28 Januari 2017 | Bincang-Bincang Sastra Edisi 136 “Yogya Berhati Tawa” | Yogyakarta

 

 

Hari, Tanggal: Sabtu, 28 Januari 2017

Pukul: 20.00 WIB – 22.30 WIB

Tempat: Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta

Tahun 2016 sudah berlalu. Tidak terasa acara Bincang-bincang Sastra yang digelar Studio Pertunjukan Sastra (SPS) sudah berlangsung kurang lebih 11 tahun. Pada bulan Januari 2017 ini, acara Bincang-bincang Sastra memasuki edisi ke 136. Mengusung tema “Yogya Berhati Tawa”, SPS akan mempertemukan tiga pensyair “humoris” dari tiga generasi berbeda yang dimiliki Yogyakarta, yakni Mustofa W. Hasyim, Joko Pinurbo, dan Andy Sri Wahyudi.

“Di waktu-waktu belakangan ini masyarakat Indonesia dihadapkan pada situasi yang panas dan tegang. Suhu politik seperti matahari yang menggigit seng atap rumah. Berita di media massa terutama elektronik, khususnya online, yang tersebar di media sosial seringkali berisi isu SARA dan hoax. Hal ini bisa melemahkan rasa persatuan dan kesatuan berbangsa serta bernegara. Sedangkan tayangan hiburan di telivisi cenderung tidak mencerdaskan pemirsanya. Lelucon hadir untuk mempermalukan dan dipermalukan,” tutur Latief S. Nugraha, koordinator acara.

Latief lebih lanjut menuturkan bahwa sastra dapat menjadi medium untuk meredakan hal tersebut. Meskipun terkadang sastra hadir dengan muatan yang berat—sehingga beban di dalamnya sulit diangkat ke permukaan—namun karya sastra juga dapat dihadirkan dengan bahasa yang ringan bahkan jenaka.

Sebagaimana diketahui, karya sastra Indonesia di masa awal berkembang dari cerita-cerita lisan bernada humor yang kemudian dituliskan. Puisi-puisi Mustofa W. Hasyim, Joko Pinurbo, dan Andy Sri Wahyudi memiliki kandungan tawa itu. Memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya bahwa puisi ketiganya merupakan puisi humor. Hanya Mustofa W. Hasyim yang menuliskan hal tersebut dalam kumpulan puisinya Ki Ageng Miskin: Puisi-puisi Humor dan Setengah Humor (Pustaka Pelajar, 2007) serta Legenda Asal-usul Ketawa: Kumpulan Puisi Humor (Interlude, 2016).

Sementara puisi-puisi Joko Pinurbo, misalnya, dalam Celana (Indonesia Tera, 1999) dan Di Bawah Kibaran Sarung (Indonesia Tera, 2001) sekilas membuat pembaca tergelitik oleh nada humor pada beberapa puisi di dalamnya. Meskipun ada yang berpandangan bahwa hal itu merupakan pasemon bahwa sesungguhnya puisi-puisi karya pensyair yang akrab disapa Jokpin ini mengungkap sesuatu yang lain, yang sangat serius, bahkan yang religius.

Berbeda dengan Andy S.W., puisi-puisinya hadir dengan nada lucu yang lugu dan childish. Pensyair yang juga dikenal sebagai pantomimer ini telah menerbitkan tiga antologi puisi dengan judul yang seperti diperuntukan bagi pembaca remaja, Ibliz Imut dan Uh, Kamu Nyebelin (Garudhawaca, 2012), Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola (Garudhawaca, 2012), dan Energi Bangun Pagi Bahagia (Garudhawaca, 2016). Menggunakan gaya kekinian, Andy pun menghadirkan puisi dengan bahasa yang manis dan penuh rasa sayang.

“Karya-karya yang demikian agaknya yang diperlukan Indonesia, tidak terkecuali Yogyakarta. Kota yang dikenal luas sebagai kota budaya, kota pelajar, kota  seniman, dan banyak lagi gelar yang disandangnya namun mulai tergerus oleh sejumlah aksi kekerasan remaja seperti klithih. Seakan gelar-gelar adiluhung itu luntur dengan aksi kekerasan generasi muda tersebut. Situasi genting semacam ini perlu dilunakkan, setidaknya dengan karya sastra. Semoga saja kata-kata tidak begitu saja beristirahat, namun bisa hadir dan memberikan kekuatan untuk melawan. “Yogya Berhati Tawa” mengungkapkan kegelisahan yang juga dihadapi Yogyakarta. Mengembalikan slogan “Yogya Berhati Nyaman” melalui “Yogya Berhati Tawa” dalam sebuah acara sastra,” pungkas Latief.

 

Tertanda,

Latief S. Nugraha,  koordinator acara.

 

 


Posted

in

by

Tags: