Bukan Sekadar Hari Ibu

Peringatan hari istimewa seringkali menjadi moment yang dinantikan oleh banyak perempuan. Mewah atau sederhana perayaan yang dilangsungkan sama sekali bukan menjadi perhatian utama. Bentuk penghargaan dan kasih sayang melalui ucapanlah yang senantiasa menjadi kebahagiaan di hati kaum hawa. 

Selain hari ulang tahun pribadi ataupun hari ulang tahun pernikahan, peringatan Hari Ibu Nasional ternyata juga menjadi daftar hari istimewa yang berkesan bagi para ibu di Indonesia. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh orang-orang terkasih, seperti suami dan anak-anak untuk mengutarakan besarnya rasa terima kasih dan cinta untuk perempuan terhebat dalam hidup mereka. 

Beberapa bait puisi barangkali tak sungkan-sungkan dibacakan seorang anak di depan ibunya, menyusul kemudian sebuah kecupan dan setangkai bunga mawar. Ada pula yang diam-diam menghadiahkan ibunya baju, sepatu atau tas baru. Di lain tempat, barangkali beberapa anak mungkin sedang mengambil alih kuasa dapur untuk memasak sesuatu yang spesial untuk ibu terkasih. Apapun bentuk dan tanda kasih seorang anak kepada ibunya di hari ibu, pastilah setiap ibu yang menerimanya merasa teramat bahagia, bahkan sekalipun itu hanya sebuah ucapan rasa terima kasih tanpa perayaan atau hadiah apapun. 

Kekuatan, kesabaran sekaligus kasih sayang dalam diri seorang ibu ketika mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka sesungguhnya adalah bentuk ketulusan yang secara alamiah menguak dari batin seorang perempuan yang cenderung tak menuntut pamrih. Kalaupun ada ibu yang kejam dan tega menelantarkan anak-anaknya, pastilah itu terjadi atas proses yang panjang atau pergolakan yang besar dalam dirinya hingga akhirnya ia menyerah dan mengingkari kodratnya sebagai seorang perempuan. Sejatinya, setiap perempuan dianugerahi kekuatan, kesabaran dan kasih sayang yang besar untuk merawat dan mengasuh, atau lebih tegasnya dalam berperan melangsungkan peradaban.

Mengenali potensi ‘keibuan’ serta kodrat yang sama, yang dimiliki oleh setiap perempuan adalah kesadaran yang perlu dimiliki oleh perempuan-perempuan Indonesia sejak dini atau setidaknya sejak mereka beranjak dewasa. Naluri ‘keibuan’ yang sering dikagumi karena kehebatan dan kekuatannya tidak hanya diperuntukkan kepada perempuan yang sudah melahirkan atau kepada perempuan-perempuan yang telah berhasil membesarkan anak-anak mereka. Perayaan Hari Ibu Nasional bukan sekadar dialog antara anak kepada ibu. Apakah setiap ibu yang telah kehilangan anak, atau isteri yang belum dikaruniakan anak harus bersedih setiap Hari Ibu tiba? Atau, apakah setiap anak yatim-piatu harus berduka setiap memperingati Hari Ibu? Apakah anak-anak Indonesia hanya menunggu Hari Ibu tiba untuk mengutarakan tanda cinta dan kasih kepada perempuan yang telah melahirkan mereka? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu bagi kita untuk melihat asal-usul sejarah diperingatinya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional. 

Kongres Perempuan Pertama 

Pada tahun 1928, tepat dua bulan setelah Kongres Pemuda Indonesia (Ikrar Sumpah Pemuda), diselenggarakan sebuah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Kongres inilah yang  telah mengawali pergerakan emansipasi di Indonesia, terutama oleh para aktivis perempuan. Resepsi pembukaan resmi Kongres Perempuan pertama tersebut diadakan pada malam tanggal 22 Desember dan berakhir pada tanggal 25 Desember 1928. Adapun hal-hal yang dirembukkan dalam kongres tersebut adalah keputusan-keputusan penting yang diperjuangkan untuk kemajuan perempuan Indonesia pada saat itu, bahkan di antaranya ada yang hingga kini masih sangat relevan untuk ditindaklanjuti.

