Agam Wispi, AS Dharta, HR Bandaharo | Tiga Penyair Lekra

Menyambut pekan awal Oktober yang biasanya membawa isu ’65’ ke panggung terkini, rubrik IQRA Tempo, 9 Oktober 2017, menurunkan laporan tiga penyair terdepan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ketiganya, bukan hanya sekadar penyair, tapi juga penggerak kebudayaan rakyat.

Dokumentasi lengkap laporan-laporan penyair Lekra Tempo dan semua puisi yang dikutip dalam laporan tersebut tersimpan di Gudang Warung Arsip.

[1] Tiga Penyair Menguak Lekra

Indonesia pada 1960-an. Suasana aktivitas kepenyairan begitu dinamis di sini. Pada masa itu, puisi tumbuh subur. Yang produktif melahirkan puisi antara lain para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lembaga yang berdiri pada 17 Agustus 1950 itu, dalam laporannya di Konferensi Nasional Lekra di Medan pada 1963, menyatakan selama 12 tahun berkiprah di lapangan kebudayaan, sastrawan Lekra paling produktif melahirkan puisi dibandingkan dengan prosa ataupun hasil karya kesenian lain.

Puisi mereka bertebaran di Harian Rakjat edisi Minggu. Koran milik Partai Komunis Indonesia itu secara rutin memuat beberapa puisi hasil seleksi kiriman para penyair kiri dan anggota Lekra. Dalam seminggu, rata-rata ada 40 pengirim puisi. Sejak 1957, koran itu juga memiliki tradisi setiap akhir tahun memilih puisi terbaik bersama cerita pendek, cerita bersambung, naskah lakon, esai, dan karya terjemahan.

Boleh dibilang, dalam tradisi kesusastraan Lekra, puisi mendapat tempat yang istimewa. Dalam rapat-rapat akbar, selalu ada pembacaan puisi. Agaknya, hal ini dilakukan karena waktu itu puisi merupakan alat paling ampuh untuk menyampaikan gagasan partai atau ideologi Lekra lantaran corak dan bentuknya paling sederhana serta mudah dicerna masyarakat bawah.

Tiga di antara deretan penyair Lekra yang saat itu menggelorakan gairah sastra adalah HR Bandaharo, Agam Wispi, dan AS Dharta. Mereka pelopor angkatan pertama sastrawan Lekra. Sebelum bergabung dengan Lekra, mereka sudah dikenal sebagai penyair. “Mereka penyair yang sudah jadi sebelum masuk Lekra,” kata Putu Oka Sukanta, 78 tahun, sastrawan Lekra.

HR Bandaharo, yang lahir di Medan pada 1917, bergiat di jagat sastra sejak remaja. Karya penyair bernama lengkap Banda Harahap itu banyak dimuat di beberapa media di kota kelahirannya. Salah satu karyanya, “Sarinah dan Aku”, puisi patriotik yang dia tulis pada 1939, mencuri perhatian peminat sastra waktu itu. Pada 1950-an, sajaknya, “Tak Seorang Berniat Pulang, Walau Mati Menanti”, menggebrak dan kemudian mencuatkan namanya. Sajak itu sangat terkenal dan menjadi puisi wajib dalam lomba-lomba deklamasi pada 1960-an.

Setelah bekerja sebagai anggota redaksi harian Pendorong di Medan, pada 1962, Banda-sapaan akrabnya-diminta pindah ke Jakarta untuk memimpin ruang kebudayaan Harian Rakjat edisi Minggu. Di Jakarta, ia juga menjadi salah seorang Pengurus Pusat Lekra dan anggota Departemen Kebudayaan Central Comite PKI.

Agam Wispi pada 1950-an sudah terkenal dengan sajak “Matinya Seorang Petani”. Puisi ini diciptakan setelah dia menyaksikan aksi anggota Barisan Tani Indonesia yang memprotes penggusuran tanah garapan petani miskin di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, melawan traktor pemilik perkebunan. Dalam aksi itu, Agam menyaksikan seorang petani mati ditembak.

