Suparto Brata | Pengarang di Pagi Buta | Surabaya

Suparto Brata adalah pengarang dalam bahasa Jawa yang lahir di Surabaya, 23 Februari 1932 dan meninggal, juga di Surabaya, 11 September 2015 pada umur 83 tahun. Ia adalah pengarang dengan ketekunan di atas rata-rata. Arsip 24 April 2006 majalah TEMPO ini menguraikan satu adegan bagaimana dengan budaya baca dan menulis bangsanya yang tertatih, ia merogoh tabungannya 6 juta rupiah untuk menyelenggarakan sayembara menulis esai atas karangannya. (Redaksi)

——

Azan subuh belum lagi berkumandang. Tapi ia beranjak, meninggalkan kasur tua di atas tempat tidurnya. Sejenak kemudian, ia sudah di depan meja komputer, dan jemarinya yang keriput bergerak.

Di kamar berukuran 3 x 4 meter, di rumahnya di Rungkut Asri III, Surabaya, ia memiliki segalanya: tempat tidur, ruang kerja, dan perpustakaan pribadi. Kali ini, ia, penulis Suparto Brata, 74 tahun, mendekati sebuah lemari buku. Dan cepat ia menjumpai sebuah majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya, terbitan tahun 1972. Pada pagi buta itu, ia mengetik ulang cerita bersambung 14 seri Dom Su-muruping Banyu. Kalau karyanya sudah mencapai 120 halaman, ia akan menerbitkannya dalam bentuk buku.

Dua setengah jam menghabiskan waktunya di depan komputer, ia keluar rumah, berjalan-jalan, sekadar menggerakkan kakinya. Satu jam menghirup udara pagi, ia kembali terbenam dalam kerja di depan komputer. “Me-nulis adalah napas kehidupan saya,” katanya. Sorenya, ia menonton film drama Korea di stasiun televisi swasta.

Ia telah menulis Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, kemudian Mahligai di Ufuk Timur (belum terbit). Tiga novel- tebal ini rampung dalam setahun dua bulan. Suparto tahu budaya baca bangsa ini amat rendah. Dan ia tak lelah berusaha memikat orang agar gemar membaca. Saat ini, ia membuat sayembara penulisan esai kritik sastra atas cerita bersambung berbahasa Jawa karyanya, Cintrong Traju Papat, yang dimuat di halaman 35 majalah Panjebar Semangat. Ia merogoh Rp 6 juta dari saku pribadinya untuk tiga pemenang.

Suparto menghasilkan 189 karya, berupa buku, naskah- drama, cerita sambung, buku nonfiksi, dan cerpen. Dalam setiap karya, tercatat tanggal awal dan akhir pembuatan naskah. Nama Suparto tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World edisi delapan terbitan The American Biographical Institute 1998. Tiga kali ia meraih penghargaan Rancage, penghargaan tertinggi karya sastra berbahasa daerah yang diprakarsai sastrawan Ajip Rosyidi. Pertama, ia mendapat Rancage pada tahun 2000 karena Suparto dianggap sebagai pembina bahasa dan sastra Jawa. Ia menerima Rancage lagi tahun 2001 atas novel berbahasa Jawa, Trem, yang ditulis sepanjang 1960-1993. Ia kembali mendapat Rancage pada 2005 berkat buku Donyane Wong Culika.

Suparto telah mengagumi keindahan cerita wayang sejak masih duduk di Sekolah Rakyat. Suparto mengagumi segala tentang wayang, terutama cerita yang memberi pendidikan kebajikan. Sang ibu juga suka membacakan kisah Wong Agung Menak dalam gaya macapatan. Kekagumannya pada cerita dan buku memberi ilham untuk menulis. Kelas empat SD, ia sudah membaca Don Quixote dan jadi pengunjung setia perpustakaan Balai Pustaka. Ia juga sudah membaca kisah detektif karangan Sir Arthur Conan Doyle, Anjing Setan dan Hilang Tak Tentu Rimbanya. Sewaktu SMP, ia juga sudah menerbitkan koran tulisan tangan.

Ia bernama lengkap Raden Mas Suparto Brata. Menurut ibundanya, Raden Ajeng Jembawati, yang keturunan kelima Raja Surakarta Paku Buwana V, ia lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Simpang, Surabaya (sekarang menjadi Surabaya Plaza), Sabtu Legi 27 Februari 1932. Ayahnya bernama Raden Suratman Bratatanaya, yang juga berasal dari Surakarta. Sejak berusia enam bulan, Suparto diajak ibunya ke Surakarta. Sedangkan ayahnya, yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal, tetap di Surabaya. “Selanjutnya saya tidak pernah berkumpul dengan bapak,” katanya.

Suparto meneruskan sekolah sambil bekerja. Ia pernah- menjadi loper koran, pegawai Rumah Sakit Kelaim Surabaya, menjadi pedagang kapuk, dan pegawai tetap di Kantor Pos dan Telegraf. Di tempat terakhir itu, ia mulai intens menulis. Pada 1968 ia mendapat kepercayaan me-ngelola majalah Gapura milik Pemerintah Kota Surabaya. Tahun 1969, ia menjadi calon pegawai negeri sipil, lalu menjadi pegawai tetap Bagian Humas Pemerintah Kota Surabaya sejak 1971 hingga pension 1988.

Kini ia menulis bukan untuk menafkahi keluarganya, melainkan memuaskan batin belaka. Hatinya masih risau karena karya-karya sastra Jawa hanya dimuat di majalah berbahasa Jawa. Sedikit sekali yang diterbitkan dalam bentuk buku. Padahal, gumamnya, membaca dan menulis buku adalah pendidikan hidup. (Sunudyantoro)


Posted

in

by