Proses berlangsungnya kongres tersebut diuraikan dengan cukup lengkap dalam sebuah buku yang berjudul Kongres Perempuan Pertama oleh Susan Blackburn dari Australia setelah penemuannya atas fotokopi majalah Isteri edisi pertama di Perpustakaan Nasional Jakarta pada tahun 1993. Dalam majalah tersebut dimuat hasil laporan Kongres Perempuan pertama beserta beberapa pidato yang disampaikan oleh para hadirin dari berbagai organisasi perempuan pada waktu itu. Adapun beberapa topik atau judul pidato yang disampaikan dalam kongres adalah mengenai pergerakan perempuan, perkawinan dan perceraian, derajat perempuan, adab perempuan, perkawinan anak-anak, cita-cita putri Indonesia, kedudukan perempuan dalam kehidupan, dan terakhir mengenai kebutuhan akan tenaga perempuan dalam pekerjaan sosial. 

 Hari Ibu – Seruan Kepada Seluruh Perempuan Indonesia 

Atashendartini Koesoemo Oetoyo juga menjelaskan dalam kata pengantar di buku tersebut bahwa pada tahun 1938, sepuluh tahun setelah Kongres Perempuan pertama disepakati setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Lalu pada tahun 1950, tanggal 22 Desember akhirnya dijadikan sebagai Hari Besar Nasional. Meskipun begitu, dalam uraian selanjutnya beliau paling merekomendasikan buku Kongres Perempuan Pertama kepada kaum kawula muda Indonesia, dan bukan hanya untuk ibu-ibu yang sudah berumah tangga. Hal ini dimaksudkan agar semangat para aktivis tahun 1920-an tetap membara, dan perjuangan untuk mendapatkan hak-haknya benar-benar harus menjadi kenyataan sehingga perempuan tidak lagi tertindas, namun berdiri tegak setara dengan kaum laki-laki. 

Beliau juga menyampaikan pendapatnya tentang organisasi yang terlibat dalam kongres memperlihatkan semangat berorganisasi kaum perempuan pada saat itu sudah sangat tinggi. “Kelihatannya, perempuan Indonesia tidak mau kehilangan eksistensinya” demikian beliau menambahkan. Pernyataan ini tentu saja menjadi tantangan bagi perempuan Indonesia masa kini. Apakah berbagai masalah perempuan yang sudah dirembukkan pada Kongres Perempuan pertama sudah selesai? Isu/topik-topik pidato yang telah diuraikan di atas mengingatkan bahwa persoalan perempuan di Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. 

Sudah 92 tahun berlalu sejak dimulainya emansipasi perempuan di Indonesia, namun sampai saat ini masih banyak perempuan yang mengalami diskrimnasi dan dipandang sebelah mata oleh laki-laki, bahkan tak jarang oleh perempuan itu sendiri. Sudah 92 tahun berlalu, namun pemerkosaan terhadap perempuan masih terjadi di berbagai tempat, begitu pula dengan kekerasan rumah tangga. Di daerah-daerah terpencil, beberapa perempuan barangkali masih merasa terasing secara sosial dan ekonomi, masih terjerat oleh adat-istiadat yang merampas hak dan kebebasan mereka. Di kota-kota besar, barangkali beberapa perempuan tengah terjerumus dalam pola hidup yang konsumtif, sepanjang hari sibuk mengurus diri dan kecantikan, serta berbelanja banyak barang di luar kebutuhan. Kecerdasan, kemapanan dan potensi diri tidak diasah atau disumbangsihkan agar berguna bagi sesama atau setidak-tidaknya bagi sesama perempuan yang barangkali dilemahkan oleh sistem. Sudah 92 tahun berlalu, namun gambaran kehidupan perempuan-perempuan Indonesia masih memprihatinkan. 

Hari Ibu Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Desember lahir dari semangat besar kaum aktivis perempuan Indonesia pada masa lalu untuk melawan segala bentuk ketertindasan yang menimpa diri mereka, untuk memajukan potensi sekaligus kesejahteraan perempuan, serta untuk mengambil peran dalam berbagai bidang yang dianggap mampu bersumbangsih dalam persatuan manusia. Jika hari ini sejarah telah menjadi titik terang untuk memandu perjalan perempuan Indonesia ke depan, masihkah kita akan memperingati hari Ibu sekadar dengan budaya-budaya yang menyamankan, lantas melupakan eksistensi dari keberadaan seorang perempuan? Hari ini sudah saatnya kita menyuarakan Hari Ibu Nasional kepada seluruh perempuan-perempuan Indonesia untuk membangkitkan potensi ‘keibuan’ dengan kekuatan, kecerdasan, kesabaran dan kasih sayang untuk menciptakan peradaban yang lebih baik. 


Posted

in

by