Agam lahir di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, pada 1930. Dia memulai kariernya sebagai wartawan di harian Pendorong dan Kerakjatan di Medan. Seperti halnya Bandaharo, Agam diminta pindah ke Jakarta pada 1962 untuk menjadi redaktur kebudayaan di Harian Rakjat edisi Minggu.

Ketika geger politik 1965 meletus, Agam sedang berada di Beijing untuk menghadiri perayaan ulang tahun Republik Tiongkok. Ia tak bisa kembali. Selama puluhan tahun ia kemudian mengembara sebagai tahanan politik. Pada 1988, ia menjadi warga negara Belanda.

AS Dharta lahir dengan nama Endang Rodji di Cianjur pada 1924. Sebelum ikut mendirikan Lekra dan menjabat sekretaris umum, dia malang-melintang dalam gerakan buruh. Dia pernah menjadi jurnalis di Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.

Dharta ikut mendirikan Masjarakat Seni Djakarta Raja. Dia penyair yang kerap menggunakan sejumlah nama pena saat menulis sajak. Klara Akustia salah satu nama yang populer. Nama lainnya Kelana Asmara, Jogaswara, Barmara Putra, dan Adi Sidharta. Puisi-puisinya yang terkenal antara lain “Rukmanda” dan “Nyi Marsih”. Dharta sempat ditahan di penjara Kebonwaru, Bandung, dan baru dibebaskan pada 1978.

Bandaharo, Agam Wispi, dan Dharta kami tampilkan karena ketiganya merupakan penyair penting di antara deretan sastrawan Lekra. Boleh dibilang, puisi-puisi mereka juga sangat menggugah dan patriotik. Meski begitu, puisi-puisi mereka tetap sangat puitik. Bukan sajak pamflet politik yang langsung menggasak, seperti puisi-puisi karya para pentolan PKI: D.N. Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman. “Matinya Seorang Petani” karya Agam Wispi, misalnya, adalah puisi panjang mencekam tentang penembakan seorang petani yang mempertahankan hak atas tanahnya. Namun sajak itu begitu menyentuh dan puitis:

dia jatuh
rubuh

satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya

 

 

[2] ‘Faust’ yang Mati di Rumah Jompo

Saat-saat terakhir hidup Agam Wispi diisi dengan kesunyian. Ia sakit-sakitan dan menjadi penghuni Verpleeghuis-sebutan untuk rumah jompo di Amsterdam, Belanda. Sahabatnya sesekali datang menjenguk. “Dia tak bisa keluar jauh-jauh dari kamar. Ingatannya pun sudah banyak yang hilang,” kata Asahan Aidit, 78 tahun, sahabat Agam Wispi di Belanda, melalui sambungan telepon dengan Tempo.

Di kamar rumah jompo itu pula Agam meninggal sendirian, selang beberapa jam setelah ulang tahunnya yang ke-72. Penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat itu barangkali telah meramalkan bagaimana maut menjemputnya. Dalam salah satu sajak tiga baris berjudul “Terzina Maut”, Agam menulis:

suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri

Ketika kabar kematian Agam pada malam tahun baru 2003 itu terdengar, Asahan tak lagi menganggap itu berita mengagetkan. Yang membuat Asahan terkejut justru saat upacara pelepasan jenazah Agam. Jenazah Agam dikremasi sepekan setelah kematiannya di Westgaarde, Amsterdam. Ratusan orang datang melayat dan turut mengantar penyair itu ke tempat istirahatnya yang terakhir. “Padahal, sewaktu masih hidup, Agam dikucilkan,” ujar Asahan.

Asahan mengenal Agam semasa penyair itu berada di puncak ketenaran pada 1960. Kala itu, Asahan diajak abangnya, Sobron Aidit, mengunjungi sebuah pameran lukisan di Gedung Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta. Sobron mengenalkan Asahan kepada Agam. “Yang saya tahu saat itu, dia sastrawan dan penyair terkenal,” ucap Asahan.

Agam sejak lahir telah “dekat” dengan komunisme. Ia putra Agam Puteh, yang mendirikan partai komunis di Aceh pada 1920-an. Pernah menginap di rumah masa kecil Agam, dari Tan Malaka hingga Musso sebelum menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia. Agam sendiri kemudian menjadi anggota Partai walau di antaranya ia tetap menjalani profesi sebagai wartawan cum sastrawan.

Selama di Medan, Agam sudah banyak menulis sajak, cerpen, dan sebuah naskah sandiwara gerbong. Karya-karyanya dimuat di surat kabar Kerakyatan dan Pendorong. Redaktur budaya surat kabar tersebut, Bakri Siregar dan HR Bandaharo, menjadi mentor awal bagi Agam. Sejak di Medan pun, karya Agam telah dapat perhatian Njoto, pemimpin Partai yang juga seorang penulis cemerlang.

Pada 1957, Agam pindah ke Jakarta. Ia diminta bekerja di Harian Rakjat, koran resmi Partai. Bersama Njoto, Agam menjadi pengasuh rubrik budaya. Ia diberi tempat tinggal di kantor Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Jalan Cidurian 19, Jakarta Pusat. “Setiap kali saya datang ke Jakarta untuk urusan organisasi, selalu bertemu dengannya,” kata Hersri Setiawan, yang pada masa itu menjadi pengurus Lekra Yogyakarta. “Orangnya sangat bersahabat dan hatinya tulus.”

Agam sempat diutus untuk belajar jurnalistik di Berlin, Jerman Timur, pada 1958-1959. Sepulang Agam dari sana, 12 sajak yang ia buat semasa di Jerman diterbitkan dalam antologi Sahabat oleh bagian penerbitan Lekra.

Ketika Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) membuka perekrutan pada 1962, Agam mendaftar. Ia terpilih dan mendapat pangkat letnan. Lewat jabatan barunya, Agam berkesempatan berlayar dengan armada ALRI mengelilingi Nusantara yang menginspirasi banyak sajaknya. Beberapa sajak yang tercipta dalam periode ini antara lain “Berdebur Ombak Berdebur”, “Keluarga Kelasi”, “Menyusur Tondano”, dan “Surabaya”.

 

[3] Nikita, Nikita …

Sajak “Matinya Seorang Petani” yang ditulis Agam Wispi membuat Joebaar Ajoeb dan Sitor Situmorang cukup kerepotan. Pada 1963, dua perwakilan seniman di Dewan Perwakilan Daerah Jakarta itu harus menemui petinggi militer. Militer sebelumnya melarang peredaran sajak Agam yang berisi tentang tewasnya seorang petani saat protes penggusuran tanah di Tanjung Morawa itu.

Bukan itu saja puisi Agam Wispi yang bikin pemerintah meradang. Dua tahun sebelumnya, sajak Agam berjudul “Demokrasi” juga dilarang dideklamasikan di depan publik. Sajak yang dibuat pada 1959 itu pertama kali dipublikasikan di majalah Zaman Baru. Sajak ini menohok. “Apa yang dituliskan Agam pada 1960-an bahkan masih bisa bergema hari ini bila kata ’jenderal’ diganti dengan ’pejabat’ atau ’politikus’,” kata Goenawan Mohamad, sastrawan.

Jenderal!
telah kami pasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!
jenderal, telah kami pasang
bintang-bintang di dada kalian
dari keringat tujuh sepuluh jam
kami tuntut bintangmu: mana upah?

Goenawan menyebut Agam sebagai seorang penyair tulen. Meski memiliki keterbatasan karena terikat pada Partai Komunis Indonesia, Agam dinilai mampu melampaui batasan itu dengan kreatif. “Agam itu orang yang tidak bisa diperintah partai karena ingin bebas,” ujar Goenawan. Dia muncul dengan sajak yang segar, bahasa sederhana, transparan, dan tidak berpatron pada formula biasa penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). “Puisi Lekra jarang bagus karena biasanya gampang ditebak, Agam berbeda,” ujar Goenawan.

Salah satu puisi Agam yang paling diingat Goenawan termaktub dalam antologi Sahabat yang diterbitkan pada 1959. Antologi ini terdiri atas 12 sajak yang ditulis Agam semasa belajar jurnalistik di Leipzig, Jerman, pada 1958-1959. Di dalamnya terdapat sebuah kuatren berjudul “Pameran Leipzig” yang berbunyi:

Nikita
Nikita
Datang membawa damai

Nikita yang dimaksudkan Agam adalah Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet yang menyerukan ide “koeksistensi damai” antara negara sosialis dan kapitalis. Ide perdamaian itu ternyata menggugah Agam. Belakangan, Khrushchev malah dituduh sebagai revisionis oleh pemimpin komunis di Cina dan Indonesia. “Saya tidak tahu bagaimana nasib sajak itu setelah Lekra mengecam Khrushchev,” kata Goenawan.

Bentuk lain yang juga digemari Agam adalah puisi naratif. Muhidin M. Dahlan, penyunting buku Gugur Merah Sehimpunan Puisi Lekra-Harian Rakjat (1950-1965) yang terbit pada 2008, mengatakan Agam mahir menulis puisi panjang yang mencapai 4-5 halaman.

Di koran, puisi panjang Agam bisa mengisi satu halaman penuh. Muhidin berpandangan Agam paling matang di antara penyair Lekra lainnya. Yang paling mewakili gambaran puisi naratif dan monumental itu adalah “Surabaya”. Puisi itu menjelaskan Surabaya dengan sangat indah, puitis, dan realis. “Di sajak itu, Agam mampu menangkap denyut kota dan manusianya secara utuh,” kata Muhidin.

 

[4] Dharta, Klara, dan Lekra

Satu orang tapi banyak nama. Itulah AS Dharta. Sepanjang hidupnya, penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-sebuah organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia-itu kerap menggunakan nama yang berbeda untuk dirinya.

Lahir pada 7 Maret 1924, ia diberi nama Endang Rodji. Nama itu adalah pemberian kakeknya. Tapi, ketika beranjak dewasa, Dharta merasa kurang sreg. Dia tak mau menggunakan nama Endang dan memilih nama belakangnya saja: Rodji. “Bapak enggan memakai nama Endang karena terkesan menak atau bangsawan,” kata putri Dharta, Ira Tasty, 57 tahun, pada akhir September lalu.

Meski tak mau dicap bangsawan, Dharta sesungguhnya memang berasal dari keluarga berada. Di Kampung Hanjawar, Desa Cikondang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, keluarga Dharta dikenal punya banyak sawah. Bahkan keluarganya mempekerjakan banyak orang untuk mengelola sawah-sawah itu. “Dia anak orang kaya. Mungkin anak tuan tanah,” ujar rekan Dharta di Lekra, Amarzan Ismail Hamid, 76 tahun, awal Agustus lalu.

Nyatanya, Dharta juga tak betah berlama-lama dengan nama Rodji. Ketika merantau dari kampung halamannya, dia memilih AS Dharta untuk nama sehari-hari-bahkan untuk nama kartu tanda penduduk. Di Yogyakarta, Dharta menjadi wartawan Harian Boeroeh. Dia juga memimpin sejumlah organisasi buruh, seperti Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Di Jakarta, Dharta ikut pergerakan pada masa revolusi. Dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang bermarkas di Menteng 31. Di situlah dia mengenal sejumlah tokoh, termasuk Sukarno. Meski aktif di sana-sini, Dharta sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan. Dia memang sering menulis puisi, prosa, esai, naskah drama, dan cerita pendek. Di situ dia kerap meninggalkan AS Dharta dan memakai sejumlah nama pena, seperti Klara Akustia, Kelana Asmara, Jogaswara, Barmara Poetra, Rodji, Adi Sidharta, dan masih banyak lagi.

Puisi pertama Dharta disebut-sebut dimuat di surat kabar Tjahaja, Bandung, pada masa menjelang kemerdekaan. Dia juga pernah menulis naskah drama Saidjah dan Adinda yang merupakan adaptasi novel karya Multatuli. Selain itu, cerita-cerita pendeknya pernah dimuat di majalah Gelombang Zaman pada akhir 1946. Puisi-puisinya juga diterbitkan sejumlah surat kabar pada masa itu.

Yang paling fenomenal tentu esainya berjudul “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang terbit di majalah Spektra pada 27 Oktober 1949. Menggunakan nama Jogaswara, Dharta dengan tegas dan berapi-api mengkritik minimnya peran sastrawan Angkatan ’45 terhadap kehidupan masyarakat. “Di Madiunlah dikuburnya Angkatan 45,” tulis Dharta, merujuk pada Peristiwa Madiun 1948. “Dan matilah ia, pemikul Hari Esok.” Ketika itu, tulisan bernada keras ini menjadi polemik dan ramai diperbincangkan.

Dalam membuat puisi, Dharta lebih sering memakai nama Klara Akustia. Nama ini juga dipakai ketika buku kumpulan puisinya, Rangsang Detik, terbit pada 1957. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain, Sejumlah Obituari, mengatakan nama Klara Akustia dipakai Dharta setelah ditinggal lari istrinya yang sehari-hari dia panggil Klara. Istrinya-yang bernama asli Aini-kabur bersama seorang serdadu Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) ke Belanda. “Untuk membuktikan dia tetap setia, digunakanlah nama Klara Akus(e)tia,” tulis Ajip.

Belakangan, Dharta tak cuma “bermain-main dengan nama” untuk dirinya dan istrinya yang lari. Dia melakukan hal serupa untuk Ira Tasty, anak dari perkawinannya dengan Komariah. Menurut Ira, namanya merupakan kepanjangan dari Indonesia Raya Tanda Setya atau Irian Barat Tanda Setya. “Begitu kata Bapak,” ucap perempuan kelahiran 29 September 1960 itu. Barangkali Dharta terpengaruh oleh rencana pemerintah Indonesia, yang kala itu ingin merebut Irian Barat dari Belanda.

Bersama Njoto dan M.S. Ashar, AS Dharta mendirikan Lekra pada 17 Agustus 1950. Dia menjabat sekretaris jenderal yang pertama sekaligus redaktur Zaman Baru, sebuah surat kabar terbitan Lekra. Selain itu, Dharta menjadi pengurus pusat PKI. Bahkan, pada Pemilihan Umum 1955, dia terpilih menjadi anggota Konstituante dari calon tak berpartai lewat PKI. Di sana, Dharta bertugas menyusun undang-undang dasar baru.

Meski sibuk di Lekra dan PKI, Dharta tetap tak lupa menulis. Pada 1951, lewat tulisan, dia pernah berseteru dengan kritikus sastra H.B. Jassin. Dharta menganggap Jassin “berpihak” kepada sastrawan Angkatan ’45. Padahal Dharta menilai kebanyakan karya mereka tak searah dengan garis besar revolusi dan semangat perubahan di masyarakat. Menurut Dharta, karya mereka lebih banyak bersifat individualisme-eksklusivisme.

 

[5]  Kamus Bahasa Sunda-Indonesia yang Belum Selesai

Penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), AS Dharta, boleh dibilang lebih peduli terhadap orang lain ketimbang dirinya sendiri. Pernah satu waktu pada 1978, ia mengikhlaskan berpetak-petak sawah miliknya di Desa Cikondang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, diambil alih orang lain. “Kata Bapak enggak apa-apa. Orang lain lebih membutuhkan daripada kita,” ujar Ira Tasty, putri Dharta, pada akhir September lalu.

Bukannya kecewa, Ira justru malah mengagumi sikap ayahnya tersebut, kendati ketika itu kehidupan ekonomi keluarganya belum menentu lantaran Dharta baru saja bebas setelah 13 tahun menjadi tahanan politik di penjara Kebonwaru, Bandung. “Bapak sangat memperhatikan kepentingan orang lain,” ujar perempuan 57 tahun itu. “Sisi kemanusiaan ini membuat saya bangga menjadi anaknya.”

Perhatian kepada nasib “orang susah” memang seperti sudah melekat dalam diri Dharta. Sikap itu pulalah yang kemudian banyak ditunjukkan dalam puisi-puisinya. Lewat puisi, Dharta menggambarkan semangat pemberontakan dan perlawanan kaum tertindas. Dia mengaitkannya dengan kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat pada masanya. Hal ini terlihat dalam Rangsang Detik, satu-satunya kumpulan puisi yang pernah dibuatnya. Kumpulan puisinya pada 1949-1957 itu diterbitkan Jajasan Pembaroean pada 1957.

Dharta juga dikenal sangat mencintai tanah Priangan. Banyak sajaknya bertolak dari kepahlawanan dan persoalan ketidakadilan di tanah Sunda, seperti “Rukmanda”, “Cadas Priangan”, dan “Bara di Priangan”. Bahkan, Budi Setiyono, kawan berdialog AS Dharta, dalam prolog yang ditulisnya untuk menyambut penerbitan kembali kumpulan puisi Rangsang Detik (sajak-sajak 1949-1957) oleh Penerbit Mata Pusaran pada 2007, mengatakan, di akhir hidupnya, AS Dharta berupaya membuat kamus bahasa Sunda-Indonesia. Di kamarnya, di dalam sebuah kardus-saat Dharta wafat-teronggok tumpukan seribuan halaman kertas usang berisi kamus bahasa Sunda-Indonesia yang belum selesai.

 

[6] Penyair ‘Tak Seorang Berniat Pulang’

Suatu hari setelah pulang dari Pulau Buru pada 1979, HR Bandaharo mendapat sambutan khusus dari Martin Aleida. Dengan mobilnya, Martin mengajak “senior”-nya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu jalan-jalan berkeliling Jakarta. “Setelah keliling Jakarta, kami kemudian makan di restoran Padang di kawasan Sabang,” kata Martin, sastrawan Lekra, mengenang peristiwa 38 tahun lalu itu.

Hubungan Martin, 73 tahun, dengan Bandaharo menjadi dekat sejak sang penyair pulang dari Buru. Perkenalan mereka bermula ketika sama-sama sering berkumpul di kantor Lekra di Jalan Cidurian 19, Jakarta Pusat, pada 1962. “Saat itu Banda berusia 45 tahun. Sosoknya pendek, tegap, dan berkulit agak hitam dengan mata kiri sering berkedip,” ujar Martin. Sebetulnya, menurut Martin, ia mengenal Bandaharo sejak masih di Medan. “Waktu saya masih duduk di bangku SMA (sekolah menengah atas) di sana, Banda sudah menjadi penyair terkenal di Medan.”

HR Bandaharo salah seorang penyair penting yang tak banyak muncul dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Dia termasuk pengarang Angkatan Pujangga Baru. Puisi-puisinya lugas, menyuarakan perlawanan rakyat terhadap penindasan dan segala macam ketidakadilan. Ia kemudian dikenal sebagai penyair yang berpihak kepada perjuangan rakyat yang tertindas.

Salah satu puisinya yang terkenal, “Tak Seorang Berniat Pulang”, melambungkan nama penyair kelahiran Medan pada 1917 itu. Banyak yang hafal petikan puisi tersebut: Tak seorang berniat pulang/walau mati menanti. Pada masanya, puisi itu juga bergaung di ajang-ajang lomba deklamasi. Boleh dibilang puisi itu kemudian identik dengan Bandaharo. “Puisi itu menggetarkan, sama dengan manifesto politiknya Bung Karno,” kata Putu Oka Sukanta, 78 tahun, sastrawan Lekra.

