30 04 2016 | Bincang-bincang Sastra edisi 127 | Ulid karya Mahfud Ikhwan

Mahfud Ikhwan, pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)  2014 dengan buah karyanya Kambing dan Hujan (Bentang, 2015) akan hadir dalam Bincang-bincang Sastra, Studio Pertunjukan Sastra edisi ke 127 Sabtu, 30 April 2016 jam 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.  Kali ini ia tidak akan hadir bersama Kambing dan Hujan-nya, melainkan bersama Ulid (Pustaka Ifada, 2016), novel pertama Mahfud yang sebelumnya telah terbit dengan judul Ulid Tak Ingin ke Malaysia (Jogja Bangkit Publisher, 2009). Bersama Eko Triono dengan moderator Utami Pratiwi novel setebal 578 halaman itu akan diulas. Dalam acara ini teaterawan Merits Hindra juga akan tampil membacakan nukilan novel tersebut.

Novel itu ditulis tak kurang dari lima tahun dengan proses penulisan sebuah karya yang menunjukkan bahwa Mahfud seorang yang anteng dalam menulis dan karakter itu pun mewujud dalam ketetenangan novel-novelnya. Namun, sayang novel ini tidak beruntung di pasar, bahkan diobral dengan harga Rp10.000 saja. Banyak yang menyayangkan kemasan sampul cetakan pertama novel yang menampilkan seorang perempuan tengah menunggu entah apa itu. Hal tersebut disinyalir menjadi salah satu faktor kenapa novel ini tersisihkan dari rak buku sastra serius. Menjadi benar ungkapan “don’t look the book just from the cover” bagi buku ini. Dan di tahun 2016 ini buku tersebut hadir dengan kemasan baru yang sudah sepantasnya mempercantik Ulid. Karena memang buku itu tidak jelek. Buku itu ditulis dengan baik dan  menunjukkan bahwa penulisnya melakukan penelitian-penelitian berdasarkan kisah nyata.

Novel ini berkisah tentang Ulid, seorang anak desa yang mencintai kehidupan di desanya. Sementara itu usaha membuat kehidupan menjadi mapan membuat orang-orang di desanya pergi merantau ke Malaysia. Namun Ulid tdak setuju dengan hal itu, baginya mencari rizki di negara orang lain sama saya dengan menghianati Indonesia. Namun, ayahnya yang seorang guru suatu ketika terpaksa berangkat ke Malaysia karena ekonomi keluarga yang bermasalah. Tentu saja Ulid marah, begitu seterusnya.

Kira-kira sesederhana itu novel tersebut dikemas, begitu dekat dengan pembaca, dan memberikan pemaknaan dan pemahaman yang mendalam dan detail. Sebagai novel yang mengisahkan tentang perjalanan seseorang, novel ini tenang dan tidak menawarkan impian-impian terlampau tinggi sebagaimana novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy atau novel-novel sejenis yang jauh dari realitas kehidupan sekitar.


Posted

in

, ,

by

Tags: