Oleh: Bambang Haryanto
Intimidasi MAW Brouwer masih kuat menggurat di benak. Kolumnis terkenal era 70-an dengan tulisan tajam dan jenaka pernah bilang bahwa buku-buku Dale Carnegie adalah buku-buku sampah. Padahal buku Carnegie yang legendaris, How to Win Friends and Influence People, terbit tahun 1937, penjualannya melebihi buku apa pun kecuali Bible.
Begitulah, di bawah bayang-bayang pengaruh virus Brouwer tadi, kuatnya rasa skeptis terhadap buku yang menawarkan resep-resep sukses, saya membuka-buka buku 12 Langkah Manajemen Diri – Self Management : Guru Terbaik Sekaligus Musuh Terbesar Manusia, karya Aribowo Prijosaksono dan Marlan Mardianto (ElexMedia, 2002). Buku itu ditempatkan di antara buku-buku yang berpredikat laris di sebuah toko buku di Bogor. Brouwer mungkin tertawa ketika akhirnya saya memang memutuskan untuk tidak membeli buku tersebut.
Saya hanya mencatat alamat e-mail Aribowo, salah satu penulisnya. Esoknya saya kirimkan e-mail kepadanya, berisi kritikan bahwa penampilan tiap halaman bukunya terlalu riuh: berhamburan beragam jenis huruf, belum lagi cetak miring dan tebal, ditambah keseringan munculnya tanda seru. Seolah pembaca agar memperoleh manfaat dari buku itu harus “diperintah”, “disuruh-suruh” atau “ditunjuk-tunjukkan”. Saya ikutkan pula pendapat penulis/kritikus Inggris, Logan Pearsall Smith, bahwa : “What I like in a good author is not what he says, but what he whispers” (Apa yang saya sukai dari seorang pengarang yang baik adalah bukan pada apa yang ia katakan, tetapi pada apa yang ia bisikkan). Saya juga berkonsultasi selintasan mengenai problem yang saya hadapi dan punya kaitan dengan solusi yang ingin ditawarkan buku tersebut.
Sungguh, suatu kejutan, e-mail saya mendapatkan balasan. Saya balas lagi, dan sesudah itu komunikasi macet. Terputus. Sehingga penulis buku laris itu tidak mengetahui bahwa pengalaman yang saya anggap menarik karena bisa berinteraksi via e-mail dengan mereka, telah saya gethok tular (word of mouth)-kan secara digital kepada rekan-rekan saya sesama suporter sepakbola Indonesia. Baik via e-mail dan milis Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI). Bahkan kemudian menjadi bagian dari isi buku saya, Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati (HHSIM).
Balasan e-mail dan empati secara tidak terencana dari mereka, membuat diri saya telah mereka ubah menjadi fans dan agen promosi nama berikut buku karya mereka. Tetapi bonus promosi gratis di atas tadi senyatanya hanya sebagai “kecelakaan” belaka.
Sebab kedua penulis tersebut, juga banyak penulis buku dan penerbit di Indonesia, nampak belum menggubris pentingnya upaya membangun fans, penggemar atau suporter, untuk menunjang karier kepenulisan atau pun sebagai upaya terancang secara profesional guna mendongkrak tiras penjualan buku-buku mereka. Kedua penulis tadi jelas tidak pula memelihara data e-mail yang ia peroleh, yang sebenarnya berharga. Itu terbukti, antara lain, saya tidak mendapat pemberitahuan ketika mereka meluncurkan buku-buku mereka berikutnya.
***
Dunia kepenulisan dewasa ini, disadari atau tidak dan disukai atau tidak disukai, adalah gabungan dunia kreatif dan bisnis. Konsultan pemasaran Ries dan Trout (1991) pernah memberi nasehat, kalau Anda hanya ingin kreatif saja, baktikan hidup Anda seperti cara hidupnya van Gogh yang telah membuat ratusan lukisan, tetapi hanya laku sebiji ketika ia masih hidup.
Tetapi, lanjutnya, apabila Anda ingin kreatif sekaligus sukses, maka selain berkreasi dan mencipta, gunakanlah porsi besar enerji Anda untuk menjual karya-karya kreatif Anda kepada orang lain. Kalau Anda seorang pelukis, Anda membutuhkan galeri untuk mengukuhkan bakat Anda. Kalau Anda penulis, Anda membutuhkan penerbit.
Oleh karena itu penulis masa kini selain dituntut memakai topi sebagai kreator, menghasilkan karya yang baik, dirinya pun dituntut memiliki topi lainnya, sebagai petugas kehumasan, promosi dan juga penjualan. Memang, masih banyak penulis yang merasa kurang nyaman, tetapi tidak mungkin dipungkiri bahwa masa kini seseorang penulis berpeluang meroket menjadi sosok selebriti.