Bandaharo lahir pada 1 Mei 1917. Nama lengkapnya Banda Harahap. Dalam karya-karya sajaknya, penyair yang akrab disapa Banda ini menggunakan nama pena HR Bandaharo. Ayahnya, HR Mohammad Said, bekerja sebagai konsul Muhammadiyah untuk Sumatera Timur pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam sebuah sajak berjudul “Satu Fragmen”, yang dimuat di Harian Rakjat edisi Minggu, 7 Juli 1963, Bandaharo melukiskan sosok sang ayah:

ayahku, dia orang sarekat Islam
masih berumur tigapuluhan
dan taat beribadah

dia hanya yakin pada alquran
pada muhammad
dan pada dirinya sendiri

Selain redaktur di Harian Rakjat edisi Minggu, Bandaharo adalah salah seorang Pengurus Pusat Lekra dan anggota Departemen Kebudayaan Central Comite PKI. Bandaharo kemudian menjadi salah satu penyair Lekra terkemuka.

 

[7] Realisme Romantik Bandaharo

Barisan menyongsong hari datang
kuwakili kini ini
derita dan duka dari zamanku
kudukung di panggung

Tak seorang berniat pulang
walau mati menanti

“Tak Seorang Berniat Pulang” merupakan salah satu puisi Bandaharo yang sangat terkenal. Puisi ini menjadi sajak wajib dalam lomba-lomba deklamasi pada masanya. Komponis Subronto Kusumo Atmodjo menciptakan ilustrasi musik untuk puisi tersebut. Subronto adalah komponis Lekra yang menciptakan lagu Nasakom Bersatu. Sajak yang pertama kali dimuat di majalah Kebudajaan Indonesia pada 1954 itu kemudian dibukukan dalam kumpulan puisi karya Bandaharo berjudul Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (Yayasan Pembaruan, 1958).

Sejak remaja, Bandaharo, yang lahir di Medan pada 1917, memang sudah produktif menulis puisi. Karyanya tersebar di berbagai media massa yang terbit di Medan dan Jakarta. Salah satu karyanya yang terbit pada sekitar 1939, “Sarinah dan Aku”, mencuri perhatian dunia sastra saat itu. Senapas dengan “Tak Seorang Berniat Pulang”, puisi itu bersifat patriotik dengan gaya realisme romantik. Puisi ini menunjukkan keberpihakan Bandaharo pada perjuangan rakyat melawan kolonialisme dan imperialisme. Perjuangan rakyat untuk meraih keadilan dan melawan penindasan juga tecermin dalam dua sajaknya, “Cerita” dan “Dosa Apa”.

Boleh dibilang, puisi-puisi Bandaharo konsisten berpihak pada perjuangan rakyat melawan penindasan. Sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Hersri Setiawan, 81 tahun, mengatakan puisi-puisi Bandaharo itu melontarkan semangat zamannya. “Puisi-puisi Banda juga serba jelas,” kata Hersri, yang pernah menjadi Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah dan terpilih sebagai anggota Komite Pengarang Asia-Afrika.

Sajak-sajak Bandaharo telah diterbitkan dalam beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (Yayasan Pembaruan, 1958), Dari Bumi Merah (Yayasan Pembaruan, 1963), dan Dosa Apa (Penerbit Inkultra, 1981). Hanya, buku-buku kumpulan puisi itu sempat dilarang rezim Orde Baru bersama buku-buku kiri lainnya. “Akibatnya, puisi-puisi Banda pun seperti hilang ditelan zaman,” ujar Putu.

Setelah era reformasi 1998, puisi-puisi Bandaharo muncul dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra-Harian Rakjat (1950-1965) yang diterbitkan Merakesumba Yogyakarta pada September 2008. Ada 15 puisi Bandaharo yang tersaji dalam buku tersebut bersama 437 puisi dari 110 penyair Lekra lainnya. “Puisi-puisi dalam buku itu dihimpun dari dokumentasi Harian Rakjat edisi Minggu yang tersimpan di sebuah perpustakaan,” kata Muhidin M. Dahlan, penyunting buku Gugur Merah.


Posted

in

by