Esai-Esai Iwan Simatupang

Iwan Simatupang, Sartre Indonesia
oleh Sigit Susanto

Buku Sartre, Iwan, Camus | Sigit Susanto
Buku Sartre, Iwan, Camus | Sigit Susanto

Judul: Esai-Esai Iwan Simatupang
Penulis: Iwan Simatupang
Cetakan: I (Oktober 2004)
Penerbit: Buku Kompas
Tebal: 366 hal

Membaca karya sastra dalam bentuk novel, puisi, teater, atau cerpen, kita lebih sering dihadapkan pada imajinasi seni penulisnya. Dengan kata lain seluruh kekuatan seni menulis, gaya bahasa, pilihan tema menjadi prioritas. Sebaliknya pada penulisan esai, imajinasi seni sering tidak dikedepankan lagi, melainkan lebih mengutamakan wawasan, pengalaman, pandangan politik, dan sosial dari penulis bersangkutan. Faktor lain yang tak kalah penting pada penulisan esai adalah mengikuti secara intensif berita teraktual yang sedang beredar di masyarakat. Kualitas esai sering pula dinilai dari bagaimana esais mampu mengaplikasikan antara tema yang dipilih dengan banyak referensi buku bacaan. Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Akan tetapi Nietzsche justru berseberangan dengan argumen, orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi.

Pada buku “Esai-Esai Iwan Simatupang”  ini, Iwan menulis 44 esai yang secara garis besar terbagi dalam tiga bagian. Bagian I: Masa Menjadi Guru SMU (1950-1955). Bagian II: Masa di Eropa (1955-1959). Bagian III: Masa Menulis Novel (1960-1970).

Buku setebal 366 halaman ini cukup menantang. Setidaknya untuk mengintip pandangan-pandangan seorang Iwan terhadap dunia sastra pada umumnya. Novel-novel Iwan, seperti: “Ziarah“ ,“Kering“, dan “Merahnya Merah“  bisa kita anggap sebagai ciptaan imajinasi seni Iwan. Pada esai-esai ini pembaca disodori sumpah serapah, emosional serta niveau intelektual seorang pengarang yang kritis. Kalau orang membicarakan kepengarangan Iwan, sering dikaitkan dengan gaya bahasanya yang berbeda dengan pengarang sezamannya. Atau kepengarangannya sering pula diparalelkan dengan tokoh eksistensialisme Perancis, Sartre atau Camus.

Pada esai berjudul “Sartre dan Konsekuensi“  (hal:75), Iwan tampak habis-habisan mendudukkan persoalan seorang Sartre yang dianggap hanyalah sebagai Ecce homo. Keterlibatan Sartre pada Partai Komunis Perancis, serta kesalahan tentara Rusia menduduki Hongaria, tak bisa dinilai secara separuh-separuh. Istilah yang dipakai Iwan harus dinilai secara totalitet. Kalau tidak ingin pincang menemukan sosok Sartre sebagai filsuf. Pada esai itu disebutkan keretakan hubungan antara Sartre dan Camus dipicu lahirnya buku Camus berjudul “L`Home révolté“. Polemik Sartre-Camus dilangsir oleh jurnal “Les Modernes Temps“. Jurnal yang didirikan oleh Sartre sendiri dan lebih banyak menganalisis hasil pemikirannya. Pada jurnal tersebut Camus mengakhiri perpisahannya dengan mengucapkan, ”Adieu, Monsieur le Directuur – Bien, Bien.”  Sartre menjawab, ”Au revoir, Monsieur Camus.“ Iwan pada esai ini tidak banyak menyinggung Camus. Justru ketertarikan Sartre pada marxisme, dibela oleh Iwan dengan membandingkan ketertarikan awal Dostojewsky pada sosialisme.

Pada buku Sartre ”L`Existentialisme est un humanisme”  (Eksistensialisme Adalah Humanisme), Sartre menyitir pula pandangan Dostojewsky yang menyebut, ”Bila Tuhan tidak ada, semuanya bisa dibebaskan.“  Pandangan Dostojewsky tersebut bagi Sartre dianggap sebagai jalan keluar pemikiran eksistensialisme. Pada prinsipnya manusia terlempar ke dunia tanpa harus punya rasa beban bersalah. Sebaliknya mereka harus bebas. Sebab masa depan manusia terletak pada manusia itu sendiri. Mereka bisa dan harus mandiri. Di sini letak perbedaan sekaligus persamaan teori marxisme dengan eksistensialisme. Marxisme mengajak manusia menentukan masa depannya dengan kekuatan kolektif kaum proletar seluruh dunia. Artinya kaum proletar lah yang dapat dan harus mengubah sistem untuk masa depannya. Sebaliknya eksistensialisme menawarkan kemandirian menatap masa depan dimulai dari diri sendiri secara individu. Niscaya bila setiap individu sudah mampu mandiri, dengan sendirinya masyarakat bisa mengurus dan menjawab beban hidupnya di dunia.

