Agus M Irkham | Momentum Tamu Kehormatan

Indonesia menjadi tamu kehormatan (guest of honour) pada Frankfurt Book Fair 2015, yang akan digelar pekan kedua Oktober 2015.

Berbagai persiapan dilakukan. Di antaranya berupa penerjemahan 200 buku (sastra) ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Presiden Joko Widodo juga menerima 17 wartawan Jermandi Istana Kepresidenan. Para wartawan tersebut datang dengan niat menulis tentang Indonesia selaku tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair itu.

Selain itu, menurut keterangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, sebagai bentuk dukungan pemerintah, Presiden Jokowi juga berencana hadir dalam helatan tersebut.

Oleh pemerintah, pameran buku terakbar dunia itu akan dijadikan momentum kebangkitan literasi sebagai ujung tombak kebangkitan bangsa Indonesia.Melalui penerjemahan terutama karya-karya sastra, diharapkan menjadi sarana mengenalkan Indonesia kepada dunia. Mengenalkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki pemikiran sendiri, tidak kalah penting dengan urusan ekonomi dan budaya.

Sebuah visi yang patut kita dukung bersama. Hanya saja impiantersebut dalam jangka panjang tidak akan berkelanjutan jika tidak didukung perbaikan ekosistem industri perbukuan dan kesamaan agenda: gerakan budaya baca di Tanah Air.

Problem makro

Ada berderet problem makro dalam industri perbukuan dan gerakan budaya baca di Indonesia. Indeks reading per capita kita hanya 0,36 (sepertiga buku). Jauh di bawah negeri tetangga, Malaysia (1,07) bahkan Vietnam sekalipun (0,53).Jumlah penerbit, 90 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa.Secara nasional toko buku hanyaberjumlah 1.500 yang artinya rerata jarak antartoko buku sejauh 1.281 kilometer. Itu pun luas perairan yang kita miliki tidak dihitung. Dari jumlah tersebut 80 persen di Pulau Jawa.

Jumlah perpustakaan di Indonesia hanya 61.477. Dari jumlah tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa, 36.929 perpustakaan (60 persen). Bandingkan misalnya dengan Kalimantan 3.031 perpustakaan (4,9 persen), dan Maluku-Papua 246 perpustakaan (0,4 persen).

Dari sisi regulasi, Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan Nasional yang disiapkan sejak 2006 hingga kini tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang.Sebaliknya, Presiden Jokowi justru membubarkan keberadaan Dewan Buku Nasional (DBN).

Padahal, saat DBN dibentuk tahun 1999, dimaksudkan untuk membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan strategi dalam pengembangan perbukuan, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat serta kemampuan sumber daya manusia perbukuan secara nasional.

Ketiadaan payung hukum yang melindungi serta lembaga pemerintah yang secara khusus membina dunia perbukuan membuat noble industry (industri mulia) ini mengalami peyatiman. Tanpa ayah. Tanpa arah.Menjadi autopilot sektor swasta.

Ketimpangan literasi

Beberan perangkaan serta fakta di atas memunculkan masalah akut berupa berlangsungnya ketimpangan literasi antara Jawa dan luar Jawa, terutama di kawasan Indonesia timur. Wujud ketimpangan tersebut baik dari segi distribusi (buku) bacaan maupun produksi,yaitu menumpuknya penulis di Jawa.

Akibatnya dalam lalu lintas wacana ilmu pengetahuan dan informasi, masyarakat terutama di kawasan Indonesia timur, lebih banyak menjadi obyek.Kontribusinya minim sekali terhadap pengetahuan yang terpadatkan dalam bentuk buku.

Sejatinya inisiatif untuk memperpendek bentangan jarak ketimpangan tersebut sudah berlangsung melalui pembentukan komunitas literasi.Paling kurang ada 50 komunitas literasi di Indonesia (Agus M Irkham, Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).

Dalam catatan saya, dari 50 komunitas literasi itu, banyak yang telah mampu melakukan edukasi dan promosi melalui media cetak dan elektronik. Baik berupa feature tentang pegiat literasi, penjagaantema budaya baca sebagai isu nasional agar tidak hilang tertelan oleh pergantian isu yang datang bergulung-gulung,maupun berupa liputan kegiatan.

Tidak hanya itu, beragam komunitas literasi tersebut juga berhasil memotivasi dan mendampingi masyarakat untuk tidak saja membaca, tetapi juga menulis, bahkan menerbitkan buku.Mereka juga menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang bisa menggerakkan masyarakat untuk menggali sejarah sosial masing-masing daerahnya.

Hanya saja ada masalah mendasar yang dihadapi komunitas literasi tersebut, yaitu berupa ketiadaan post gerakan literasi. Karena setelah mampu melakukan edukasi dan promosi melalui media cetak dan elektronik, lantas apa? Apakah sudah juga mampu menciptakan isu literasi sebagai isu nasional yang arahnya mampumemengaruhi kebijakan di bidang literasi.

Kalaupun komunitas literasi memang telah berhasil ”memprovokasi” masyarakat untuk tidak saja membaca, tetapi juga menulis, bahkan menerbitkan buku, lantas apa? Sudah seberapa efektifkah tulisan-tulisan dan buku-buku itu dalam membangun awareness masyarakat sekitar tentang-tentang isu-isu tertentu dan mendorong perubahan perilaku yang signifikan?

Selain ketiadaan post-agenda, problem lainnya adalah tidak adanya setting agenda bersama.Tiap komunitas asyik sendiri dengan agenda kultural masing-masing dan sudah merasa puas menjadi obyek atau pelaksana dari suatu regulasi. Tanpa ada niatan untuk membangun sebuah komitmen bersama agar bisa turut pula berkontribusi, menjadi ”kelompok penekan” dalam proses pembuatan kebijakan. Terutama terkait dengan pembangunan ekosistem industri perbukuan dan gerakan budaya membaca di Tanah Air.

Saya melihat, persoalan makro ekosistem industri perbukuan dan perkembangan budaya baca adalah persoalan luar bisa, tentu diperlukan cara-cara yang luar biasa pula. Tentunya negara harus hadir. Terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair2015 semoga bisa menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki problem makro ekosistem industriperbukuan di Indonesia, serta menyadarkan para pegiat literasi untuk menyusun dan melaksanakan post-agenda literasi bersama?

Sumber: Kompas, 9 Juli 2015


Posted

in

by

Tags: