinya mengajak berkelahi dengan tangan terus terkepal sebagaimana tercetak di sampulnya. Bundel ini berisi 21 edisi boemipoetra selama lima tahun berkiprah (2007-2012) di lapangan sastra Indonesia. (lebih…)
Anwar Holid | 25 Buku yang Membuat Yusi Avianto Pareanom Tidak Akan Nelangsa Jika Terdampar di Sebuah Pulau
Akhir tahun 2013 saya bertemu Yusi Avianto Pareanom, penulis kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa dan sejumlah buku lain. Selain sebagai penulis fiksi dan nonfiksi, Yusi juga dikenal sebagai penerjemah yang kurang ajar, editor yang tega, guru menulis di sebuah sarekat, selain pendiri Penerbit Banana yang suka menerbitkan buku-buku mana tahan. Saya tanya, “Buku yang hebat itu seperti apa? Kalau perlu sebut judul-judulnya.” (lebih…)
Petrus Suryadi Sutrisno | Mencermati Tamatnya Edisi Cetak Majalah Newsweek
Majalah Berita Mingguan “Newsweek” yang terbit dalam dua belas bahasa di New York, AS dan beredar jutaan eksemplar di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia 31 Desember 2012 muncul dengan judul sampul “Last Print Issue” dan tidak akan pernah muncul lagi setelah berusia 80 tahun. (lebih…)
Maman S Mahayana | Posisi Puisi, Posisi Esai
Ketika jurnalistik berhadapan dengan tembok kekuasaan, sastra dapat digunakan sebagai saluran”. Begitu pesan Seno Gumira Ajidarma dalam buku antologi esainya, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997). Pesan itu juga sebagai bentuk pertanggungjawaban estetik atas sejumlah cerpennya yang berkisah tentang berbagai peristiwa aktual dan faktual. Secara cerdas, Seno menunjukkan posisi sastra yang bisa begitu lentur dalam menyampaikan kritik sosialnya. Maka, peristiwa sosial politik tentang petrus (Penembak Misterius, 1993) dan tragedi di Dili (Saksi Mata, 1994) yang tabu diberitakan sebagai laporan jurnalistik, dikemassajikan dalam bentuk cerpen yang asyik. (lebih…)
Melmarian | 5 Cover Novel Terjemahan Terjelek
Tadinya saya sempat ragu-ragu dalam menulis post ini. Ada wacana dari teman-teman BBI untuk mempost cover buku terjelek versi masing-masing, bukan untuk mencaci maki melainkan sebagai kritik yang membangun. Sebagai bukti bahwa kami para blogger buku peduli, bahkan sampai mengenai cover atau sampul buku.
(lebih…)
Arman Dhani | Lima Buku Tak Layak Terbit 2012
Menulis buku tak pernah mudah. Tapi bukan berarti setiap karya yang lahir harus diapresiasi dengan gegap gempita. Saya ingat dalam sebuah otobiografi, The Nightmare of Reason: A Life of Franz Kafka yang disusun Ernst Pawel, Kafka pernah hendak membakar semua karyanya karena dianggap tak layak baca. Beruntung naskah itu tidak jadi dibakar, karena semua orang kemudian tahu bahwa karya Kafka akan melampaui zamannya. Penjaga estate Kafka Max Brod tidak hanya tidak membakar naskah itu, namun juga menerbitkannya sehingga kita bisa menikmati cerita-cerita kanonik yang luar biasa itu. (lebih…)
F. Daus AR | Makassar, Urbanisasi, dan Penulis
Sejarah para penulis di Makassar adalah sejarah lain dari urbanisasi. Saya memulainya dengan kiprah Retna Kencana Colliq Pujie (Arung Pancana Toa) pada tahun 1852 yang menuliskan kembali epos La Galigo, meski hanya sampai 12 jilid. Hasilnya, pengingatan kesadaran, sejarah, dan asal-usul dari epos tersebut dapat dijamah oleh generasi sekarang. (lebih…)