Satu lompatan yang tergolong besar dilakukan dosen Fakultas Hukum Untag, Semarang, Sri Setiawati yang lebih populer dengan nama Iyeng Santosa. Ibu tiga anak ini menyusun kosa kata Bahasa Pekalongan ke dalam sebuah buku bersama rekannya, Asikin Sukatmasaputra. Edisi pertama karya finalis Putri Remaja Indonesia seangkatan Ratih Sang ini diterbitkan pada tahun 2008.
Boleh tahu aktivitas Anda sehari-hari?
Saya dosen S1 dan S2 di Fakutas Hukum Untag, Semarang sejak 1986 sampai sekarang. Juga di FH Universitas Semarang. Basis saya adalah Hukum Pidana. Kemudian, saya aktif di Pusat Pengembangan Hukum Kesehatan, sehingga saya juga mengajar Hukum Kesehatan di Untag. Hukum Kesehatan ini membawa saya aktif menjadi konsultan rumah sakit (RS), khususnya untuk Peraturan Internal RS di seluruh Indonsia.
Anda mendalami hukum, tapi menyusun kosa kata Bahasa Pekalongan?
Iya. Saya menyebutnya sebagai kamus sederhana karena masih dalam bentuk susunan kosa kata yang alfabetis. Kamus berisi 1.400 kosa kata ini terbit pada 1 April 2008, bertepatan dengan hari jadi Kota Pekalongan ke-102. Dengan kata lain, kamus ini menjadi suvenir hari jadi. Menurut teman-teman saya, meski bentuknya masih sederhana, ini merupakan lompatan besar karena sepengetahuan kami belum pernah ada karya tulis yang menggunakan Bahasa Pekalongan.
Awalnya bagaimana?
Begini. Tahun 2006 saya dan teman-teman SMA membuat mailing list (milis). Kadang kami berkomunikasi dalam Bahasa Pekalongan. Nah, saat muncul satu kosa kata, saya catat dan akhirnya terkumpul banyak. Kemudian saya posting kembali. Teman-teman saya senang sekali. Mereka tertawa-tawa bahkan menambahi dengan kosa kata baru.
Jadi, sebenarnya kosa kata dalam buku ini hasil urunan dari banyak teman. Makanya buku ini saya beri judul “kumpulan kata-kata” bukan kamus. Uniknya, di dalam buku ini ada karikatur yang bercerita berbagai hal. Misalnya, tentang jajanan dan mainan pada masa lalu. Yang menggambar anak saya sendiri.
Iyeng sarasehan
Berapa lama menyusun kumpulan kosa kata ini?
Sekitar dua tahun karena harus pakai riset kecil-kecilan. Maksudnya, bila saya pulang ke Pekalongan, saya ajak bicara banyak orang. Saya catat ketika menemukan kosa kata yang belum ada di catatan. Saya juga menemui beberapa orang yang umurnya lebih tua karena mereka bisa menjadi narasumber baru. Merekalah “palu terakhir”. Bila tidak cepat didokumentasikan, kosa katanya akan benar-benar punah.
Setelah terkumpul 1.400 kata, saya baru berani menerbitkannya. Selain itu, saya juga sempat komunikasi dengan teman yang kebetulan ahli bahasa karena saya juga ingin mengetahui leksigologinya atau cara pengucapannya.
Selanjutnya, Februari 2008 saya menemui walikota Pekalongan dan mengemukakan keinginan untuk menerbitkan kamus. Beliau surprise dan mendorong saya agar mempercepat penerbitannya pada 1 April 2008. Tujuannya agar bisa menjadi suvenir pada Hari Jadi Pekalongan ke- 102.
Apakah buku ini banyak peminatnya?
Peminatnya kebanyakan justru orang Pekalongan yang tinggal di luar kota dan luar negeri. Teman-teman saya yang tinggal di berbagai negara di Eropa sudah membeli kamus ini. Saya menjualnya secara online. Ketika itu saya hanya mencetak 3.000 eksemplar dan sekarang sudah habis. Saya berencana menerbitkan lagi dengan 3.000 kosa kata, disertai komparasi Bahasa Pekalongan kota dan kabupaten atau lebih dikenal sebagai Pekalongan Kidul. Nanti juga akan ada contoh penggunaan kalimatnya.
Iyeng dan Anaknya
Omong-omong, Anda asli Pekalongan?
Benar. Saya lahir di Pekalongan, 21 Januari 1963. Sayangnya, sejak kecil saya tidak bisa bebas bicara menggunakan Bahasa Pekalongan. Masalahnya, saya dibesarkan oleh orangtua yang tergolong priyayi. Ibu saya, Soertijah, berasal dari Imogiri, Jogja yang terbiasa bicara dengan Bahasa Jawa baku yang halus. Sementara Ayah, Santoso Sastroamodjojo, asli Pekalongan yang memiliki gelar kebangsawanan. Ibu seorang guru dan Ayah pejabat Sekda Kota Pekalongan.
Saya anak bungsu dari 11 bersaudara. Di rumah, Ibu mengharuskan kami berbicara dalam Bahasa Jawa standar atau halus. Sementara Bahasa Pekalongan dianggap bahasa kasar. Sebagai anak-anak, kami sering bergaul dengan teman-teman di kampung yang mau tak mau bicaranya menggunakan Bahasa Pekalongan. Misalnya, “pak ora” yang dalam Bahasa Jawa bakunya berarti “yo ben ta” (biar saja). Nah, kata “pak ora” itu dianggap kasar oleh Ibu. Larangan itu membuat kami menyimpan obsesi bisa bebas berbicara menggunakan Bahasa Pekalongan. Nah, menyusun kamus ini hanyalah pijakan awal.
Maksudnya?
Jika berhenti pada kamus saja, tidak dirangkai dalam kalimat atau tulisan, orang tidak akan mengerti bagaimana dan kapan penggunaan kalimatnya. Makanya, saya senang ketika Harian Suara Merdeka melalui Suara Pantura memberi saya ruang atau kolom untuk menulis obrolan menggunakan Bahasa Pekalongan. Terbit pertama kali pada 19 November 2010. Sampai sekarang, tiap Jumat, tulisan saya di kolom itu ditunggu warga Pekalongan.
Kadang tulisan dengan setting obrolan di warung itu saya share di akun FB saya. Banyak respons, bahkan tulisan saya di-share oleh teman-teman. Lalu terpikir oleh saya untuk mengajak orang lain menulis juga. Atas saran teman saya, Mas Bintoro, pensiunan PT Garuda, saya membuat akun di FB khusus, namanya Warung Megono. Akun ini menjadi wadah obrolan menggunakan Bahasa Pekalongan, bagi orang Pekalongan, dan yang pernah tinggal di Pekalongan. Hanya beberapa bulan saja akun ini sudah memiliki friends lebih dari 1.400 orang.
*)Nova, 4 Mei 2012
bukunya seperti apa, pengen lihat
kalau harganya berapa????