Kita bisa merujuk sukses para penulis yang melambung sebagai selebriti kelas dunia. Bisa dijajar dari pencerita kisah-kisah seram Stephen King, Michael “Jurassic Park” Crichton, JK “Harry Potter” Rowlings, Tom “Techno Thriller” Clancy sampai Amy Tan atau Arundhati Roy.
Mereka memiliki fans, penggemar, di mana bahkan pada ujung yang ekstrim para penggemar tersebut kemudian memiliki komunitasnya tersendiri. Penulis Gene Roddenberry yang terkenal dengan serial “Star Trek” sampai memunculkan komunitas dengan bahasa unik tersendiri (“Klingon”) di antara para penggemarnya yang diadopsi dari bahasa tokoh-tokoh fiktif dari karyanya.
* * *
Dalam kacamata bisnis, para penggemar berperanan besar mendongkrak pemasaran. Buku Harry Potter, sebagai contoh, pada awalnya ditolak berkali-kali oleh penerbit besar sebelum diterbitkan oleh Bloomsbury yang saat itu hanya sebuah penerbit kecil. Jika memang kualitas buku itu luar biasa, mengapa tidak terlihat sejak awal oleh para penilai buku pelbagai penerbit besar itu?
Kenyataannya, buku itu kini terjual lebih dari 200 juta kopi di lebih dari 200 negara dan diterjemahkan ke dalam 55 bahasa. Padahal buku itu pertama kali diterbitkan tanpa bantuan pemasaran yang luar biasa. Ia pertama kali terbit seperti halnya buku anak-anak biasa. Berkat penyebaran informasi secara gethok tular antarpara penggemar, yaitu anak-anak, buku itu telah memunculkan momentum larisnya sendiri.
Ketika era 60-70-an, memang terasa amat sulit untuk berhimpun atau berkongregasi dengan sesama penggemar buku, misalnya serial Nagasasra-Sabukinten-nya S.H. Mintardjo atau serial silatnya Kho Ping Ho.
Tetapi kini, dengan kehadiran Internet dengan aneka kanal untuk menggalang komunikasi dan interaksi, para penggemar tersebut yang tidak lagi terkendala secara geografis, dapat membentuk komunitasnya tersendiri.
Kuncinya, memang harus dimulai dari diri sang pengarang itu sendiri. Ia harus membuka mindset baru, bahwa di luaran sana telah menunggu para suporter, pembaca karyanya, yang ingin disapa, diwongke, juga ingin mendapatkan info-info baru. Atau bahkan ingin dilibatkan dalam aktivitas tertentu dari sang pengarang, sehingga mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu komunitas yang istimewa.
Sekadar ilustrasi : merasa sebagai microstar atau selebriti kelas teri di kalangan khusus, yaitu di komunitas suporter sepakbola Indonesia, proyek buku saya HHSIM ketika dalam embrio pun sudah memiliki fans yang memberi usulan mengenai isi, calon pembeli dan bahkan calon agen penjualannya.
Membangun fans dapat dimulai dari satu orang. Satu orang fans setia lebih baik dibanding seratus orang penggemar biasa. Dirinya senantiasa bersama Anda, baik di hari buruk atau hari baik, yang dengan senang hati selalu setia menyebarluaskan aspirasi sampai berita mengenai karya buku terbaru Anda.
Seperti di awal tulisan ini, dengan hanya balasan e-mail dari Aribowo mendorong saya memutuskan untuk membeli buku karyanya tersebut. Sayang, dalam kisah lanjutannya, seorang fans sekaligus believer dan agen promosi sukarela bukunya, justru mereka pupuskan gairahnya secara tidak sengaja karena ketidaktahuan kiat mengelola fans atau penggemarnya!
* Bambang Haryanto, pemenang The Power of Dreams Contest (Honda) 2002. Pemegang rekor MURI sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli. Alumnus UI. Pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.
Setuju…… makanya sy cuek aja meski di bilang narsis… terserah kata loe deh… gtu kata anak jakarte….
Ternyata emang penting banget ya membina penggemar. Pelajaran tambahan yang berguna.
Sip!
ternyata tak jauh beda dengan kerja infotainment, selebritis… penulis pun butuh penggemar…
Benar terserah orang bilang, Seorang penulis memang harus menulis.
Tulisan yang menarik.
Berarti selain harus tetap menulis, biarkan orang-orang yang menyukai karya kita juga terlibat dalam imajinasi kita…