Profesor Benedict Anderson meninggal di Jawa Timur pada 13 Desember lalu. Selain keluarganya, yang merasa paling kehilangan adalah para cendekiawan dengan keahlian studi Indonesia dan Asia Tenggara. Nama besar Ben Anderson yang dibangun sejak dekade 1960-an sudah lama melampaui wilayah keahlian utamanya.
Jenazah ahli dan peneliti tentang Indonesia, Ben Anderson, disemayamkan di rumah duka Adiyasa, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (15/12).
Di tingkat global, Anderson dikenal sebagai teoretisi fenomena nasionalisme dengan diterbitkannya buku Imagined Communities pada 1983. Selama kariernya, pengaruh Anderson membentang dari ilmu politik, sosiologi, antropologi, hingga bahasa dan sejarah. Namun, ada benang merah dalam kariernya, yaitu kebiasaan untuk "membangkang" pada konvensi, terutama pada topik akademis yang digelutinya.
Kadang kala kebiasaan itu disertai pembangkangan politik sehingga Anderson dikenal sebagai pengkritik kebijakan luar negeri Pemerintah Amerika Serikat sejak zaman Perang Vietnam. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah negeri yang pernah ditelitinya, terutama dalam masalah demokrasi dan HAM.
Di awal karier, ia "membangkang" kepada gurunya sendiri, pendiri Studi Indonesia di Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. Dalam karya Kahin tentang revolusi nasional Indonesia, perhatian condong diberikan kepada tokoh politik seperti Sutan Sjahrir, yang mewakili kelompok intelektual berhaluan liberal dan sosial demokrat. Namun, dalam buku Java in a Time of Revolution (1972), Anderson justru menonjolkan peranan kelompok pemuda radikal dan marjinal, terutama yang mengelilingi tokoh kiri, Tan Malaka.
Perhatian Anderson kepada Indonesia sejak muda menjadikannya pengecam rezim Orde Baru. Dalam suatu percakapan, Anderson pernah mengatakan bahwa "dosa" utama Orde Baru adalah upaya pembodohan sistematis terhadap rakyat.
Menurut Anderson, diskursus politik Orde Baru telah menumpulkan imajinasi satu generasi bangsa yang tidak bisa membayangkan perkembangan negerinya sebagai bagian dari gerak perubahan dunia. Biang keladinya adalah anggapan bahwa sejarah dan budaya Indonesia begitu unik sehingga tidak bisa diperbandingkan dengan negeri lain. Tujuan rezim adalah mematikan tuntutan demokratisasi dari dalam dengan menyatakannya sebagai sesuatu yang asing.
Ironisnya, Anderson telah menyumbang pada legitimasi diskursus tersebut. Dulu banyak ilmuwan Indonesia yang membenarkan otoriterisme dengan menunjuk pada salah satu karya Anderson. Dipengaruhi sosiologi Weberian, artikel ini, The Idea of Power in Javanese Culture, menyatakan, pengertian kekuasaan dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan Barat sehingga berakibat keengganan berbagi kekuasaan serta penerimaan terhadap pengumpulan kekayaan lewat kuasa politik.
Saya pernah menanyakan kepada Anderson bagaimana perasaannya bahwa karyanya dipakai sebagai bagian apologia Orde Baru. Seingat saya, dia menerima saja kenyataan itu, tetapi disertai nasihat menarik (waktu itu saya baru mulai berpikir untuk menempuh jalan sebagai cendekiawan).
Pertama, ia membuat perumpamaan bahwa setiap karya tulis bagaikan anak sang penulis. Kedua, ia mengingatkan, setelah membesarkan anak, kita tidak punya kendali terhadap jalan kehidupannya di kemudian hari-sebagai misal bisa saja anak tersebut menikahi orang yang tidak disukai orangtuanya. Dengan demikian, ia dapat menerima kenyataan salah satu anaknya telah "menikah" dengan Orde Baru yang tidak disukainya.
Karya Idea of Power sebetulnya dimulai sebagai pembangkangan juga. Pembangkangan terhadap ilmu sosial Amerika Utara yang sempat didominasi sejenis struktural fungsionalisme dan 'teori sistem' yang mekanistis. Bagi Anderson, perspektif ini gagal menangkap sistem simbolis yang mengorientasikan perilaku politik.
Untuk sebagian, cara berpikir ini pula yang menggiring Ander- son pada Imagined Communities yang terkenal. Dalam buku tersebut, Anderson menyatakan, nasionalisme membutuhkan rasa persamaan dalam suatu komunitas luas yang anggotanya tidak saling mengenal langsung. Solidaritas tersebut lahir dari industri modern, seperti koran yang dibaca bersama (dalam bahasa yang dipahami bersama) atau mungkin buku-buku kewarganegaraan di sekolah.
Memang Anderson semakin berupaya untuk memahami perubahan budaya dengan cara yang bersinggungan dengan pola kajian neo-Marxian yang mementingkan perkembangan material, bukan saja gagasan, dalam masyarakat. Dalam karya-karya Anderson tentang Thailand, kita menemukan perhatian terhadap persoalan konflik kelas dan hubungan negara dan masyarakat.
Ironi dan kontradiksi
Seiring dengan itu, ironi dan kontradiksi sejarah semakin menjadi ciri tulisan Anderson, bahkan dalam karya belakangan tentang anarkisme dan nasionalisme. Anderson menunjukkan bagaimana politik anarkisme-yang amat anti otoritas-justru membantu mewujudkan imajinasi tentang negara-bangsa Filipina modern.
Menurut hemat saya, kegemaran pada ironi pertama kali terwujud dari pengalaman Anderson dengan Indonesia. Sebab, sejak masa awal Orde Baru, ia sudah menyadari bahwa sebagian pemuda serampangan dan radikal yang pernah dipujinya telah menjadi tua dan korup, sebagai jenderal dan birokrat zaman Soeharto yang bahkan melarangnya memasuki Indonesia.
Seiring dengan itu, budaya Jawa-yang pada masa muda dielukannya sebagai alternatif terhadap budaya Barat yang dirasakan semakin kering dan pragmatis-telah membinasakan Indonesia revolusioner yang dicintainya karena semakin menonjolkan aspek feodal dan otoriter.
Sejak diperbolehkan kembali ke Indonesia, Anderson amat perhatian terhadap kreativitas orang Indonesia, terutama pemudanya. Namun setelah reformasi, kalangan cendekiawan sering menyayangkan bahwa ilmuwan Indonesia jarang melahirkan karya yang mempunyai nilai teoretis dan komparatif.
Karena itu, ada satu ironi lagi: Ben Anderson-orang Irlandia yang lahir di Tiongkok dan berkarier di AS-menggunakan pengalaman dan pengetahuannya tentang Indonesia untuk melahirkan karya besar, seperti Imagined Communities, yang justru amat kaya dengan nilai seperti itu. (VEDI R HADIZ)
Sumber: Kompas, 16 Desember 2015. Diarsipkanwarungarsip.co.