Sebaliknya Camus menyebutkan pada bukunya ”L`Homme révolté“, kejahatan zaman kini bukan lagi dari anak-anak bersenjata, melainkan dari orang-orang dewasa yang berusaha mencari alasan dengan logika. Sejalan dengan itu pada buku ”Inspirasi? Nonsens!“  karangan Kurnia Jr mengutip perkataan Gunawan Mohamad sebagai berikut, ”Tokoh pada `Merahnya Merah` ada selalu unsur ke-Tarzan-an. Tokoh Iwan yang tak bernama dan disebut `tokoh kita` dan `dia` punya fisik mental yang kuat untuk memilih situasi yang paling keras sekalipun. …seperti pahlawan dalam sastra realisme-sosialis.“  Pada buku yang sama Kurnia Jr menyitir pendapat Arief Budiman, “Tapi kesulitan Iwan menurut saya, dia terlalu genit, bombas dengan ide-idenya. Dia menurut saya bukan pengarang. Dia lebih seorang esais atau kritikus. Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas menulis esai atau kritik.“

Lepas dari berbagai interpretasi terhadap kepengarangan Iwan, tetap saja Iwan telah pergi dan mewariskan guratan corak kepenulisan baru. Tampaknya Iwan lebih dekat dengan pemikiran Sartre daripada Camus. Pada beberapa esainya di buku ini dia sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk moral berlatar luas yakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia, Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiran Sartre. Sebab itu layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia. Seperti halnya Edward Said pernah menjuluki Nagib Machfuz sebagai Thomas Mann dari Arab. Atau Lu-Xun sering dijuluki sebagai Gorki dari China.

Pada esainya berjudul ”Manusia-souterrain“  (hal:43), dia berang dengan seorang berinisial H.S. Berawal dari pidato Iwan di sebuah radio, mendapat kritik pedas dari H.S yang dimuat di majalah ”Jaman Baru“  milik Lekra edisi 20 Juni 1953. Iwan ditantang bertemu H.S untuk berdialog. Tapi Iwan menolak dengan jawaban santai “Mari mencipta! Masih terlalu sedikit ciptaan dalam kesustraan kita. Yang banyak baru ngomongnya saja.”  Apalagi kalau dikaitkan dengan prediksinya, bahwa masa produktif seorang pengarang berkisar antara 15-20 tahun. Masa itu penanya masih basah, khayalnya kaya. (Sekitar Surat Kabar Selentingan, hal:202).

Tentang proses kreatif pengarang, Iwan menurunkan esai berjudul “Kemungkinan-kemungkinan bagi Para Tunas Muda“  (hal:195). Dia memaparkan kejujuran Winston Churchill, peraih nobel sastra yang mengakui, karyanya “Memoires“ yang terdiri atas empat jilid sangat sukses. Kesuksesannya bukan karena mutu karyanya, malainkan Churchill menganggap lebih banyak disebabkan oleh pengaruh kepopuleran namanya sebagai negarawan dan pengarang.

Pengembaraan Iwan di negeri Eropa tak hanya mempelajari seni teater di Amsterdam, antropologi di Leiden, dan filsafat di Sorbonne, namun dia melakukan pengamatan pada perkembangan sastra di Belanda khususnya serta Eropa pada umumnya. Iwan mencontohkan seorang pengarang Belanda bernama Simon Vestdijk yang sangat berbakat saat itu. Pria bujang berusia 50 tahun itu dalam waktu setahun mampu menghasilkan tiga novel, satu kumpulan esai, dan satu kumpulan sajak. Karya-karya Vestdijk digemari dan selalu ditunggu-tunggu publik. Dalam pandangan Iwan keberhasilan sebuah karya lebih banyak ditentukan oleh ba
kat penulisnya.

Penyair kenamaan Jerman, Reiner Maria Rilke tak lepas pula dari kritiknya. Iwan menuduh Rilke penyair nyinyir, berdasar bacaan Iwan atas buku berjudul “Buku harian Malte Laurids Brigge“  (Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge). Iwan muak dengan ulasan panjang Rilke berhalaman-halaman hanya bicara tentang cat yang hampir pudar pada sebuah bingkai. Inginnya Iwan melemparkan jauh-jauh atau merobek-robek buku itu. Mitos  seniman yang harus morat-marit hidupnya atau didepak dari asmaranya, seperti dilakukan Rilke tak seharusnya diteruskan. Cara demikian menurut Iwan seperti beribadah pada era romantik. Sastrawan Jerman lain yang disinggung adalah Heinrich Böll. Ia mengharapkan kita untuk menuliskan apa saja yang Böll belum tulis.

Dari daratan Jerman Iwan meluruk ke Australia mempertanyakan kritik Harry Aveling perihal tak adanya humor sastra Indonesia yang sophiticated. Iwan memperkirakan humor model Indonesia sering tidak langsung. Puisi rakyat jelata kita adalah puisi alam bernada riang gembira. Dongeng-dongeng kita adalah folklore yang kocak tentang peri, jin, raksasa, dan roh nenek moyang kita. Singkatnya tanpa bakat alam akan humor ini, sudah sejak lama bangsa kita pupus dari muka bumi.

Dengan membaca kumpulan esai Iwan Simatupang ini, setidaknya pembaca bisa mendekatkan diri pada pola pikir pengarang yang pernah dijuluki sebagai pembaharu sastra Indonesia. Bagi pembaca yang datang dari generasi belakangan, terasa akan sedikit terganggu dengan banyaknya ungkapan bahasa Belanda yang dipakai Iwan. Mungkin pada zaman itu trend berbahasa Belanda menjadi barometer niveau intelektual seseorang. Pengantar Frans M. Parera berjudul “Visi dan Misi Seniman Pascarevolusi“  sampai 57 halaman, terlalu panjang. Terdapat kesalahan nomor jalan pada alamat Museum Multatuli di Amsterdam. Sekarang ini bukan di jalan Korsjepoortsteeg, No. 44, melainkan No. 20. (Museum Multatuli, hal:152) (Sigit Susanto)

Sumber: Note Facebook Sigit Susanto, 31 Agustus 2010


Posted

in

by